Belakangan ini, publik dibikin geger atas pemberitaan yang menyangkut salah satu hiburan malam terbesar di Indonesia, sebut saja Holiwings. Polemik ini menuai berbagai respon, sikap, bahkan kecaman dari berbagai ormas islam dan beberapa elemen masyarakat. pasalnya, manager kafe Holiwings memberi promo khusus minuman beralkohol “gratis” bagi warga yang bernama 'Muhammad' dan 'Maria’. Ini jelas penistaan agama bagi masyarakat indonesia baik pihak mayoritas atau minoritas: islam dan kristen. Mengapa tidak, karena kedua nama tersebut (Muhammad dan Maria ) sendiri begitu sakral dalam keyakinan mereka.
Penulis tak ingin membahas dari aspek kasuistik masalah, justru ingin lebih mengulas aspek legalitas (Keabsahan) minuman beralkohol yang diperbolehkan di beberapa wilayah di Indonesia. Ini menarik jika ditelisik dari aspek sosial-budaya, kalau dari aspek hukum seluruh agama resmi yang diakui di Indonesia, jawabannya mutlak tidak diperbolehkan ( haram ) dengan alasan dapat merusak sistem kesehatan tubuh.
Mulanya, pembukaan investasi untuk industri minuman beralkohol dari skala kecil hingga besar tertuang dalam peraturan Presiden (Perpres) nomor 10 tahun 2021 tentang usaha penanaman modal. Namun keputusan Perpres tersebut dicabut dan diganti Perpres nomor 49 tahun 2021 dan berlaku diundangkan sejak 25 Mei 2021. Lanjut, bagaimana sikap atau opini saya sendiri sebagai penulis ? hemat pribadi, memilih Pro dengan legalitas minuman keras di Indonesia--asalkan syarat, batasan, peredaran investasi miras dapat diawasi secara ketat sesuai aturan perundangan - undangan yang berlaku di wilayah lokal Indonesia. Terlepas ada beberapa argumen kontra yang masih dilematis, toh ada argumen pro yang lebih substantif sesuai aturan dan kebiasaan adat masyarakat. jika tetap kekeh dilarang penggunaan miras di wilayah lokal, maka yang terjadi akan semakin liar peredaran miras dengan skala besar.
Kiranya, ada beberapa alasan penguat baik dari aspek sehingga menjadi dasar penguat sebagai narasi pembanding:
#Pertama, minuman keras terletak pada dua masalah berbeda: masalah moralitas agama dan masalah regulasi skala lokal. Aspek moralitas tentu bersebrangan dengan nilai religius - sosio yang ada di seluruh wilayah pulau jawa. Di luar jawa belum tentu meminum minuman keras menjadi perbuatan amoral karena menjaga tradisi leluhur telah mengakar adalah bagian dari menjaga peradaban. Jika aspek regulasi miras lokal tentu mendukung dengan adanya peredaran miras, selain dilegalkan oleh perda daerah, miras dibeberapa wilayah ( ex Bali, NTT, Papua, Sulsut) merupakan warisan lokal masyarakat adat yang sudah turun – temurun mengonsumsi miras dan bebas dijual sebelum Perpres nomor 10 tahun 2021 dibuat oleh presiden.
#Kedua, produksi minuman keras dapat meningkatkan taraf hidup atau pendapatan ekonomi yang meningkat untuk masyarakat. Ini bukan hanya sekedar asumsi belaka atau sekadar membohongi publik, namun penulis berdasar fakta berdasar riset yang dilakukan oleh Institute Of Resource Governance and Social Change (IRGSC) bahwa di NTT, tepatnya di kelurahan Oesapa terdapat enam titik penyulingan miras dan setiap titik penyulingan mampu memproduksi miras lokal sopi sebanyak 200 liter dalam seminggu . total dari enam titik tersebut menjadi 1200 liter. Sopi hasil produksi dengan teknik dan alat tradisional tersebut dikemas dalam botol bekas air mineral dengan volume 0,6 liter tiap botolnya. Setiap botol dijual dengan harga palinh rendah Rp. 10.000. berdasarkan nominal ini jika dihitung besaran nilai ekonomisnya maka dalam seminggu setiap titik penyulingan dapat menghasilkan pemasukan sebesar kurang lebih 3 juta. Bila dihitung dari keseluruhan titik penyulingan—dalam sebulan mampu menghasilkan Rp 3.3 juta. Bila dihitung keseluruhan titik dalam sebulan mampu menghasilkan Rp 79 juta atau sekitar Rp 950 juta dalam setahun. Nilai uang ini masih dapat meningkat 3 kali lipat lagi dikarenakan jumlah liter sopi yang diproduksi di keluran Oesapa dan sekitarnya masih saja dirasa kurang oleh para penjual maupun konsumen di kab. NTT dan sekitarnya sehingga pasuka sopi juga diambiil kisaran 4000 an liter setiap minggunya. Artinya dalam setahun hanya dari perdagangan miras lokal ( Sopi ) nyaris Rp.3 M (Ermi Ndoen Dkk, 2013:5). Ini nominal fantastis sekelas masyarakat lokal dapat mengantongi keuntungan dari perdagangan Sopi. selain penjualan juga ada sektor penyerapan tenaga kerja lokal yang diberdayakan dari perdangan miras lokal ini.
Ketiga, secara ekologis, sesungguhnya penyulingan lontar menjadi sopi adalah ujung dari rantai pengolahan dan pemanfaatan bahan baku dari lontar. Semakin banyak dan panjang proses pengolahan dan pemanfaatn lontar, maka semakin tinggi dan strategis nilai pohon lontar untuk tetap dirawat dan dijaga. Saat yang sama pemelihaaan tanaman tersebut akan menjadi aksi bersama dan jaminan keberlanjutan lontar tetap terjaga. Apalagi pohon lontar adalah tanaman yang berumur panjang yang dapat mencapai usia 60 tahun dengan usia produktif yang juga panjang yakni tidak kurang dari 40 tahun (Ermi Ndoen Dkk, 2013:6).
Dari ketiga alasan tersebut, kiranya alasan legalisasi miras tidak hanya bisa diselesaikan hanya dari salah satu perspektif: agama. Mengapa demikian, karena indonesia punya kearifan lokal – budaya, basis ekonomi lokal yang bisa menunjang kemampanan ekonomi masyarakat.
Mari saling menghargai dengan tidak menjadi “si paling benar” karena karakter santun alias saling menghargai perbedaan pendapat merupakan karakter masyarakat Indonesia !!