Bagaimana Literasi Hanya Sebatas Obrolan Semata

profile picture Puja Anjeli

Dalam perkembangan teknologi saat ini, masyarakat dituntut belajar memperoleh informasi secara mandiri. Beragam ilmu dan pengetahuan terakses dengan mudah di era digital ini. Tidak harus wajib mengecap pendidikan formal seperti sekolah atau kuliah untuk mendalami suatu ilmu keterampilan. Hanya perlu belajar otodidak dengan mengakses ilmunya di internet. Contohnya saja ahli desain tidak harus lulusan sarjana tata busana, penyanyi profesional tidak harus lulusan sarjana musik, bahkan peternak ayam tidak mesti lulusan sarjana peternakan. 

Adanya perkembangan teknologi digital, mau tidak mau membuat pergeseran sumber ilmu yang awalnya dari buku fisik sekarang beralih menjadi buku digital atau biasa dikenal dengan ebook. Hal ini menyebabkan banyaknya upaya yang dapat dilakukan untuk menuai ilmu dan keterampilan yang sebelumnya hanya bisa didapat melalui sekolah atau kuliah. Misalnya dengan kursus online, belajar dari media sosial, hingga belajar privat online. 

Semua cara itu pada dasarnya dapat dicapai dengan namanya membaca. Kemampuan memperoleh informasi, keterampilan dan pengetahuan tidak bisa hanya dengan dilihat. Itulah gunanya literasi. Bukan hanya sekadar membaca dan menulis tetapi lebih luas daripada itu. 

Namun, pemahaman akan makna literasi tersebut terlalu dipersempit oleh pihak-pihak yang menyebut diri mereka sebagai literasiwan. Apalagi sejak literasi dijadikan program nasional oleh pemerintah. Mereka berbondong-bondong menyuarakan betapa pentingnya literasi dari satu gedung ke gedung lain, dari satu sekolah ke sekolah lain, hingga dari satu seminar ke seminar lain. Mengoceh tentang betapa pentingnya membaca dan menulis demi menunjang keberhasilan progam literasi ini. Padahal lingkup literasi itu sendiri tidak hanya sebatas baca dan tulis. Melainkan mereka yang tergerak untuk membaca, berpikir, menulis dari awalnya tidak tahu menjadi tahu dan paham.

Tidak hanya itu, keberadaan pejabat publik yang bertindak sebagai pangkal pengembangan literasi malah realitanya adalah orang yang munafik, korupsi, dan jarang membaca buku. Bagaimana rakyat akan patuh jika pemimpinnya saja tidak amanah terhadap apa yang disampaikan.

Tujuan yang paling penting yang menjadi target literasi adalah pelajar dan mahasiswa. Mereka adalah tonggak utama bagi suatu bangsa dan negara. Karena itu penting bagi mereka untuk menanamkan literasi sebagai kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, fakta lapangan menyatakan kebalikannya. Misalnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi cabang program literasi nasional. Sekolah yang diharapkan sebagai media utama mendukung literasi malah lalai menyadari bahwa tidak hanya siswa yang difokuskan melainkan juga gurunya sendiri. Apa mungkin peserta didik bisa rajin membaca jika guru sebagai teladan saja tidak pernah membaca buku bersama muridnya. Tentu saja indikator kesuksesan program literasi ini tidak maksimal.

Tidak sampai di sana, kegiatan literasi di lingkungan masyarakat juga tidak kalah memprihatinkan. Perpustakaan dan pojok literasi yang dibangun ternyata tidak mampu menopang keberhasilan literasi. Pemahaman literasi yang sebatas baca dan tulis tidaklah cukup. Perlu penanaman karakter sebagai perwujudan makna literasi tersebut. Dengan demikian, hal ini akan berdampak luas terutama pada kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia.

Jika semua contoh di atas tetap berlanjut tanpa ada perubahan berarti, maka bukan tidak mungkin angan-angan menjadi negara literasi hanya sampai pada selembar kertas saja. Literasi tidak butuh mereka yang menamai diri sebagai relawan literasi, tetapi tidak mampu menyinkronkan dengan kehidupan sehari-hari. Tidak perlu embel-embel masa depan yang cerah, yang rajin. Masyarakat hanya butuh tindakan nyata yang merangkul semua lapisan masyarakat. Pertanyaannya, kapan hal itu bisa terwujud?

Dewasa ini, kita tidak perlu mengulik pengertian literasi lantas kemudian disebarkan ke masyarakat. Bukan saatnya berdebat mengenai rangking Indonesia di kancah dunia. Tidak perlu lagi sibuk menghitung data-data responden. Kita butuh manusia yang mengambil peran di tengah kemelut masyarakat untuk membangun peradaban. Bangsa yang beradab salah satu tandanya adalah masyarakat yang rajin membaca.

Untuk itu, kepedulian yang tulus membangun bangsa ini menjadi senjata utama melawan bentuk-bentuk propaganda teoritis dikalangan masyarakat. Kebijakan pemerintah harus selaras dengan budaya dalam masyarakat. Sehingga literasi tidak hanya menjadi simbolis atas jawaban dari kepedulian pemerintah terhadap krisis membaca. Melainkan upaya jangka panjang demi menunjang perubahan ke arah yang lebih baik.

Dengan demikian, lingkup literasi di benak masyarakat akan meluas. Bahwa membaca merupakan jalan yang memang harus ditempuh untuk memperoleh informasi dan ilmu pengetahuan. Membaca bukan menjadi pilihan di saat tidak ada jalan. Ia merupakan langkah dasar dari literasi.  Bukan hanya mulut yang perlu diisi dengan ocehan-ocehan literasi ilmiah, melainkan juga otak yang perlu nutrisi sehingga mampu berfungsi menyaring, menggali, memilah serta memahami suatu peristiwa dan gagasan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Tidak perlu suara yang lantang di forum jika tidak mengerti makna literasi itu sendiri. Mari berhenti membatasi literasi sehingga menciptakan manusia yang malas membaca. 

***





 

5 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
5
0
profile picture

Written By Puja Anjeli

This statement referred from