Penerapan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Dalam Memulihkan Keadaan Ekonomi, Apakah Bijak?
Beberapa waktu lalu, isu mengenai PPN yang naik 11% sempat ramai diperbincangkan. Sebagian masyarakat menilai pemberlakuan kebijakan tersebut dirasa tidak tepat sasaran karena keadaan ekonomi Indonesia yang masih belum stabil. Lantas, benarkah demikian? Regulasi mengenai kenaikan tarif PPN menjadi 11% merupakan salah satu kebijakan yang tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
UU HPP merupakan bentuk reformasi yang dilakukan pemerintah untuk menciptakan sistem perpajakan secara sistematis dan berkelanjutan. Undang-undang ini resmi disahkan pada tanggal 7 Oktober 2021 dan mulai berlaku sejak tahun pajak 2022. UU HPP ditetapkan dengan harapan dapat menstimulasi keadaan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Meskipun puncak resesi telah berakhir, pemberlakuan undang-undang ini tetap dilakukan guna mempercepat pertumbuhan ekonomi, sehingga pemulihan dalam skala besar pun dapat segera terealisasi. Bukan hanya itu, dilansir dari Konferensi Pers RUU HPP, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, reformasi perpajakan ini penting dilakukan sebagai bentuk pembenahan atas regulasi yang lama dengan harapan dapat menciptakan sistem perpajakan yang adil, sehat, efektif, dan akuntabel.
Melalui penataan di sejumlah kebijakan yang berlaku, basis pajak pun akan semakin kuat dan merata. Dengan begitu, penerimaan APBN yang sehat dan berkelanjutan pun akan tercapai, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi ditandai dengan iklim investasi dan penciptaan lapangan kerja yang tersedia dalam skala besar. Hal ini sejalan dengan asas-asas yang tercantum dalam UU HPP yakni keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan dan kepentingan nasional. Adapun beberapa poin-poin perubahan yang tercantum dalam UU HPP diantaranya :
1. Penggunaan NIK sebagai NPWP Orang Pribadi
Pemberlakuan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bertujuan untuk mempermudah basis data dalam sistem administrasi perpajakan, sehingga wajib pajak orang pribadi dapat memenuhi kewajiban perpajakannya dengan mudah melalui kesederhanaan sistem regulasi yang akan diterapkan. Penggunaan NIK sebagai NPWP tidak serta merta membuat setiap masyarakat harus membayar pajak, melainkan tetap berpegang pada kebijakan sebelumnya yakni orang pribadi dengan penghasilan diatas PTKP per tahun lah yang dapat dikenakan pajak penghasilan.
Dengan diberlakukannya regulasi ini, pemerintah telah menerapkan asas keadilan, kesederhanaan, dan efisiensi. Pengaruh digitalisasi menyebabkan setiap peraturan harus dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi dan tentunya tetap berpihak pada masyarakat sebagai elemen utama.
2. Pajak Penghasilan (PPh)
Perubahan paling signifikan yang terjadi pada bagian pajak penghasilan adalah penambahan bracket dan perubahan tarif bagi wajib pajak orang pribadi. Sebelumnya, orang pribadi dengan pendapatan kena pajak sebesar Rp. 0 - 50 Juta per tahun dikenakan tarif sebesar 5%. Sementara dalam UU HPP, pengenaan tarif 5% diperuntukkan bagi orang pribadi dengan pendapatan kena pajak sebesar Rp 0 - 60 Juta per tahun. Hal ini menyebabkan perubahan tarif 15% untuk wajib pajak lapisan kedua menjadi > Rp. 60 - 250 Juta per tahun dari yang sebelumnya sebesar > Rp. 50 - 250 Juta per tahun. Adapun, penambahan bracket dikenakan bagi orang pribadi dengan penghasilan > Rp. 5 Miliar berlaku tarif pajak sebesar 35%.
Perubahan tarif dan penambahan bracket tersebut bertujuan untuk mengimplementasikan asas keadilan serta memberikan kemudahan bagi wajib pajak yang sedang atau telah mengalami dampak dari Covid-19.
3. Batas Peredaran Bruto Tidak Kena Pajak
Terdapat kebijakan baru dalam pengenaan tarif PPh final yang sebelumnya tercantum dalam PP No. 23 Tahun 2018. Melalui UU HPP, orang pribadi pengusaha dengan peredaran bruto mencapai Rp. 500 Juta per tahun kini tidak perlu membayar PPh final 0,5%. Dengan diterapkannya kebijakan tersebut, industri usaha kecil dan menengah dapat mengembangkan bisnisnya di tengah keadaan ekonomi yang masih belum stabil.
4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Melalui UU HPP, pemerintah memberikan fasilitas pembebasan PPN untuk barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa layanan sosial, serta jasa tertentu lainnya. Fasilitas pembebasan PPN ini diberikan khususnya kepada masyarakat kecil dan menengah dengan maksud untuk mencerminkan keadilan serta perlindungan usaha. Meskipun terdapat kenaikan tarif dari yang sebelumnya sebesar 10% menjadi 11%, hal tersebut bertujuan untuk menambah penerimaan negara guna memperbaiki APBN yang sempat mengalami defisit selama pandemi Covid-19 berlangsung. Selain itu, jika dibandingkan dengan negara-negara yang tergabung dalam G20, tarif PPN Indonesia sebenarnya masih di bawah rata-rata, karena secara keseluruhan negara-negara tersebut memberlakukan tarif PPN sebesar 15%.
Melalui serangkaian perubahan yang telah dirumuskan, UU HPP diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian negara. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, dalam jangka pendek selama tahun 2022 penerimaan perpajakan diperkirakan akan meningkat dengan rasio 9% dari pendapatan nasional, serta dapat tumbuh lebih dari 10% paling lambat pada tahun 2025 apabila didukung dengan peningkatan kepatuhan perpajakan yang berkelanjutan.
Bukan hanya berfokus pada penerimaan, pemerintah sebagai penyusun kebijakan bertujuan untuk menyediakan sistem administrasi yang sederhana, sehingga dapat memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Dengan demikian, pembayaran pajak tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan, melainkan sebuah proses dalam menciptakan iklim finansial negara yang adil dan efisien.
Referensi
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Wibowo, S. A. (2021, December 16). Urgensi UU HPP untuk Menghadapi Tantangan Ekonomi di Masa Depan. Retrieved from pajak.com: https://www.pajak.com/pwf/urgensi-uu-hpp-untuk-menghadapi-tantangan-ekonomi-di-masa-depan/