Terjebak Penipuan Berkedok Flexing : Salah Siapa?

profile picture Aida Husna R

Flexing Seringkali Jadi Strategi Penipuan

Awal tahun 2022 kemarin, publik digegerkan dengan fenomena penipuan berkedok affiliate trading dengan merek Binomo. Dampak dari penipuan ini cukup kompleks berujung kerugian yang dirasakan peserta. Paling nampak adalah dari sisi ekonomi yang membuat para korbannya kehilangan cukup banyak uang, bahkan dikutip dari tempo.co kerugian yang dirasakan salah satu korban mencapai setengah milyar. Belum lagi kerugian yang berdampak pada psikologis seperti depresi. Masih lagi, dampak lain seperti orang-orang terdekat yang berusaha menjauh hingga terjadinya perceraian. 

Motifnya kian waktu melulu sama, seperti mengklaim dirinya sebagai orang yang kaya dengan cara singkat, instan, dan cenderung tiba-tiba. Bukan hanya itu, penipu biasanya gemar memamerkan harta maupun barang-barang yang dianggap memiliki kemewahan tersendiri. Istilah ini lebih kekinian disebut dengan flexing. 

Sebetulnya, latar belakang penipuan seperti itu sudah lumrah terjadi di Indonesia. Seperti kasus First Travel 2017 silam, introduksi yang dilakukan adalah memberi harga murah untuk berangkat umroh. Bukan hanya itu, yang tersorot dari kasus ini adalah pemiliknya menggaet perhatian target dengan gaya kehidupannya yang glamor. Jumlah korban dari kasus ini cukup banyak dan tidak terhitung jari.

Masyarakat Materialis Mudah Tergiur Flexing

Pada dasarnya menurut Veblen dengan teori konsumsinya, manusia perlu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Semakin majunya industri, manusia bukan hanya perlu sandang dan pangan saja akan kehidupannya. Melainkan, manusia memerlukan pengakuan dan penghormatan. Harta dan kemewahan menjadi alternatif tersendiri dalam mengekspresikan keinginan pada penghargaan dan status sosial.

Ketika individu tersebut telah mendapat penghargaan maupun status sosial, publik akan lebih mudah untuk menaruh simpati dan kepercayaan. Veblen pun memvalidasi jika pamer kemewahan dapat memberikan status terhadap seseorang di masyarakat materialis.

Tidak dapat dipungkiri manusia sebagai makhluk materialis, akan mudah tergaet oleh orang-orang yang sering kali memamerkan harta dan kemewahan. Aktivitas ini dapat berupa sekedar mengunggah benda-benda mewah yang dimiliki, hingga berbagi terhadap masyarakat dengan strata bawah. Aktivitas berbagi seperti ini dibungkus dengan giveaway, ikoy-ikoyan, hingga eksploitasi kemiskinan. Aktivitas ini menyasar masyarakat kelas bawah yang tentunya tidak memiliki cukup banyak dana, namun cukup banyak keinginan.

Dapat tergambar dengan jelas bahwa minat masyarakat terhadap material sangat tinggi. Sebab harta dapat digambarkan sebagai alat pemuas kebutuhan dan alat meraih penghargaan sosial. Hal ini dipertajam dengan jumlah kemiskinan di Indonesia yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 26,5 juta jiwa pada Maret 2021. Sehingga peluang hingga kuantitas masyarakat Indonesia untuk tergaet dengan motif flexing akan cukup besar.

Binomo sebagai salah satu merek opsi biner atau binary options merupakan penipuan yang kesekian dengan motif flexing. Dapat terlihat bahwa flexing atau pamer kekayaan yang dilakukan affiliator merupakan strategi agar banyaknya orang yang bergabung. Tidak dipungkiri pula, bahwa motif ini cukup berhasil untuk menyaring banyak peserta yang bergabung ke dalam Binomo. 

Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan korban pada artikel tempo.co, bahwa salah satu affiliator Binomo memiliki channel telegram dengan member VIP yang jumlahnya mencapai ribuan. Belum lagi member channel telegram dengan akses gratis, jumlahnya dapat mencapai jutaan. Banyaknya jumlah ini merupakan pembuktian dari banyaknya jumlah peminat pada platform Binomo, yang dipercaya dapat menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat.

Jejak lain, dapat terlihat dari akun instagram para affiliator Binomo yang pengikutnya mencapai jutaan. Seperti pada akun @indrakenz yang mencapai hingga 1,6 juta followers. Jika dilihat dari perbedaan jumlah like pada unggahan @indrakenz, ketika ia mengepos hamburan uang jumlah like-nya dapat mencapai 133.249. Berbeda dengan unggahan lelang bukunya yang hanya mencapai 78.311.

Bukan hanya pada akun instagram @indrakenz saja, pada pengikut akun instagram @donisalmanan pun mencapai 2,1 juta followers. Pada unggahan akun @donisalmanan ketika berfoto di depan mobil biru bersama istrinya pun like-nya mencapai 379.080. Berbeda dengan like pada fotonya ketika berjalan yang hanya mencapai 191.955.

Beberapa hal di atas sekaligus menjadi bukti teori Uses and Gratification dari Katz, Blumlerm, dan Gurevitch yang mengatakan bahwa orang-orang akan memilih media/tontonan yang sesuai dengan keinginannya sekaligus menjadi pemuas kebutuhannya.

Dari banyaknya followers dan like pada unggahan pamer hartanya, membuktikan bahwa publik cukup menyukai segala hal yang bersifat material. Semakin banyak followers dan like yang ada, semakin banyak publik yang menyukai dan cocok akan unggahan tersebut.

Oleh karena itu, ketika publik sudah terobsesi dengan harta, maka akan semakin berpeluang terjadinya penipuan dengan motif flexing. Sehingga, tidak heran jika banyak penipuan dan korban dari flexing, yang kini memang dianggap sebagai strategi marketing. Dapat digaris bawahi jika sudah terobsesi atas kepercayaannya (fanatik), akan lebih sulit untuk membedakan antara yang benar dan salah. 

Jika Tidak Terobsesi Pada Harta Bisa Saja Tidak Tertipu

Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa manusia memiliki sifat materialis, penipuan dengan motif flexing akan kembali dan mungkin akan terus terjadi. Maka, sebagai publik perlu untuk menyikapi konten flexing dengan baik, agar dapat meminimalisir dampak dari flexing. Sebab, pada dasarnya ketika dihadapkan dengan berbagai hal kita sekaligus dihadapkan dengan pilihan yang menghasilkan hal positif atau negatif.

Langkah pertama yang dapat diambil adalah publik perlu memahami digital literacy. Mengapa digital literacy? Kini media sosial sudah menjadi dunia kedua bagi manusia, dunia virtual ini berada berdampingan dengan dunia sosial. Bedanya penyebaran informasi di dalamnya sangat cepat dan lingkupnya luas. Istilah flexing pun kian meluas sebab media sosial, hingga muncul istilah social media flexing. Dengan adanya literasi terutama pada media, tentu publik lebih dapat membedakan konten-konten yang negatif dan positif. Bukan hanya itu, publik akan lebih memahami adanya misinformasi, disinformasi, malinformasi, serta perbedaannya dengan yang benar-benar informasi. Dampak positifnya pun publik akan lebih memahami bahwa flexing memiliki strategi dan motif tersendiri.

Namun tidak di setiap situasi, digital literacy dapat diterapkan. Ketika manusia berada di fase “kepepet”, sekalipun memahami digital literacy jika hal tersebut menguntungkan tentu jalan yang buruk pun dapat saja diambil. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah memanajemen finansial. Mengatur keuangan dengan baik serta menyesuaikan pendapatan dan pengeluaran dapat menjadi alternatif agar tidak terjadi defisit. Dengan tujuan agar keuangan stabil, cara ini dapat meminimalisir terjadinya penipuan dengan motif flexing.

Hakikatnya manusia memiliki nafsu dan selalu merasa kurang atas apa yang dimilikinya. Nafsu dan selalu merasa kurang akan berakibat buruk jika melulu dituruti. Sehingga kemudian tidak dapat dipungkiri jika jalan spiritual yang pada akhirnya menjadi tempat terampuh. Lebih baiknya, dalam keadaan apapun diri perlu dekat dengan Sang Pencipta. Apapun kepercayaannya, ajaran manapun tentu akan mengarahkan manusia bukan pada dunia dan harta. Cara yang motivasi dan tingkatannya berbeda ini tentu menjadi efektif jika niatnya tidak salah kaprah.

Pada kasus perekonomian banyak pihak terkait untuk dapat meminimalisir mudahnya masyarakat yang tergiur dengan flexing. Sebab tergiurnya masyarakat pada flexing berawal dari kurangnya material yang ia miliki. Salah satu yang berperan dalam meminimalisir ini adalah pemerintah. Dukungan dari pemerintah dengan menggandeng orang-orang yang ahli di dalam bidangnya untuk mengurangi kemiskinan sangatlah berpengaruh.

Bukan hanya itu, pendidikan pun sangatlah berpengaruh untuk membantu menangani permasalahan ini. Karena semakin tinggi dan meratanya pendidikan akan berpengaruh terhadap banyak hal, seperti pola pikir, pengambilan keputusan, pekerjaan, hingga pendapatan. Pada kasus ini pun pendidikan mampu membenahi pola pikir publik dan mendapatkan pendapatan yang layak, sehingga sedikit banyak akan mengurangi ketertarikan masyarakat pada flexing.

Dari banyaknya cara yang dapat dilakukan di atas, tidak akan berhasil jika tidak secara signifikan permasalahan ini mendapat highlight. Upaya ini dapat dilakukan dengan membuat program sosialisasi, program ini dapat dilakukan oleh berbagai pihak baik dari institusi pemerintahan, pendidikan, hingga organisasi dan komunitas masyarakat. Programnya dapat berupa pembuatan iklan layanan masyarakat, pembuatan training khusus, pembuatan kampanye secara daring maupun luring, pembuatan film edukasi, dsb.

Dengan adanya campur tangan dari berbagai pihak, tentu akan meminimalisir tingkat kepercayaan publik terhadap flexing, yang akan sekaligus akan mengurangi kuantitas korban penipuan dengan motif flexing.

-

Referensi:

https://bisnis.tempo.co/read/1570055/korban-binomo-ditawari-jadi-member-vip-indra-kenz-harga-paket-mulai-rp-25-juta

https://www.konde.co/2022/03/flexing-dan-cara-mengatasinya-belajar-dari-kasus-indra-kenz-dan-doni-salmanan.html/

https://bisnis.tempo.co/read/1570019/begini-kejanggalan-trading-binomo-menurut-korban

-

Photo Source : instagram.com/indrakenz

3 Agree 2 opinions
0 Disagree 0 opinions
3
0
profile picture

Written By Aida Husna R

This statement referred from