Menyoal Relevansi Agama Masa Kini
Belakangan ini kita dibombardir dengan isu-isu yang menyangkut agama dan moral. Mulai dari Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang mensahkan pernikahan beda agama, Hollywings yang mengiklankan minuman alkohol gratis bagi orang yang bernama Muhammad dan Maria, perdebatan kelompok LGBTQ+ yang didasarkan pada nilai-nilai agama yang sedang intensif dibahas di bulan Juni karena pride month, dan juga kasus kegiatan prostitusi yang dilabeli dengan nama “Bungkus Night”, isu Rumah Makan Padang yang menjual rendang babi padahal Rumah Makan Padang tersebut sudah tutup dari dua tahun yang lalu. Semua ini terjadi consecutively atau secara beruntutan sehingga terkesan sangat terstruktur untuk menyudutkan satu agama tertentu. Kasus-kasus tersebut tentunya memicu reaksi dari para pemeluk agama konservatif dan anak muda moderat-sekuler yang menghasilkan perdebatan yang tidak subtansial karena agama dinilai tidak rasional. Bagaimana tidak, pembahasan agama katanya hanya melingkupi kaidah moral yang sangat subyektif sehingga tidak menyentuh ranah sosial yang empiris. Paling-paling ujungnya surga atau neraka kan?
Saat ini, dunia sedang dilingkupi oleh kemajuan yang begitu cepat dan masif terutama dalam bidang ekonomi dan teknologi. Hal ini sejalan dengan perkembangan rasionalitas manusia. Manusia di zaman sekarang sudah banyak yang berpikiran logis dan empiris, sehingga merasa bahwa nilai-nilai agama sudah begitu usang atau tradisional, tidak relevan, dan membuat jengah. Dalam sosiologi, jika merujuk pada teori August Comte, hal ini mengatakan bahwa masyarakat atau manusia sudah beranjak menuju tahap positivisme.
Lalu, mengapa manusia modern pelan-pelan meninggalkan ajaran agamanya? Atau tidak berkeyakinan? Atau bahkan hanya memakai agama sebagai status di KTP? Selain karena kemajuan rasionalitas, jawaban lain dan menurut saya lebih tepat adalah karena adanya dualisme atau dikotomi ilmu dalam agama. Banyak para pemuka agama atau orang-orang yang sangat relijius seringkali mempromosikan atau berkhutbah bahwa ilmu-ilmu eksak atau empiris seperti matematika, fisika, biologi, kimia, astrologi, hingga ilmu sosial-humaniora seperti sastra, sosiologi, antroprologi, seni, dan sebagainya itu ilmu dunia yang jangan terlalu dikejar dan dipelajari karena katanya di alam kubur nanti malaikat tidak akan menanyakan itu semua. Mereka lebih menekankan kepada ilmu nahwu shorof, tafsir, hafalan Qur’an dan Hadits, Bahasa Arab, Kitab Kuning, dan semacamnya yang terkesan ke arab-araban sebagai ilmu agama. Hal ini pulalah yang menurut saya menjadikan agama menjadi jumud, terkerangkeng, dan hanya menyaksikan kemajuan zaman tanpa berkontribusi atasnya. Belum lagi, banyak dari kita yang hanya mengglorifikasi kejayaan masa lalu seperti saat Islamic golden-age tanpa melakukan action apapun.
Belum lagi, hilangnya sensitivitas spiritual di kalangan anak muda karena terus-terusan dijelali oleh hiburan dan informasi yang menggaungkan kebebasan. Selain itu juga para pemuka agama seringkali membawakan agama dengan cara yang ekstrem seperti melontarkan pernyataan radikal, bersikap konservatif karena menafsirkan teks Kitab Suci secara tekstual, memvalidasi kemalasan, dan membawa mundur peradaban. Padahal jika dipelari dengan benar, agama, khususnya Islam, sejatinya membawa para penganutnya ke dalam kesempurnaan human beings atau menjadikan setiap insannya menjadi manusia yang berperadaban dan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Saya ingin menyampaikan suatu saran atau bisa dikatakan juga kritik untuk kemajuan perbaikan khusunya bagi umat Islam. Menurut saya, jadilah umat atau pemeluk agama yang tidak dualisme atau dikotomis. Saya sangat takjub dengan perkembangan dan kemajuan zaman tetapi sangat sedih dan miris ketika melihat kemunduran ummat beragama padahal agama akan selalu relevan dengan perkembangan zaman dan akan selalu dibutuhkan sebagai filter dari nilai-nilai amoral yang dihasilkan oleh kebebasan. Faktor dari ini semua adalah sekulerisme yang mendikotomikan ilmu sebagai ilmu dunia dan ilmu agama. Miris ya, hal semacam ini malah seringkali dipropagandakan oleh para pemuka agama. Padahal ilmu-ilmu yang dianggap profan atau keduniawian itu, jika dipelajari dengan landasan spirit keagamaan, akan sangat berguna untuk kemajuan peradaban dunia baik dari segi akal maupun moral. Coba kita lihat di zaman sekarang, apa yang dihasilkan oleh kebebasan yang tidak bertanggung jawab? Rentetan katastropi seksual? Manusia yang hanya mengedepankan birahi kehewananannya saja? Apakah dengan begini peradaban dikatakan maju? Oleh karena itu, mari kita semua pelajari semua ilmu dengan landasan keimanan dan jangan menjadi sekuler dengan mendikotomikannya. Pelajari juga kitab suci secara kontekstual supaya tidak kaku dalam menyikapi dunia. Sehingga kita bisa menyajikan solusi yang tepat, baik, dan benar (rasional dan bermoral) sebagai jawaban atas persoalan dunia.
Menurut saya rentetan propaganda yang tadi disebutkan di awal itu bisa jadi disebabkan karena adanya phobia terhadap satu agama. Kalau dipikir ulang sih wajar saja, para pemeluk agama seringkali mendemostrasikan agamanya secara ekstrem dan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan bersosial. Namun, ini semua juga merupakan hasil dan reaksi dari atmosfer atau iklim politik di Indonesia yang seringkali menggoreng isu agama. Untuk hal ini, mungkin akan saya bahas lain kali.
Jadi intinya, untuk menghadapi dunia yang semakin beragam persoalannya, kita sebagai orang yang mengaku beragama itu hendaklah menjadi pribadi pembelajar yang tidak mendikotomikan ilmu yang merupakan bagian dari sekulerisme sehingga kedepannya diharapkan kita mampu menjawab permasalahan sosial secara rasional dan mampu memelihara keharmonian peradaban dengan moral. Pelajari juga kitab suci atau ajaran-ajaran agama secara kontekstual sehingga terus menghasilkan pengetahuan yang relevan dengan perkembangan zaman tanpa melepas aspek sensitivitas spiritual.