Amerika Serikat Lengserkan Roe v. Wade? Bagaimana di Indonesia?
Keributan yang kini terjadi mengenai Roe v. Wade tentu saja membangunkan keingintahuan banyak orang mengenai akar permasalahan dari keributan tersebut. Sebenarnya apa yang tengah dipermasalahkan rakyat Paman Sam itu?
Singkatnya, Roe v. Wade merupakan keputusan penting yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada tahun 1973, yang mana diperuntukkan bagi perlindungan atas kebebasan perempuan dalam melakukan aborsi. Kegemparan pun terjadi pada saat dikeluarkan keputusan agar Roe v. Wade dieliminasi dari pemberlakuannya dan mengakibatkan tindakan aborsi menjadi ilegal kembali. Warga Amerika Serikat pun terpecah menjadi 2 kubu, yakni yang mendukung pelengseran Roe v. Wade dan yang mengekspresikan kekecewaan serta amarah terhadap pelengseran tersebut. Ekspresi kekecewaan dan amarah dari sebagian warga itu disalurkan melalui aksi protes yang berlangsung di berbagai pelosok negara Amerika Serikat.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Adakah hukum yang mengatur tentang aborsi di Indonesia? Jawaban dari pertanyaan ini terdapat dalam Pasal 75 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang menyatakan bahwa aborsi dilarang untuk dilakukan di Indonesia kecuali untuk situasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, serta bagi korban perkosaan.
Semua jenis praktik aborsi yang tidak termasuk dalam ketentuan UU dan PP tersebut akan ditinjau sebagai tindakan ilegal dan diberlakukan sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 194 UU Kesehatan yaitu berupa hukuman pidana penjara dengan jangka waktu terlama sepanjang 10 tahun dan denda paling banyak sebesar Rp1 miliar. Pasal ini dapat dikenakan pada dokter dan/atau tenaga kesehatan yang dengan sengaja melangsungkan aborsi ilegal beserta pihak perempuan yang menerima tindakan aborsi ilegal tersebut.
Namun, mengapa sebenarnya aborsi dipandang sebagai suatu hal yang sangat negatif oleh banyak orang? Tentu saja karena bertentangan dengan nilai moral serta agama yang diyakini oleh sebagian besar manusia. Akan tetapi, kita semua tentu tahu dengan sangat jelas bahwa moral dan agama bukanlah satu-satunya hal yang diperlukan dalam mengemban kehidupan, diperlukan faktor lain seperti kecukupan ekonomi & material, ketersediaan pendidikan, kesehatan, serta banyak hal lainnya. Faktor-faktor lain itu tentunya berperan menjadi beban pikiran seorang calon orang tua (terutama bagi calon ibu yang terpaksa menjadi single-parent sebagai korban pemerkosaan) dalam membawa kehidupan baru di dunia ini.
Banyaknya beban pikiran tersebut akhirnya menjadi tekanan yang membuahkan keraguan besar bagi calon ibu, hingga menjadikan aborsi sebagai satu-satunya cara untuk menghindari realita atas kesulitan-kesulitan yang sangat mungkin terjadi sewaktu sang anak telah lahir. Selain itu, hal lain yang membebani wanita hamil korban perkosaan adalah bahwa menurut Pasal 31 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Padahal umumnya siklus haid perempuan adalah selama 28 hari, sehingga menyisakan 12 hari bagi korban perkosaan untuk menyadari kehamilannya. Aturan 40 hari ini juga sangat berbeda dari ketentuan yang berlaku di negara lain, yang membatasi aborsi setelah 24-26 minggu masa kehamilan, hal ini menunjukkan kesulitan yang perlu dihadapi oleh wanita hamil korban perkosaan untuk melakukan aborsi di Indonesia.
Selain itu, diperlukan juga faktor internal berupa mental yang stabil dari calon ibu baik selama masa kehamilan dan kelahiran anak. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah apabila calon ibu tersebut merupakan seorang remaja. Informasi dalam suatu berita menyatakan bahwa “Secara global sekitar 16 juta wanita berusia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya (UNFPA, 2016) dan meningkat menjadi 19 juta per tahun nya di tahun 2035”. Sudah menjadi hal yang umum diketahui bahwa remaja memiliki mental yang masih sangat rentan, sehingga tidak memungkinkan bagi wanita remaja untuk mengurus segala yang diperlukan untuk menjaga keberlangsungan hidup yang baru, ditambah lagi dengan konsekuensi harus mengakhiri alur pendidikan yang sedang diembannya pada saat itu. Oleh karena itu banyak di antara wanita remaja hamil yang memutuskan untuk melakukan aborsi.
Adapun tekanan yang diterima wanita hamil bukan hanya secara internal tetapi juga secara eksternal, misalnya opini publik mengenai moral ataupun tidak tersedianya fasilitas dan tenaga medis yang sesuai standar untuk melakukan aborsi legal di daerah asalnya. Akhirnya perlu diambil usaha lebih untuk pergi ke daerah lain yang menyediakan fasilitas dan tenaga medis sesuai standar yang tentunya memakan waktu dan biaya yang lebih banyak lagi. Apabila sang calon ibu tidak dapat menyanggupi biaya yang diperlukan untuk melakukan aborsi legal, cara terakhir yang sangat mungkin diambil adalah melakukan aborsi illegal yang dapat memposisikan kesehatan bahkan nyawa calon ibu dalam keadaan bahaya.
Oleh karena itu, diperlukan dukungan negara dalam mengedukasi remaja akan kehamilan dini, menyediakan fasilitas dan tenaga medis aborsi legal yang mudah diakses, memberikan konseling selama masa kehamilan hingga memberikan bantuan biaya dalam menyanggupi berbagai keperluan calon bayi jika calon ibu setuju untuk mempertahankan kehamilannya. Dengan demikian, calon ibu akan terhindarkan dari kemungkinan untuk jatuh depresi yang tidak hanya membahayakan kesehatan diri calon ibu, tetapi juga anak yang berada dalam kandungannya (mengakibatkan janin berisiko mengalami gangguan perkembangan, lahir dengan berat badan rendah, atau kelahiran bayi prematur). Jika hal-hal itu dapat terpenuhi, maka kualitas kelahiran manusia di negara ini akan semakin meningkat.
Sumber kutipan: https://mediaindonesia.com/humaniora/474073/kasus-kehamilan-remaja-cukup-tinggi-pkbi-multifaktor-dan-sistemik