Romantisasi Kekerasan Seksual dalam Cerita Fiksi

profile picture anastasiamariskha

Cerita fiksi mudah sekali kita jumpai dalam berbagai aplikasi literasi digital yang mewadahi tempat para penulis untuk bisa menuangkan ide karangannya sehingga bisa dengan mudah dinikmati banyak orang dari berbagai kalangan usia. Umumnya cerita bergenre romantis selalu menjadi genre yang disukai banyak orang, selain karena alurnya yang ringan dan akrab sekali dengan kehidupan remaja yang berada di fase menggebu-gebu dalam hal asmara. Hal ini terlihat dari perbandingan tingginya angka pembaca dalam cerita bergenre romantis dengan genre lainnya.

Namun, kemajuan literasi digital yang memudahkan siapa saja mampu mempublikasikan karangannya tidak diikuti dengan pemahaman akan isi dari tulisannya itu sendiri. Seringkali saat ini kita menjumpai judul-judul yang mengandung unsur pornografi serta pelecehan seksual, yang lebih mengejutkan lagi rupanya hal tersebut menjadi “pemikat” yang sengaja diciptakan penulis agar meningkatkan angka pembacanya.

Banyak dari penulis yang selalu membangun tokoh laki-laki dalam cerita fiksi tersebut sebagai sosok badboy, posesif, berlaku kasar pada perempuan, serta bersikap dominan dengan latar belakang orang yang memiliki pengaruh kuat seperti CEO, Ketua Osis, atau Ketua Geng. Tidak jarang dalam dialog cerita fiksi tersebut tokoh utama laki-laki tersebut akan mengeluarkan kata-kata yang tidak senonoh yang sarat akan pelecehan terhadap perempuan. Selain itu, tokoh utama perempuan akan digambarkan sebagai sosok yang lemah, patuh dengan segala perintah tokoh laki-laki, dan ia akan dibuat tergila-gila dengan sosok laki-laki tersebut.

Alur dari cerita fiksi tersebut biasanya diawali pertemuan kedua tokoh di mana sosok laki-laki tersebut akan bersikap kasar, dominan, misterius dan sang wanita dengan karakternya yang lemah tak berdaya digambarkan akan menuruti seluruh perintah sang laki-laki tersebut. Lalu, biasanya dipertengahan tokoh laki-laki tersebut akan merasa luluh dengan sikap sang wanita dan perlahan ia merasakan jatuh cinta. Tidak berhenti sampai di sana, ketika ia mulai jatuh cinta dan merasa “memiliki” sang wanita maka ia akan mulai melakukan tindakan posesif.

Tindakan posesif yang ia lakukan dimulai dengan larangan kepada sang wanita untuk memakai pakaian yang terbuka, larangan menemui pria lain, atau larangan lainnya yang tidak masuk akal. Selanjutnya jika sang wanita melanggar perintah sang laki-laki tersebut, maka ia akan mendapat hukuman yang mengandung pelecehan seksual atau bahkan pemerkosaan. Namun, hal ini justru dianggap “romantis” atau sebagai bentuk kasih sayang terhadap pasangannya dengan bersikap posesif. Padahal, jika disadari maka ini adalah salah satu bentuk hubungan yang tidak sehat.

Jalan cerita yang dikemas dalam bacaan fiksi tidak semata-mata merupakan ide murni yang dituangkan oleh si penulis, melainkan hal ini menunjukkan gambaran akan keadaaan masyarakat yang masih mengagungkan budaya patriarki. Hal ini terlihat ketika sosok laki-laki akan terlihat “jantan” ketika ia akrab dengan kekerasan, lalu sosok perempuan yang selalu digambarkan lemah lembut dan penurut adalah sosok wanita yang ideal. Sehingga tidak jarang tindakan kekerasan dan pelecehan dianggap hal yang normal atau bahkan romantis.

Kemunculan cerita yang akrab dengan budaya kekerasan dan budaya patriarki merupakan suatu cerminan tentang keadaan yang berjalan secara nyata dan berulang di masyarakat. Contohnya adalah pola asuh keluarga yang masih seringkali melanggengkan budaya patriarki di mana adanya perbedaan perlakuan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak laki-laki cenderung dilarang bersikap lemah, harus kuat serta bisa memimpin. Sementara anak perempuan harus menjaga pakaian serta tingkah lakunya, tidak bersikap kasar, serta mampu melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Pola asuh dengan contoh sederhana seperti itu secara tidak langsung mengajarkan bahwa seorang laki-laki memiliki derajat yang lebih tinggi dibandingkan perempuan atau laki-laki dianggap sosok yang memerintah dan perempuan adalah sosok yang penurut.

Ketika penulis mengemas suatu tindakan kekerasan seksual dalam kisah romantis, hal ini tidak bisa dianggap remeh sebab para pembaca yang berasal dari kalangan usia remaja yang penuh dengan rasa keingintahuan akan salah paham dalam menerima isi cerita tersebut. Artinya, ia akan menerima pemahaman bahwa budaya kekerasan dan budaya patriarki yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang keren, wajar, atau bahkan menjadi hal yang romantis jika dilakukan terhadap pasangan. Padahal jika hal tersebut dipraktikan di dunia nyata maka sama halnya kita membenarkan tindakan kekerasan dan hubungan yang tidak sehat terhadap pasangan. Bukan tidak mungkin hal tersebut akan mengarah pada meningginya angka kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia.

Suatu karya seni dalam bentuk film, tulisan, maupun lagu merupakan hal yang mampu memberikan pengaruh atas pola pikir seorang manusia. Begitu pula dengan karya tulis seperti cerita fiksi yang digemari oleh para remaja. Para penulis yang membangun karakter yang gemar melakukan kekerasan, pelecehan, serta hal berbau ponografi mampu memberikan pola pikir terhadap remaja bahwa sosok seperti itulah yang dianggap keren dan sangat diidam-idamkan. Sehingga hal ini perlu menjadi perhatian khusus bahwa tak seharusnya romantisasi akan kekerasan seksual dilanggengkan dalam suatu karya seni.

6 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
6
0
profile picture

Written By anastasiamariskha

This statement referred from