Perayaan di Tengah Pandemi: Tetap Berjalan atau Terpaksa Berhenti?
Bulan kian berganti dan pandemi masih enggan berhenti, sementara agenda perayaan rutin tahunan menjadi hal yang sulit untuk ditinggalkan. Agenda perayaan rutin ⸻ baik setiap tahun sekali, dua kali, maupun tiga kali ⸻ berbasis agama atau budaya menjadi kegiatan yang ‘seakan’ mustahil untuk ditiadakan (karena telah dilaksanakan sejak dahulu kala), namun di sisi lain juga ‘bertentangan’ dengan protokol kesehatan yang diserukan oleh pemerintah untuk tidak bergerombol dan menerapkan physical distancing. Keadaan ini menjadi situasi yang dilematis bagi pemangku adat dan pemuka agama setempat, yakni antara nekad melanjutkan atau terpaksa meniadakan. Beberapa agenda perayaan yang dilaksanakan di tengah pandemi adalah perayaan idul adha oleh umat muslim, ritual Yadnya Kasada oleh suku Tengger, ritual Seba oleh suku Baduy, dan tradisi Tumpeng Sewu oleh warga Desa Kemiren Banyuwangi. Lalu, ritual-ritual tersebut tetap berjalan atau dengan berat hati terpaksa ditiadakan?
Idul Adha sebagai Ritus Munajat agar Corona segera Diangkat
Sebagai perayaan yang dilaksanakan setiap tahun sekali, idul adha menjadi momen yang paling ditunggu oleh umat muslim. Pelaksanaannya yang terikat oleh waktu tertentu, membuat ritual ini menjadi terkesan semakin sakral. Tak heran jika momen ini dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh umat muslim untuk bermunajat kepada Dzat yang Maha Pemberi Rahmat agar wabah Corona segera diangkat, sebagaimana yang telah diajarkan dalam Islam agar senantiasa meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Pelaksanaan ritual ini juga dilaksanakan dengan mematuhi protokol kesehatan ketat yang telah diedarkan oleh pemerintah, yakni pelaksanaan ritus keagamaan dengan menerapkan physical distancing; para jamaah yang ikut diwajibkan menggunakan masker; menghindari kontak fisik antarjamaah; dan pihak penyelenggara menyediakan sabun pencuci tangan di area kedatangan jamaah beserta melakukan pengecekan suhu tubuh.
Tak hanya itu, pemotongan hewan kurban sebagai bagian dari ritus perayaan idul adha ⸻ baik sapi, kerbau, kambing, maupun domba ⸻ agaknya menjadi wujud kepedulian sesama manusia sebagai makhluk sosial. Tak bisa dipungkiri bahwa Corona telah ‘memporak-porandakan’ berbagai sektor kehidupan, satu di antaranya sektor ekonomi. Berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan, jutaan orang terpaksa ‘dirumahkan’ gegara Corona yang enggan dienyahkan. Saling berbagi ⸻ lewat daging hewan kurban ⸻ diharapkan mampu ‘sedikit’ mengurangi kesedihan mereka yang sedang mendapatkan ujian. Setidaknya ritus ini mengisyaratkan bahwa dalam menghadapi wabah ini manusia tidak sendiri, sebab sebagai makhluk sosial manusia diharuskan untuk saling peduli. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Einsten, bahwa manusia itu soliter dan sosial. Menekankan hanya pada aspek yang pertama dan mengabaikan yang kedua adalah sebuah bencana.
Suku Tengger Melaksanakan Ritual Yadnya Kasada dengan Menggunakan Masker
Di kawasan puncak Gunung Bromo, Probolinggo, Jawa timur, masyarakat Suku Tengger melaksanakan ritual Yadnya Kasada pada hari Senin, 6 Juli 2020 lalu. Hebatnya lagi, masyarakat suku Tengger melakukan ritual ini dengan menggunakan masker sebagai wujud ikhtiar untuk mencegah penyebaran virus COVID-19. Selain penggunaan masker dalam prosesi ritus, wujud ikhtiar masyarakat suku Tengger dalam mencegah penyebaran virus COVID-19 adalah pembatasan peserta ritual, yakni hanya dilakukan oleh masyarakat suku Tengger yang berada di wilayah Probolinggo; Pasuruan; Malang; dan Lumajang serta tertutup untuk para wisatawan. Ritual Yadnya Kasada sejatinya merupakan ‘wujud lain’ dari ikhtiar dalam mencegah penyebaran virus COVID-19, sebab bagi umat Hindu suku Tengger Yadnya Kasada adalah ritual yang dilaksanakan untuk memohon kemakmuran, keselamatan, dan tolak balak kepada Sang Hyang Widhi. Jika upaya manusia belum mampu menghentikan gempuran virus Corona, maka memohon kepada Yang Menguasai alam semesta adalah hal yang harus dicoba, bukan?
Ritual Seba yang ‘Sedikit’ Berbeda dengan Biasanya
Tradisi Seba masyarakat Baduy tahun 2020 ‘sedikit’ berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Dilansir dari liputan6.com, Tetua adat masyarakat Baduy, Jaro Saija menuturkan bahwa ritual Seba tahun ini hanya akan diikuti oleh 30 perwakilan saja, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang diikuti oleh ribuan orang Baduy. Keputusan ini dilandasi atas imbauan pemerintah untuk menghindari kerumunan demi mencegah penyebaran virus Corona. Jaro Saija juga menambahkan bahwa sesederhana apapun, ritual Seba harus tetap dilaksanakan karena Seba merupakan satu di antara Pikukuh Karuhun (amanat leluhur). Jika Seba tidak jadi digelar karena pandemi, maka masyarakat Baduy takut akan terjadi bencana ⸻ yang ‘mungkin’ saja lebih besar dari Corona ⸻ gegara mengabaikan warisan atau amanat leluhur.
Tradisi Bersih Desa Warga Kemiren Diharapkan Dapat Mengusir Wabah
Berpindah ke ujung paling timur pulau Jawa, terdapat sebuah tradisi unik yang tetap digelar di tengah pandemi, yakni ritual Tumpeng Sewu. Tradisi ini dilakukan oleh warga Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi sebagai bentuk ungkapan syukur masyarakat Osing (masyarakat asli Banyuwangi) lewat tradisi bersih desa. Melalui ungkapan syukur inilah, diharapkan wabah Corona segera pergi dan tak kembali dari negeri ini. Meskipun tetap dilaksanakan, pelaksanaan ritual Tumpeng Sewu tetap menerapkan protokol kesehatan ketat. Bahkan terdapat satu tahapan ritual yang dihilangkan, yaitu ritual Mepe Kasur (menjemur kasur). Kerelaan masyarakat Kemiren untuk menghilangkan salah satu tahapan ritual demi keberlangsungan ritual Tumpang Sewu membuktikan bahwa kebudayaan yang telah terbangun sejak lama tak akan mudah dirobohkan oleh hal-hal yang datang secara tiba-tiba, sebesar apapun itu.
Pada akhirnya perayaan di tengah pandemi tetap berjalan dengan ‘sedikit’ keterbatasan sebagai bentuk harapan terhadap Penguasa Alam. Memang benar, kepasrahan yang terlalu berlebihan adalah kedunguan, namun berharap kemurahan Yang Maha Kuasa bukanlah hal yang sia-sia.