Healing dengan Healang?
“Yuk, healing ke Bali yuk!”
“Rasanya pengen deh healing ke Segitiga Bermuda biar sekalian hilang.”
Dua pernyataan di atas adalah bagaimana kebanyakan masyarakat memahami apa itu healing. Healing selalu dikaitkan dengan menyembuhkan emosi dan luka batin, serta kebiasaan buruk dengan mengalihkannya pada kegiatan lain, misalnya berlibur, berbelanja, makan enak, menonton film, dan lain-lain. Namun, apakah healing itu hanya sekadar menghilangkan permasalahan atau luka dengan pengalihan?
Misalnya, ketika kita merasa stres terhadap pekerjaan, langkah yang kita lakukan adalah beristirahat dengan berlibur pada akhir pekan. Setelah berlibur akhir pekan, apakah ada jaminan bahwa stres terhadap masalah tersebut akan hilang? Atau lebih kuat untuk menghadapi stres itu di hari Senin mendatang?
Jawabannya adalah tidak pasti hilang ataupun lebih kuat menghadapinya. Artinya, healing tidak hanya dilakukan dengan mengalihkan permasalahan kita dengan kegiatan lain yang menjadi kesukaan kita. Bagaimanakah cara untuk healing yang sebenarnya?
Untuk bisa sembuh dari luka dan permasalahan yang dihadapi alias healing, langkah pertama yang dilakukan adalah menerimanya. Seringkali ketika ada emosi terhadap masalah datang, kita hanya ingin mengalihkannya ke kegiatan lain tanpa mencoba menerima apa yang sedang kita alami. Saat kita mengalihkannya, sebenarnya emosi itu tidak hilang melainkan tertekan ke dalam. Oleh karena itu, terkadang kita merasa perlu terus menerus menonton film dan melakukan kegiatan lain agar emosi itu tidak muncul ke hadapan kita. Dengan menerima emosi yang datang, kita dapat selangkah lebih mengenal kebutuhan tubuh kita. Misalnya, emosi yang datang itu sedih karena gaji di kantor tidak kunjung naik, kita pun tahu bahwa tubuh kita merasa permasalahan itu menyakitkan.
Setelah itu, langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mencari tahu alasan permasalahan itu menyakitkan. Ketika kita memahami alasan dari emosi kita--tidak hanya karena permasalahan itu saja--kita akan lebih bisa memperdalam penglihatan terhadap emosi yang muncul. Misalnya, alasan tubuh kita merasa sedih karena permasalahan itu adalah ekspektasi orang tua untuk melihat kita sukses di usia senjanya. Lalu, kita perlu menganalisis akar dari kesedihan itu dalam keadaan tenang. Hadirnya ekspektasi tersebut bisa jadi ternyata membuat tertekan sehingga merasa sedih. Kita juga merasa perlu melakukannya untuk membuat orang tua bahagia.
Seusai menganalisis akarnya, kita perlu merumuskan rencana lain agar kesedihan itu tidak berlarut. Langkah ini perlu dilakukan dalam keadaan tenang dan kepala yang terbuka akan semua ide dan kesempatan yang hadir. Baik hadir di kepala maupun dalam keseharian kita. Dalam kasus tadi, kita mungkin perlu merefleksikan kinerja kita atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan untuk mendapatkan uang agar mewujudkan ekspektasi orang tua. Dengan melakukannya, kita juga bisa memperoleh pelajaran untuk menjadi lebih baik dalam pekerjaan yang dilakukan atau ide membangun hal baru yang lebih sesuai dengan minat kita. Tentunya, kesedihan kita juga akan tergantikan oleh kelegaan atau semangat baru untuk berusaha lebih keras.
Perlu diingat, healing yang tidak disertai dengan motivasi yang kuat tidak akan pernah terjadi. Kita dapat terus terjebak dalam emosi negatif yang tidak memampukan kita untuk berkembang dan memperbaiki hal yang ada. Healing juga tidak terjadi dalam semalam. Proses selalu menyertainya. Proses menerima, mencari tahu, menganalisis, dan mencari alternatif solusi terhadap permasalahan atau kebiasaan buruk kita. Jadi, healing bukanlah menghealang dari permasalahan, tetapi menghadapinya, ya!