Alasan Mengapa Banyak Orang Tidak Berani Mengungkapkan Pendapatnya
Pernah ga pas lagi nongkrong atau mendiskusikan topik tertentu sama temen-temen, kita malah diem aja karena kita punya opini yang berbeda dengan kebanyakan orang di tongkrongan tersebut. Saat moment itu terjadi, rasanya kita jadi ragu buat ngutarain pendapat yang kita punya dan pada akhirnya kita malah diem aja. Pasti kebanyakan dari kita pernah mengalaminya kan.
Nah fenomena tersebut bisa dijelaskan menggunakan teori spiral keheningan atau the spiral of social silence theory yang dikenalkan oleh Noelle-Neumann pada tahun 1970-an. Teori ini pada intinya menjelaskan kalau seseorang yang mempunyai pendapat minoritas atau unpopular opinion yang berbeda dengan orang-orang disekitarnya atau opini publik akan cenderung memilih diam dan tidak mengemukakan pendapatnya. Dia merasa pendapatnya tidak layak untuk disampaikan di muka publik. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena dia takut akan diisolasi secara sosial dan ditolak oleh group atau kelompoknya. Pada dasarnya, ancaman, celaan, dan kritikan orang lain merupakan faktor utama mengapa seseorang memilih untuk diam dan tidak menyuarakan pendapatnya. Akan tetapi sebaliknya, jika seseorang memiliki pandangan yang sama dengan opini publik dan orang-orang yang ada disekitarnya, dia akan lebih yakin, lantang, percaya diri, dan certain untuk mengungkapkan pendapatnya secara terang-terangan karena sudah pasti akan banyak yang mendukung dan sepakat dengan opininya. Sedangkan orang-orang yang tidak terpengaruh oleh spiral of silence disebut sebagai orang hardcore atau avant garde. Mereka adalah orang-orang yang merasa mau tidak mau, takut tidak takut, pendapat atau opininya harus didengar oleh publik.
Teori jarum suntik adalah teori yang bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa opini publik bisa terbentuk. Opini publik biasanya terbentuk oleh media. Teori jarum suntik mengemukakan kalau media mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk membentuk atau menggiring opini publik dari beragam fakta dan angle-angle berita yang media sajikan. Meskipun begitu, pasti tetap saja akan ada pendapat kontra atau opini yang bersebrangan. Opini publik yang terbentuk oleh framing media akan menciptakan budaya cancel culture atau malah memperparahnya sebab orang-orang akan mengisolasi secara sosial orang yang mengemukakan pendapat yang berlainan.
Contoh kasus hangat dari teori spiral keheningan ini adalah kasus yang menimpa tokoh agama kenamaan, Ustad Yusuf Mansyur. Beliau diterpa kasus miring yang sebagian besar publik memiliki opini bahwa Ustad Yusuf Mansyur telah melakukan penipuan, sedangkan sebagian kecil masyarakat menilai bahwa itu hanyalah kelalaian administratif. Tentu, pendapat yang mengatakan kalau kasus ini bukanlah penipuan adalah pendapat yang minoritas atau unpopular opinion.
Lalu, gimana caranya untuk mendobrak spiral keheningan ini?
1. Tenangkan diri dan jangan terbawa emosi. Karena saat kita hanya mengedepankan emosi, kita akan cenderung bias atau terdistorsi.
2. Sebelum mengeluarkan pendapat, cobalah bertanya sebagai bentuk dari riset kecil-kecilan. Ini bisa disebut sebagai observasi atau hasil penggabungan opini orang lain dengan opini pribadi sehingga opini yang nanti mau kita sampaikan bisa diterima, didiskusikan lebih lanjut dan dipertanggungjawabkan.
3. Kalau sudah begitu, kita mempunyai pijakan atau landasan teori yang cukup kuat sehingga kritikan yang sifatnya personal (masyarakat biasanya memberikan kritik Ad-hominen atau penyerangan terhadap individu) tidak akan terlalu berpengaruh kepada diri kita. Intinya kita harus mempunyai kredibilitas atau kapasitas yang cukup. Karena spiral of silence bisa terpecahkan saat kita mempunyai kredibilitas meskipun kita adalah kelompok monoritas.
4. Untuk mengurangi rasa takut akan penyerangan berupa kritikan, celaan, atau takut dicekal, sebaiknya kita memang mengumpulkan dukungan. Hal sederhana ini sebenarnya sudah kita praktikan di kehidupan sehari-hari lho! Contohnya saat kita masih sekolah, tentu kita meminta bantuan teman kita untuk berbicara kepada guru atau dosen karena kita akan takut kalau melakukannya sendiri.
5. Mencari moment atau situasi yang tepat. Kita harus memahami situasi dan kondisi lngkungan kita saat sedang membicarakan issue yang sedang panas dibicarakan. Perhatikan timing yang tepat.
6. Kenali dan sadari bias kognitif kita. Alasan lain yang membuat kita biasanya takut untuk berbicara adalah rasa minder atau tidak percaya diri karena takut pendapat kita akan diabaikan, tidak dimengerti, dan tidak didukung.
Intinya teori ini lahir karena sebagian orang atau individu merasa inferior untuk menyampaikan pendapatnya sehingga mereka merasa masuk ke dalam kelompok minoritas dan adanya rasa minder karena takut opininya tidak kredibel. Padahal dengan berani menyuarakan pendapat kita di khalayak umum, kita ditantang untuk bisa menjadi pribadi yang bertanggung jawab dan berprinsip. Keuntungan lainnya adalah kita menjadi berwawasan lebih luas dan terbuka. Selain itu, jangan takut dengan kritikan karena dengan legowo menerimanya, kita akan menjadi peribadi pembelajar dan toleran.
Ayo speak up! Suarakan suaramu, tetapi jangan sampai kita menjadi tong kosong nyaring bunyinya. Mengutip Najwa Shihab "Be brave, but don't be stupid."