Sebuah Dilema Lulusan S2: Menjadi Akademisi, Praktisi atau Berkarir di Luar?

profile picture AdantiWP

Dewasa ini kita melihat banyak fenomena mahasiswa bercita-cita melanjutkan sekolah hingga setinggi-tingginya, sehingga kadang peristiwa yang begitu jamak ini menimbulkan sebuah tanda tanya sederhana seperti “Mau jadi apa?” dan puluhan tanda tanya lainnya. Pun kini, begitu banyak pintu penawaran terbuka untuk mereka yang menyukai lingkungan akademisi. Dimulai dari beasiswa nasional, beasiswa asing, pembiayaan parsial hingga biaya sendiri yang rela digelontorkan. Tentu saja hal itu tidak serta merta menutup timbulnya pertanyaan tentang intensi para pembelajar ini. 

Entah karena cukup lelah─karena bahkan ijazah S1 tidak bisa menjamin kehidupan yang sejahtera hingga pekerjaan yang cerah─ atau bahkan intensi yang paling murni sekalipun seperti rasa ingin tahu yang meletup-letup tentang sepak terjang sebuah keilmuan. Saya pun, pernah menjadi bagian dari mereka yang berjibaku dengan ratusan aplikasi beasiswa demi mendapatkan sekolah, sehingga begitu familiar dengan berbagai macam latar belakang teman-teman yang ingin atau sedang melanjutkan kuliah hingga S2 dan S3. 

Dikutip dari data statistik dikti 2020, jumlah mahasiswa magister meningkat dibandingkan dengan data statistik pada tahun 2017. Dominansi pun, ditampakkan pada usia mahasiswa sekitar 25-40 tahun. Hal ini menunjukkan pada usia-usia produktif, masyarakat mengalami peningkatan untuk melanjutkan minat ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Data tersebut, hanya mencakup wilayah Indonesia, namun bagaimana dengan mahasiswa Indonesia yang berkuliah di luar? Dilansir dari situs Republika jumlah mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat saja sudah mengalami peningkatan pesat bahkan hingga 9000 orang pada tahun 2020, tentu saja belum ditambahkan dengan negara lain. 

Pesatnya minat mahasiswa ini, membuat saya sering membuka diskusi dengan rekan sejawat semasa menempuh pendidikan di Negeri Gajah Putih, Thailand. Karena upaya survive dan menimba ilmu yang tidak main-main (because the struggling was real) saya beberapa kali mendengar jawaban bahwa mereka berharap dimensi hidup yang lebih baik dengan kesejahteraan yang tinggi setelah lulus S2. Sehingga, tak jarang ada yang berpendapat ingin berkarier menjadi praktisi di sebuah perusahaan multinasional, atau pada tingkat yang lebih jauh lagi berkarir di luar negeri dan menetap disana. 

Menengok kebutuhan akan pendidik di perguruan tinggi dan membandingkan dengan jumlah negara dengan tingkat pendidikan paling mumpuni seperti Amerika Serikat, tentu Indonesia masih tertinggal. Menurut Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PD-Dikti) Indonesia jumlah rasio dosen dan mahasiswa adalah 1:60 untuk S1 sementara di Amerika Serikat jumlahnya cukup fantastis. Menurut data dari National Center for Education Statistic jumlah rasio dosen dan mahasiswa ada pada kisaran 1:14 untuk pengajar universitas dan mahasiswanya. Tentu beberapa fakta ini memberikan sebuah urgensi─ jika ingin menyusul kualitas pendidikan Amerika─ untuk meningkatkan jumlah pendidik bagi Indonesia, dibarengi dengan fakta bahwa jumlah mahasiswa baru di Indonesia akan semakin meningkat dari tahun ke tahun. 

Lantas apa yang menyebabkan mereka (para lulusan S2) berpikir ulang untuk menjadi seorang akademisi? Bukan jadi rahasia, kemungkinan besar adalah masalah kesejahteraan atau jumlah gaji yang dirasa tidak sebanding dengan usaha yang digelontorkan selama berkuliah. Jumlah gaji dosen di Indonesia, tidak lebih tinggi dibandingkan lulusan S1, ditambah dengan asas tri dharma perguruan tinggi (yang sebenarnya begitu baik akarnya) diterapkan dengan metode yang dirasa memberikan beban kepada para civitas akademika. Jumlah mahasiswa yang ditangani pun semakin banyak dari waktu ke waktu dan persoalan administratif juga kerap menyibukkan pikiran para dosen, baik itu di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS). 

Tidak heran, banyak sekali godaan untuk bekerja dan berkarir di luar atau paling tidak bergabung dengan perusahaan asing atau multinasional yang bergaji dua digit. Bahkan dibandingkan dengan Thailand, yang notabene sesama anggota ASEAN, gaji untuk lulusan S2 terutama dosen, begitu jauh bedanya dengan Indonesia. Sebagai informasi, di Thailand profesi pemuka agama dan pendidik begitu tinggi dan dihargai.

Meskipun diselimuti perdebatan, sejatinya, pertanyaan ‘Mau jadi apa?’ selamanya akan dikembalikan kepada individu yang bersangkutan. Karena menurut saya, sebuah pekerjaan sama dengan panggilan hati. Itu pilihan. Besar harapan pekerjaan menjadi dosen, mampu mendulang animo yang tinggi di masa depan. Semoga Indonesia mampu melahirkan dosen-dosen yang baik dan produktif serta menerapkan asas tri dharma perguruan tinggi dengan kesadaran penuh─sebaik-baiknya ditambah dengan perbaikan sistem pendidikan dari pemerintah. Semoga saja.

Referensi:

Kemendikbud. (2015). Statistik Pendidikan Tinggi (Higher Education Statistics)
2018. Pusdatin Kemendikbud

Kemendikbud. (2020). Statistik Pendidikan Tinggi (Higher Education Statistics)
2018. Pangkalan Data Pendidikan Tinggi

National Center for Education Statistics. (2022). Characteristics of Postsecondary Faculty. Condition of Education. U.S. Department of Education, Institute of Education Sciences.

https://www.republika.co.id/berita/q5nbl9320/jumlah-mahasiswa-indonesia-di-amerika-tembus-9000-orang (diakses tanggal 31 Agustus, pukul 17.00 WIB)

Kredit gambar: 

Professor Flat Design Animation by Chud Tsankov (https://www.behance.net/gallery/101634329/Professor-Flat-Design-Animation)

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By AdantiWP

This statement referred from