Generasi Z Suka Healing, Wajar atau Manja?
Jika kita mengikuti media sosial beberapa waktu terakhir ini, kita tidak akan asing dengan kata yang sering digaungkan anak muda zaman sekarang, yaitu healing. Setiap kali merasa letih, sedih, atau ingin menenangkan diri, mereka selalu mengucapkan bahwa dirinya membutuhkan self healing. Apakah kamu salah satunya?
Lantas, seberapa tahu kamu tentang healing?
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti kata healing adalah penyembuhan. Yang mana penyembuhan ini berkaitan dengan seseorang yang mengalami rasa sedih untuk meluapkan emosional yang terpendam dari kompleksnya kesedihan dalam hidupnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah benar generasi z itu manja? Dan apakah healing itu benar-benar diperlukan atau hanya pelarian saja?
Nah, jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut dapat dijelaskan dari beberapa sudut pandang. Untuk alasan yang pertama sangat erat hubungannya dengan media sosial, sebab anak muda tidak pernah terlepas dari hal tersebut. Tanpa kita sadari media sosial banyak mengubah kehidupan kita, dan jika diperhatikan tak jarang orang-orang yang menggunakan media sosial sebagai platform untuk selebrasi keberhasilan, memamerkan sesuatu, ataupun membicarakan hal-hal positif tentang diri mereka.
Salah atau tidak? Sebenarnya tidak ada salahnya, namun hal tersebut akan memberikan dampak tertentu dan membuat kita cenderung memandang orang lain dari sisi keberhasilannya saja, kita tidak melihat susah pahitnya proses dan yang kita ketahui hanyalah kesuksesan. Bahkan sering kali kita membandingkan diri dengan orang lain dan merasa bahwa kita tidak seberuntung dirinya, atau mungkin dalam situasi tertentu kita merasa bahwa kita harus lebih sempurna dari kondisi saat ini. Sehingga dampaknya adalah menuntut diri kita untuk bisa sukses dan berhasil dalam waktu yang singkat atau bisa dikatakan secara instan. Terlebih lagi masa remaja adalah transisi dimana pengakuan dan pencarian jati diri itu akan sangat penting bagi diri kita. Nah, akan tetapi apabila realitas tidak sesuai dengan harapan atau keinginan kita, itu bisa menjadi momok yang akan membuat kita merasa down, insecure, atau bahkan merasa bahwa kita hidup tidak ada gunanya, hingga pada akhirnya menuntut kita untuk mengasingkan diri, galau, dan sedih.
Untuk alasan yang kedua dapat kita jabarkan dari sudut pandang kesehatan mental. Manusia sekarang tergolong lebih humanis dan lebih melek akan kesehatan mental, oleh karena itu, ketika ada gejala yang dulunya dianggap sepele karena sekarang sudah lebih diperhatikan, sehingga dampaknya sekarang banyak yang merasa bahwa dirinya butuh penyelesaian atau dalam bahasa psikologi dinamakan stres coping. Tidak bisa dipungkiri bahwa cara stres coping setiap orang itu berbeda, mungkin ada dari mereka yang cara menyelesaikannya lebih improve, sehingga banyak yang menganggap kalau dirinya manja. Misalnya, seseorang stres karena banyaknya tugas kuliah, atau bisa juga patah hati setelah diputusin pacar dan memutuskan untuk healing selama sebulan, padahal pada akhirnya setelah memeperoleh ketenangan sejenak mereka juga akan kembali pada sumber masalah yang membuatnya healing itu lagi.
Jadi, solusinya bagaimana? Sebenarnya untuk mengatasi stres itu tidak melulu dengan healing yang kita ketahui sekarang, dan tidak semua stres juga bisa atasi tanpa healing, jadi ada waktunya untuk butuh atau tidak. Maka dari itu, kita harus memahami yang namanya strategi.
Mengenal Emotion- Focused Coping Strategis dan Problem-Focused Coping Strategis
Dalam stres coping ini kita dikenalkan suatu cara, yaitu Emotion- Focused Coping Strategis dimana pada strategi ini, ketika kita menyelesaikan masalah lebih difokuskan pada emosi atau bisa dikatakan dengan mengalihkan perhatian kita dari sumber masalah. Pada intinya kita hanya kabur sejenak dari masalah tersebut untuk memperoleh ketenangan, seperti curhat ke teman, healing, ikut mentoring, konseling, dan lain-lain. Cara ini lebih sesuai untuk mengatasi stres karena kehilangan, misalnya stres karena orang tua meninggal. Sebab tidak semua masalah terselesaikan dengan strategi ini, misalnya kita ada masalah kerja dengan atasan lalu curhat ke teman, setelah itu kita memperoleh ketenangan, tetapi apakah masalah dengan atasan kita hilang atau terselesaikan begitu saja?
Solusi untuk masalah tersebut lebih sesuai dengan strategi yang satu ini, yaitu Problem-Focused Coping Strategis, dimana strategi ini lebih memfokuskan pada problem atau masalahnya. Jadi ketika kita stres atau ada masalah dan kita mencoba untuk menghilangkannya dengan menghadapi atau menyelesaikan masalahnya secara langsung. Misalnya, ada masalah dengan pasangan, solusinya kita harus mengkomunikasikan masalah itu dengan pasangan kita sendiri.
Jadi, jika dikembalikan pada awal persoalan apakah generasi z yang suka healing itu wajar atau manja, menurut pandangan pribadi saya itu hal yang wajar. Karena ketika stres atau ada masalah, wajar jika kita butuh ketenangan dan penyelesaian. Namun, dalam tanda kutip kita harus bijak dalam pemilihan strategi permasalahannya, jangan sampai keputusan yang kita ambil malah memperparah keadaan kita sendiri.
Teruntuk kalian yang suka healing, bagaimana dengan pendapatmu ?