Media Sensitif Gender : Mengapa Perempuan Selalu Disalahkan?
Media massa merupakan salah satu sarana sosialisas gender karena turut menyebarkan dan melestarikan ideologi gender. Gender merupakan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Problematika mengenai kesetaraan dan keadilan gender menjadi hal yang ramai dibahas dalam ranah publik dan media massa menjadi salah satu sarana bagi masyarakat untuk benar-benar memahami isu problematika yang berkaitan dengan gender.
Media massa sebagai agen sosialisasi gender berperan besar dalam menyebarkan dan melestarikan ideologi gender. Sayangnya, realitas media massa di Indonesia masih menunjukkan adanya bias gender, terutama terkait pemberitaan perempuan. Berbicara mengenai perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara tentang 3 hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa, baik cetak, media eletronik maupun berbagai bentuk multimedia. Sejauh ini, media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik dalam pemberitaan, iklan, komersial maupun program acara hiburan seperti sinetron. Conoh konkretnya yaitu wajah perempuan dalam pemberitaan digambarkan bahwa perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya atau menjadi korban kriminalitas karena sikapnya yang mengundang atau menacing terjadinya kriminalitas atau sebagai objek seksual.
Kemudian yang kedua, persoalan perempuan justru terletak pada masih sedikitnya perempuan yang terlibat dalam kerja jurnalistik karena memang selama ini kerja jurnalistik dianggap sebagai wilayah kaum pria. Meskipun dari tahun ke tahun jumlah perempuan yang berprofesi sebagai jurnalis meningkat. Namun, dari peningkatan ini perlu dicermati karena keterlibatan perempuan dalam dunia jurnalistik dan media bukan berarti mereka juga memiliki kontribusi besar dalam menentukan isu-isu yang harus diangkat dengan sudut pandang perempuan itu sendiri.
Hal ketiga adalah persoalan sejauh mana para pengambilan keputusan dalam media massa memiliki sensitivitas gender dalam menentukan isu pemberitaan. Karena sejauh ini media massa sering kali mengabaikan isu-isu perempuan dan persoalan gender hingga pada akhirnya representasi perempuan yang ditampilkan dalam media massa semakin menyudutkan dan mendiskriminasi kaum perempuan.
Sebenarnya jurnalisme yang memiliki sudut pandang perempuan yang dikenal dengan istilah jurnalisme berspektif gender sangat diperlukan. Namun berbanding terbalik dengan keadaan saat ini, pengetahuan para wartawan dan jurnalistik tentang isu gender masih sangat minim. Justru saat ini para wartawan dan jurnalis hanya berkutat dan berfokus pada pemahaman isu tentang partisipasi perempuan dalam meningkatkan perannya dalam sektor publik. Padahal saat ini media seharusnya tidak hanya menyoroti peningkatan peranan perempuan saja tetapi isu problematika lain terutama mengenai gender juga perlu dipublikasikan. Dan faktanya media memang belum serius untuk memunculkan isu gender di area publik, sehingga implementasi tulisan wartawan menunjukkan sensitif gender belum banyak dipakai dalam tulisan dan pertimbangan asupan berita yang laku dijual menjadi pertimbangan utama media.
Dari artikel diatas yang telah dipublikasikan mengenai kasus pemerkosaan atau pelecehan seksual terhadap perempuan. Realita yang digambarkan cenderung merugikan korban perempuan. Hal tersebut dapat dilihat dari kosakata yang digunakan oleh beberapa pemberitaaan media masa. Dalam pemberitaan tersebut korban digambarkan pulang malam sehingga seperti diartikan bahwa pelecehan tersebut memang kesalahan dari korban. Atau dijelaskan bahwa korban memiliki tubuh yang molek paras yang cantik, bertubuh menggoda sehingga memang cocok untuk dijadikan objek seksualitas laki-laki. Melalui hal tersebut media massa seolah-olah ingin menjelaskan bahwa menjadi hal yang lumrah ketika pemerkosaan terjadi pada mereka dan bahwa pemerkosaan tersebut terjadi karena dipicu oleh korban.
Sementara itu disisi lain pelaku diceritakan “menggagahi” seakan-akan perilaku keji itu adalah sesuatu yang dibanggakan. Pelaku juga sering digambarkan dalam keadaan khilaf, karena pengaruh minuman keras, ada masalah keluarga, atau karena tidak dapat menahan nafsu birahinya. Hal ini juga seakan memberikan sebuah toleransi kepada para pelaku pemerkosaan, bahwa pemerkosaan yang mereka lakukan di luar kendali mereka dan terjadi karena pengaruh minuman keras, khilaf, dan ketidakmampuan mereka menahan hawa nafsu. Sehingga perilaku pelaku dinggap adalah hal yang wajar dan tidak bersalah dalam kasus ini.
Oleh karena itu kita sebagai penikmat berita yang beredar di media massa harus lah pandai memilih dan tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu pemberitaan yang beredar di publik. Setidaknya kita dapat mencari tahu terlebih dahulu dan mencermati hingga akhir kira-kira apa saja yang melatarbelakangi kejadian tersebut.
Para jurnalis berita juga sebaiknya melakukan pemberitaan dengan didasari fakta, berita harus memiliki nilai berita yang kuat dan menarik pembaca, harus taat pada kode etik jurnalistik, untuk berita perkosaan tidak detail, tidak menyalahkan korban, tidak mengungkap identitas korban, menggunakan diksi yang lebih umum dan tidak kasar, mengawal kasus hingga selesai dan mecantumkan fakta hukum maupun fakta persidangan. Dan diadakannya kebijakan menerapkan sensitif gender dalam pelaksanaan kegitaan jurnalistiknya.