Antara Kodrat, Peran, dan Emansipasi
Kodrat Adalah Ketetapan Tuhan
Jenis kelamin sebagai identitas diri manusia (laki-laki dan perempuan) adalah ketetapan dari Tuhan yang tidak dapat ditentang. Jenis kelamin sebagai ketetapan Tuhan senantiasa melekatkan kodrat yang bersifat mutlak pada diri manusia. Adapun yang disebut sebagai kodrat, yang telah melekat pada diri manusia sejak lahir, di antaranya: 1) menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui pada perempuan; 2) menghasilkan sperma untuk pembuahan pada laki-laki.
Seiring berjalannya waktu, secara sadar atau tidak, adanya campur tangan agama dan budaya pada kehidupan sosial melekatkan peran-peran tertentu pada laki-laki dan perempuan. Engles (dalam Fakih, 1997), menjelaskan perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Melalui proses sosialisasi, penguatan, kontruksi sosial, kultural, keagamaan bahkan kekuasaan negara. Oleh karena melalui proses yang panjang itulah, maka lama kelamaan perbedaan gender seolah-olah ketentuan Tuhan atau kodrat yang tidak dapat diubah lagi. (Ermanovida, 2005). Pembagian peran tersebut sedikit-banyak dipengaruhi oleh kodrat yang melekat pada masing-masing jenis kelamin, seperti perempuan yang berperan sebagai ibu rumah tangga, mengingat kodrat perempuan adalah mengandung, melahirkan, sekaligus menyusui; sementara laki-laki berperan sebagai kepala rumah tangga, yang tentunya seorang “kepala” bertanggungjawab penuh pada pencarian nafkah untuk keluarganya. Berbeda dengan kodrat yang telah melekat sejak manusia dilahirkan, adanya peran yang dilekatkan tersebut pada dasarnya tidak bersifat mutlak, artinya pembagian peran tersebut dapat berubah sewaktu-waktu.
Patriarki sebagai Hasil Pembagian Peran
Sejatinya, baik laki-laki maupun perempuan memiliki hak yang sama, namun memiliki kodrat yang berbeda serta peran yang dijalani pun tidak selalu sama. Sadar atau tidak, adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan membawa kondisi sosial yang hari ini kerap disebut sebagai patriarki. Secara sederhana, patriarki sendiri berarti mengutamakan atau menomorsatukan kaum laki-laki dibanding kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, sehingga melahirkan pandangan bahwa peran yang dilekatkan pada perempuan tidak lebih utama dibanding peran yang dilekatkan pada laki-laki. Padahal, adanya pembagian peran merupakan cerminan dari manusia (laki-laki dan perempuan) yang saling melengkapi satu sama lain. Jika tetap mengacu pada pembagian peran yang telah dilekatkan selama ini, apakah seorang laki-laki masih tetap tahan menjalani kehidupan tanpa adanya seorang perempuan yang mengelola urusan “domestik” nya?
Indonesia sebagai sebuah negara turut terbentuk dengan masyarakat yang masih didominasi oleh patriarki. Patriarki membawa masyarakat Indonesia pada pandangan bahwa sehebat-hebatnya seorang perempuan, pada akhirnya Ia akan kembali ke dapur dan laki-laki lah yang akan menopang hidupnya. Kondisi ini tentu membawa ketidaksetaraan tersendiri pada laki-laki dan perempuan, bahkan hingga menimbulkan diskriminasi dan kekerasan pada perempuan. Padahal, jika menengok ke belakang, tepatnya ketika kendali masih dipegang penuh oleh sistem kerajaan, keseimbangan masih terasa pada kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, meski keduanya memang tidak selalu memiliki kedudukan dan peran yang sama. Sebagaimana digambarkan pada buku berjudul “Arok Dedes” karya Pramoedya Ananta Toer, di era Jawa Kuno, perempuan dapat menduduki jabatan tinggi di pemerintahan, dan tentu laki-laki pun sudah tentu demikian. Artinya, kehadiran sosok perempuan tidak serta merta dilupakan karena perempuan pun tak kalah potensinya dari laki-laki.
Ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan sangat dirasakan kehadirannya pada masa penjajahan. Meski pada dasarnya keduanya sama-sama dijajah, namun utamanya terdapat perbedaan hak yang nyata antara keduanya. Terlebih lagi, adanya budaya pergundikan pada masa tersebut membuat semakin rendahnya derajat kaum perempuan bagi siapa pun yang memandangnya. Bak ruangan gelap tanpa lampu, begitu pula ruang gerak dan pola pikir kaum perempuan saat itu, mengingat kaum perempuan saat itu pun tidak diperkenankan (meski memiliki hak mutlak) untuk mengenyam pendidikan formal setinggi-tingginya sehingga hanya menggantungkan hidupnya pada kaum laki-laki. Bahkan, hal ini pun berlaku bagi anak perempuan seorang bangsawan sebab terhalang oleh adat dan ketentuan yang berlaku saat itu. Peran yang dilekatkan pada perempuan seolah menyadarkan kembali kaum perempuan pada tempat yang seharusnya.
Pandangan Umum terhadap Emansipasi
Indonesia hari ini merasa sangat beruntung memiliki Ibu Kartini, yang selama ini disebut sebagai pahlawan emansipasi bagi kaum perempuan. Sebagai bagian dari keluarga bangsawan, beliau juga merasakan hal yang sama layaknya perempuan di masa itu: terkurung dalam belenggu ketidakberdayaan yang tercipta saat itu. Emansipasi, satu kata yang sangat mencerminkan sosok Ibu Kartini, yang hingga saat ini dianggap sebagai pembawa kebebasan bagi kaum perempuan. Melalui satu kata itu—emansipasi—kini bukanlah sesuatu yang mustahil bagi perempuan Indonesia untuk meraih keinginan mereka setinggi-tingginya. Baik kaum laki-laki maupun perempuan kini memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Emansipasi perlahan telah mengikis budaya patriarki dalam kehidupan sosial.
Hampir seluruh masyarakat Indonesia hari ini memaknai kata “emansipasi” sebagai perwujudan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Emansipasi kini mempengaruhi pilihan yang diambil oleh kaum perempuan atas hidupnya sendiri, sehingga tak mengherankan bila menemukan seorang perempuan dengan segala pengaruhnya di ranah publik; tidak mengherankan pula bila seorang perempuan memutuskan untuk tidak menikah atau tidak memiliki keturunan di era emansipasi hari ini karena meski memiliki kodrat yang melekat sejak lahir, seorang perempuan juga berhak untuk memilih. Dengan demikian, emansipasi tak jarang digunakan sebagai bentuk perlindungan diri bagi kaum perempuan untuk tidak menjalankan peran sosialnya secara penuh; sebagai gerakan yang membebaskan kaum perempuan dari peran sosial yang selama ini dilekatkan pada mereka. Maka dari itu, kini bukanlah suatu “dosa” bila seorang perempuan tidak memiliki keterampilan untuk menjalankan perannya—mencuci, memasak, mengurus anak, dan lain-lain.
Di samping emansipasi yang hari ini sangat digembor-gemborkan, nyatanya masih ada segelintir masyarakat—bahkan perempuan itu sendiri—yang masih terkurung dalam stereotip patriarki, bahwa pada akhirnya kaum laki-laki lah yang akan menopang hidup seorang perempuan sehingga untuk apa seorang perempuan harus meraih pendidikan tinggi. Terlebih lagi, masih ada juga kaum perempuan masa kini yang memperhitungkan kodrat mereka sebagai perempuan, sehingga adanya emansipasi tidak begitu berpengaruh terhadap hidup mereka. Padahal, apa yang disebut sebagai “kodrat” bukanlah penghalang bagi seorang perempuan terhadap adanya emansipasi yang selama ini diidentikan sebagai kemerdekaan atau kebebasan.
Antara Kodrat, Peran, dan Emansipasi
Ibu Kartini dalam surat yang pernah Ia tujukan kepada salah satu kawan Eropa-nya menuliskan (dalam Miftahul Falah, 2012), “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi, karena kami yakin pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia pertama-tama.”
Berdasarkan kutipan surat di atas, meski tidak dijelaskan secara gamblang, setidaknya dapat dimaknai bahwa emansipasi tidak serta merta merujuk kepada kebebasan kaum perempuan dari peran yang mengikatnya. Ibu Kartini di masa lalu telah lebih dahulu sadar akan potensi yang dimiliki kaum perempuan, sehingga akan sangat disayangkan jika ketidaksetaraan yang lahir dari budaya patriarki terus-menerus dikembangbiakkan. Tulisan dalam surat tersebut juga menyebut peran yang dilekatkan kepada perempuan: menjadi seorang ibu sekaligus pendidik pertama anak-anaknya. Lalu, apakah emansipasi pun kenyataannya justru mendukung adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan?
Adanya pembagian peran antara laki-laki dan perempuan yang telah terbentuk melalui proses yang panjang sebetulnya bukanlah sesuatu yang salah. Pada dasarnya, peran-peran sosial yang dilekatkan kepada laki-laki dan perempuan (mengurus pekerjaan rumah tangga dan/atau mencari nafkah) adalah keterampilan yang sejatinya baik laki-laki maupun perempuan butuhkan untuk bertahan hidup (survival). Namun, yang perlu digarisbawahi adalah jangan sampai adanya pembagian peran tersebut membatasi laki-laki maupun perempuan untuk memilih peran yang mereka kehendaki dalam menjalani kehidupan sosial. Peran-peran tersebut tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan dalam menjalankan kehidupan sosial. Maka dari itu, penting untuk menjaga agar pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dapat selalu seimbang, sehingga tidak ada pihak yang merasa paling mendominasi atau paling terdepan dibanding pihak lainnya.
Kodrat yang melekat pada perempuan pun bukanlah penghalang bagi seorang perempuan untuk memenuhi haknya, untuk mencapai kesetaraan. Namun, satu hal yang mesti diingat bahwa kodrat tersebut lah yang membawa seorang perempuan pada “keistimewaan” mutlak sebagai seorang ibu. Di balik kodratnya yang menjadikan seorang perempuan harus mengalami kehamilan, persalinan, hingga proses menyusui, terdapat ikatan batin yang kuat antara seorang perempuan dan anak yang dikandungnya; bukan sesuatu yang dapat ditepis. Mengapa Tuhan melekatkan kodrat demikian hanya kepada kaum perempuan jika hal tersebut bukanlah suatu keistimewaan? Seorang anak pun otomatis akan berada bersama ibunya dalam jangka waktu yang relatif lebih banyak, terlepas dari apakah seorang perempuan menjalani peran sosial yang dilekatkan padanya atau tidak. Dengan demikian, gerakan emansipasi pada akhirnya berorientasi pada peran seorang perempuan selaku pendidik pertama bagi anaknya untuk menyempurnakan “keistimewaan” yang hanya diwarisi oleh kaum perempuan. Seorang laki-laki pun dapat menjadi pendidik bagi anaknya, namun sadar atau tidak, sesungguhnya seorang perempuan telah lebih dulu otomatis menjadi pendidik bagi anaknya sejak anak tersebut berada dalam kandungannya.
Akhir kata, kodrat adalah ketetapan dari Tuhan yang melekat sejak manusia dilahirkan; kodrat membawa peran-peran tertentu pada kehidupan sosial manusia, namun kodrat juga menjadikan manusia dengan segala “keistimewaan”-nya; adanya pembagian peran pada kehidupan sosial tidaklah membatasi manusia dalam memenuhi haknya, namun pada dasarnya peran-peran tersebut adalah keterampilan yang harus dimiliki manusia untuk bertahan hidup; lahirnya emansipasi umumnya dipandang sebagai pembawa kebebasan bagi kaum perempuan dari peran sosial yang membelenggunya, namun sejatinya apalah emansipasi tanpa dilengkapi peran istimewa perempuan sebagai sosok ibu sekaligus pendidik pertama manusia yang dilahirkannya.
----------------------------
Daftar Pustaka
Ermanovida. (2005). Memahami Pembagian Peran Gender Antara Laki Laki Dan Perempuan Dalam Keluarga. 1.
Falah, M. (2012). Inilah Hakikat Sebenarnya dari Emansipasi Kartini. Retrieved from republika.co.id: republika.co.id/berita/m2tq3f/inilah-hakikat-sebenarnya-dari-emansipasi-kartini