Literasi Santun: Menyekolahkan Tulisan Kita
Untuk memulai tulisan ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk merefleksi bagaimana kesantunan netizen indonesia dalam bermedia sosial.
Saya salah satu netizen yang banyak memantau akun berita kpop, di saat berita yang muncul adalah berita positif kolom kometar penuh dengan dukungan positif, tapi di saat berita yang dibahas adalah berita negatif kolom komentar umumnya dipenuhi dengan kalimat hujatan. Miris sekali melihat hal demikian.
Kita sama-sama mengetahui santun adalah kata populer yang tidak asing lagi di teliga. Menurut KBBI santun berarti halus, baik, sabar, tenang dan sopan. Sebuah kata yang memiliki makna positif dalam keseharian yang sangat identik dengan perilaku sehari-hari seperti berbahasa, bersikap dan bertindak.
Kesantunan yang paling sering disoroti adalah kesantunan dalam berbahasa, sebab bahasa adalah bagian dari budaya, di mana budaya akan menggambarkan karakter suatu bangsa. Karakter yang tertanam oleh setiap masyarakat berbangsa haruslah karakter yang senantiasa menjunjung kesantunan, kesopanan dan keramahtamahan.
Kemampuan berbahasa juga mencerminkan pribadi seseorang. Pribadi yang baik dan berbudi adalah pribadi yang senantiasa menjaga kesantunan. Orang-orang yang berbahasa santun akan mampu menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat sebagai element yang baik dan dapat diterima khalayak.
Menjadi kebahagian yang luar biasa sebab Indonesia telah dikenal dengan kesantunan dan keramahannya. Hal ini dibuktikan dengan daftar negara-negara teramah di dunia yang diambil dari buku “Lonely Planet edisi 1000 Ultimate Experiences”. Indonesia temasuk di dalamnya dan menempati posisi yang cukup memuaskan untuk tingkat kesantunan dan keramahan dalam bermasyarakat.
Kesantunan berbahasa harus mampu kita aplikasikan baik secara langsung maupun melalui media sosial. Sebab, digitalisasi dalam kehidupan bukan lagi sesuatu yang baru. Saat ini digitalisasi telah berdampingan dengan aktifitas kita sehari-hari. Penggunaan media sosial yang semakin meningkat tajam membuat kita lebih banyak bersosialisasi melalui gadget.
Hal ini menuntut kita untuk belajar bersopan santun di media sosial. Namun sayangnya survei Digital Civility Indeks (DCI) yang dilakukan Microsoft pada tahun 2020 menempatkan Indonesia di peringkat 29 dari 32 negara, artinya tingkat ketidaksopanan Indonesia di media sosial sangat rendah. Bukan hanya itu, survei DCI juga menempatkan Indonesia di urutan terbawah se-Asia Tenggara, yang berarti netizen Indonesia dinilai paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Miris sekali melihat hasil survei yang bertolak belakang antara keseharian kita di dunia nyata dan keseharian kita di dunia maya.
Hasil survei DCI membuat kita bertanya-tanya, masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kesopanan dan kesantunannya, ternyata sangat tidak beradab di media sosial, mengapa?
Elfira Rustina, Guru SMAN 1 Gending Probolinggo, dalam webinar Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 menyampaikan “Banyak orang memakai topeng dengan menggunakan akun anonim di media sosial untuk berbicara sekehendak hati”. Hal inilah yang memungkinkan para pengguna media sosial dapat seenaknya melempar ujaran kebenian, hoax dan katidaksantunan lainnya. Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra yang ditulis Taufik Hidayat pada tahun 2015 menyatakan bahwa identitas kesantunan dan kesopanan yang melekat pada bangsa Indonesia mulai mengikis seiring dengan banyaknya ketidaksantunan yang dilakukan masyarakat Indonesia. Ketidaksantunan yang amat sering dilakukan masyarakat indonesia yakni ujaran kebencian, kebohongan dan deskriminasi.
Penyebaran hoax, penipuan, ujaran kebencian dan deskriminasi menjadi faktor tingginya indeks ketidaksopanan pengguna media sosial di Indonesia. Setidaknya setiap pengguna media sosial yang ada di Indonesia pernah mendapati perihal-perihal di atas. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan masyarakat kita belum mampu tabayyun atas berita bohong. Sulit menahan diri agar tidak menuliskan hujatan kebencian dan terkadang melampiaskan amarah di media sosial.
Kemarahan dan ujaran kebencian menjadi fenomena yang semakin sering kita temukan semenjak pandemi Covid 19, pasalnya sebagian besar interaksi harus dilakukan secara digital ditambah dengan berbagai tekanan ekonomi yang melanda.
Selain itu proses menelaah, memilah dan tabayyun terhadap berita kadang dihiraukan, sehingga berita hoax dikonsumsi begitu saja.
Pendidikan terkait bertutur kata atau menulis gagasan melalui media perlu digalakkan sebagai upaya untuk menciptakan literasi santun. Bangsa yang besar adalah bangsa yang belajar. Literasi Santun adalah tujuan dari proses pembelajaran untuk memilah kalimat dan menelaah bacaan yang akan disampaikan melalui tulisan. Literasi santun adalah luaran dari proses pembelajaran yang aplikatif sekaligus konkrit, dilaksanakan melalui praktis sebagai upaya pembiasaan untuk menanamkan karakter berbahasa yang sopan dalam keseharian, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Selain dalam bentuk pendidikan, yang diperlukan adalah kesadaran kita sebagai pengguna media sosial. Sebab persoalan kesantunan adalah norma yang perlu diaplikasikan baik di dunia nyata maupun dunia maya.
Untuk itu mari menjadi pribadi yang turut mengkampanyekan kesantunan dalam bermedia sosial. Literasi Santun: Menyekolahkan Tulisan Kita.