MENYOAL KEBERADAAN DEMOKRASI DALAM RKUHP ANCAMAN BUI ‘DEMO TANPA PEMBERITAHUAN’
MENYOAL KEBERADAAN DEMOKRASI DALAM RKUHP ANCAMAN BUI ‘DEMO TANPA PEMBERITAHUAN’
“Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum, atau tempat umum, yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (Satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II” -Pasal 273 RKUHP- (Detik.com)
Hari ini perbincangan mengenai draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) makin ramai diperbincangkan di ruang publik, setelah segenap Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menggelarkan aksi demonstrasinya pada 21 Juni 2022 kemarin, tepatnya di hari ulang tahun Presiden Joko Widodo yang ke-61 (Tempo.co). Sebagai hadiah untuk ‘sang presiden’ di hari ulang tahunnya, mereka menggelarkan demonstrasi, berupa aksi simbolik menuntut agar pasal-pasal yang bermasalah dalam draf RKUHP terbaru, segera dicabut lantaran dikhawatirkan dapat mengkriminalisasi warga. Satu dari antara sekian pasal yang bermasalah tersebut, yang penulis mau sorot ialah pasal 273 RKUHP, yang mengatur tentang aksi demonstrasi.
Pada pasal 273 ini dijelaskan secara gamblang bahwa para demonstran, diharuskan secara terlebih dahulu menyampaikan pemberitahuan ke aparat yang bersangkutan sebelum menggelarkan demonstrasi. Lebih lanjut pasal ini menjelaskan bahwa, para demonstran yang berunjuk rasa akan dipidana penjara selama satu tahun, tatkala aksi tersebut tidak disampaikan pemberitahuan secara terlebih dahulu dan kemudian berakhir dengan keonaran, mengakibatkan gangguan publik dan beberapa hal lainnya.
Melihat eksistensi Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum, penulis berpikir bahwa hadirnya pasal ini di tengah para demonstran tidak menjadi masalah sedikitpun bagi keberlangsungan aksi demonstrasi kedepannya. Dalam artian, para demonstran memang perlu diikat oleh sebuah aturan, dalam rangka mewujudkan aksi demonstrasi tanpa kericuhan.
Namun ironisnya, banyak orang menilai bahwa pasal tersebut akan mengekang kebebasan masyarakat dan akan menarik mundur demokrasi (Tirto.id). Artinya pada pasal ini mereka mengkhawatirkan demokrasi akan hilang, lantaran dicemaskan akan menghantar segenap masyarakat pada kehidupan di zaman kolonial, yang menggekang kebebasan berpendapat. Lantas apakah benar demikian, bahwa hadirnya pasal ini dapat melemahkan demokrasi?
Pro-Kontra Pasal 273 RKUHP
Sebagaimana yang diberitakan dalam media online Detik.com, demonstrasi memang perlu didahului pemberitahuan tertulis kepada polisi, demi melindungi para demonstran dan aktivitas masyarakat lainnya (Detik.com). Artinya pemberitahuan tertulis dapat menjadi jaminan bagi kaum demonstran dalam memperlancar proses penyampaian pendapatnya, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 9 Tahun 1998. Tetapi hari ini, dalam draf RKUHP pasal 273, para demonstran akan dipidana penjara selama satu tahun, tatkala menjalankan demonstrasi tanpa pemberitahuan dan berakhir dengan kericuhan.
Koordinator Bidang Sosial Politik BEM UI Melki S. Huang, dalam sebuah diskusi virtual (TV ONE;Catatan Demokrasi) menilai pasal tersebut kurang soft dan sangat bertolak belakang dengan UU No. 9 Tahun 1998, yang hanya membubarkan massa tatkala demonstrasinya tidak melalui pemberitahuan. Ia mengkhawatirkan bahwa pasal ini, akan semakin melemahkan aktivitas demokrasi, karena setiap masyarakat harus didahului izin dalam melakukan penyampaian pendapat. Padahal hematnya Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat membutuhkan kritikan.
Ketua BEM UI Bayu S. Utomo juga mengatakan bahwa mereka menjalankan demonstrasi karena membela kepentingan umum (Tempo.co), jadi hematnya kurang masuk akal tatkala para demonstran dipidana penjara karena mengganggu kepentingan umum, sebagaimana yang diatur dalam draf RKUHP pasal 273. Lantas Bayu mengatakan bahwa, tidak heran jika mereka mengkhawatirkan bahwa kehidupan ini akan kembali seperti zaman kolonial.
Pada sisi yang berbeda, Prof. Eddy Hiariej, Wamenkumham RI dalam sebuah diskusi virtual (TV ONE;Catatan Demokrasi) mengungkapkan bahwa pasal 273 RKUHP ini lebih soft dibandingkan dengan UU No. 9 Tahun 1998. Beliau menilai bahwa justru pada pasal tersebut, masyarakat diberikan kebebasan berpendapat yang penuh. Dalam artian bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan melemahkan demokrasi.
Hal ini bukan tanpa dasar, ketika dibandingkan dengan aturan dalam UU No. 9 Thn 1998, beliau melihat bahwa pada aturan tersebut para demonstran mesti melakukan pemberitahuan selama 3x24 jam, sebelum menggelarkan aksi demonstrasinya. Sementara pada pasal 273 pada intinya cukup dengan pemberitahuan dan tidak ada batasan waktu. Pada dasarnya esensi dari pembicaraan Prof. Eddy ini ialah bahwa sangsi pada pasal 273 RKUHP akan berlaku tatkala ada akibat, dalam hal ini keributan. Dengan demikian, apakah keberadaan demokrasi masih terjaga dalam pasal 273 RKUHP?
Demokrasi dalam Pasal 273 RKUHP
Hemat penulis apa yang diatur dalam pasal 273 RKUHP tidak membuat keberadaan demokrasi hari ini melemah, justru penulis melihat dengan adanya pasal ini demokrasi di Indonesia akan semakin dijaga dan terawat, dari berbagai tantangan zaman yang penuh dengan ego. Artinya penulis mengkhawatirkan bahwa ketika pasal 273 ini dicabut, maka betapa menayangkan ketika demokrasi dirusak oleh ego yang mengatasnamakan kepentingan umum.
Boni Hargens, seorang pengamat politik mengatakan bahwa demokrasi memang akan hidup ketika ada kritik. Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa kritik mengandaikan adanya ruang publik, dan ruang publik yang baik hematnya ialah ruang publik yang terbuka, diskursus, kritik, dinamika dan sebagiannya. Artinya dalam konteks aksi demonstrasi, semestinya suara yang ingin disampaikan memang benar-benar suara untuk membela kepentingan umum, bukan untuk kepentingan segelintir orang.
Ironisnya hari ini banyak orang yang selalu berlindung di balik ruang publik, untuk menyusun agenda-agenda busuk yang dapat merusak demokrasi, misalnya saja dengan menjadi profokator di antara para demonstran, demi memperjuangkan ego, sehingga tidak heran tatkala keributan timbul pada aksi tersebut. Kendati demikian penulis berpikir bahwa aksi demonstrasi memang perlu diatur oleh aturan yang cukup tegak demi menjaga dan merawat demokrasi, karena betapa disayangkan tatkala demokrasi mati karena ego segelintir orang.
Lantas dengan demikian apa yang diatur dalam pasal 273 RKUHP tentang aksi demonstrasi, merupakan langkah untuk menjaga demokrasi, bukan untuk melemahkan demokrasi. Dalam artian keberadaan demokrasi dalam pasal 273 RKUHP tersebut, tidak ditarik mundur, melainkan untuk dijaga dan dirawat.
*Reinaldus K. Mogu