Bungkus Night : Salah Satu Bukti Parahnya Krisis Moral di Indonesia

profile picture Wiji Nastiti

Belakangan ini, pengguna sosial media dihebohkan dengan adanya kasus prostitusi berkedok praktik pijat dengan nama acara yaitu Bungkus Night. Acara tersebut disebarkan melalui poster yang bernada sensual dan dibagikan melalui media sosial. Hashtag Bungkus Night bahkan sempat menjadi trending topik di twitter. Para netizen pun turut memberikan pendapatnya dan menuai pro kontra. Beberapa orang yang pro dengan acara tersebut mengatakan salah satu alasannya yaitu bahwa hal tersebut adalah sebuah pekerjaan yang dilakukan secara profesional yang bahkan di negara Barat tidak terlalu dipermasalahkan.  Sementara itu, tidak sedikit netizen yang mengatakan bahwa tidak seharusnya prostitusi itu dilakukan, apalagi dipromosikan secara terang-terangan.

Terlepas dari adanya pro dan kontra yang beredar, acara tersebut mengindikasikan terjadinya krisis moral yang sangat parah di negara kita. Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini kita hidup berdampingan dengan teknologi. Segala hal dapat diakses dengan sangat mudah, tak terkecuali situs-situs ilegal yang tidak senonoh dan bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan dan dianut oleh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, pesatnya perkembangan teknologi menjadi hal yang sebenarnya sangat berbahaya bagi generasi muda jika tidak dibersamai dengan menanamkan nilai-nilai moral kepada mereka. Generasi muda bisa saja menormalisasikan suatu hal yang bertentangan dengan ajaran moral atas dasar “open minded”.

Salah satu contohnya adalah dengan adanya kasus ini yang bahkan masih menuai pembelaan dari beberapa orang. Jika kita melihat di negara-negara Barat, hal semacam itu mungkin bukan suatu masalah besar. Pertanyaanya, apakah value atau nilai yang dipegang oleh mereka itu sama dengan value atau nilai yang dipegang oleh masyarakat kita? Jawabannya tentu tidak. Salah satu perbedaan yang paling mencolok adalah dari sisi kereligiusan masyarakat. Sebagian besar orang-orang di negara Barat tidak menganut agama, sedangkan di Indonesia, masyarakat diwajibkan untuk menganut agama dari enam agama yang ditetapkan oleh pemerintah. Agama manapun pasti melarang segala hal yang bisa menimbulkan dosa, termasuk zina. Dari sini saja, kita bisa melihat, apakah budaya Barat dan budaya kita sama? Tiba-tiba teringat salah satu youtuber Korea Selatan yang saat itu membahas mengenai pandangannya terhadap masyarakat kita. Di Korea Selatan, orang-orang memisahkan kehidupan agama dengan kehidupan sehari-hari. Tetapi di Indonesia, semua orang hidup berdasarkan nilai-nilai agama yang mereka pegang dan nilai-nilai moral yang ada di masyarkat. 

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang melabeli dirinya sebagai orang yang “open minded” sehingga menormalisasi dan bahkan membela hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama dan nilai moral masyarakat kita? Mari kita telaah terlebih dahulu apa arti “open minded” sesungguhnya. Dikutip dari alodokter.com, open minded adalah kemampuan untuk berpikir secara terbuka terhadap berbagai macam ide, gagasan, informasi, maupun argumen. Mungkin karena kata “berpikir secara terbuka”, banyak generasi muda yang kebablasan memaknainya. Padahal dengan menjadi seseorang yang open minded, kita seharusnya bisa mempertimbangkan segala hal dari banyak sisi, dari sisi norma, agama, dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, orang-orang yang open minded seharusnya bisa membedakan mana hal yang baik dan mana hal yang buruk. Tidak menyalahkan tapi tidak membenarkan, menghargai tapi tidak mengikuti, seperti itu kiranya kalimat yang menggambarkan ketika orang-orang open minded berpendapat mengenai hal-hal yang yang bertentangan dengan budaya kita. Menjadi orang yang open minded, bukan berarti kita tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral dan agama yang sudah diajarkan ketika mengemukakan pendapat. 

Lalu, siapakah yang sebenarnya bertanggung jawab untuk memperbaiki krisis moral generasi muda? Apakah para guru? Orang tua? Pemerintah? Atau generasi muda itu sendiri? Jawabannya adalah semuanya memiliki peran penting dan memiliki tanggung jawabnya masing-masing. Guru memiliki tanggung jawab untuk mendidik para siswa di sekolah dengan menerapkan nilai-nilai moral. Sebelum itu, para guru juga harus memiliki moral terlebih dahulu agar para peserta didik juga bisa mengetahui apa arti moral sebenarnya. Karena orang tua menyekolahkan anaknya agar memiliki karakter yang berkualitas, bukan sebaliknya. Kemudian, orang tua sebagai guru pertama bagi anak juga tidak bisa semata-mata hanya mengandalkan guru di sekolah. Tugas guru hanya mendidik anak-anak di sekolah, di luar sekolah itu sudah bukan tanggung jawab guru, tapi tanggung jawab orang tua. Oleh karenanya, orang tua juga jangan bersikap abai terhadap perilaku anak. Nasihati dan arahkan anak jika anak mulai bersikap mencurigakan atau tidak seperti biasanya, tetapi jangan dimarahi atau dikekang. Untuk pemerintah, maksimalkan keamanan dalam dunia digital dan ciptakan ruang aman dengan melaksanakan peraturan atau hukum yang berlaku secara adil. Bagaimana dengan generasi muda itu sendiri? Pergunakan teknologi untuk hal yang bermanfaat, cari lingkungan yang suportif, yang bisa membantu kita untuk  tumbuh dan berprogres ke arah yang lebih baik.

Terakhir, jangan mudah terhasut dengan pemikiran-pemikiran yang liberalis, tapi jangan terlalu menutup diri dengan budaya-budaya baru yang masuk. Di tengah era globalisasi yang serba cepat, kita perlu bersikap terbuka dan selektif terhadap hal-hal baru yang masuk ke masyarakat kita. Oleh karena itu, “Think Globally, Act Locally”, berwawasan lah secara global, tapi berperilaku lah secara lokal dengan memperhatikan norma dan kearifan masyarakat setempat.

Referensi : 

https://www.alodokter.com/mengenal-karakteristik-orang-open-minded-dan-cara-mengembangkannya

https://www.suara.com/news/2022/06/20/123600/apa-arti-istilah-bungkus-night-yang-akan-diselenggarakan-di-tempat-spa-jaksel

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Wiji Nastiti

This statement referred from