Bahagia (Bukan) Apa Kata Media Sosial!

profile picture Trian Mayarani

Meluapnya kecanggihan teknologi membuat dunia semakin menjadi-jadi. Banyak hal baru yang sebelumnya tidak diketahui, kini mudah untuk ditelusuri. Inilah hal yang sedang dirasakan generasi milenial di era serba digital. Mereka begitu cakap dengan internet dan mulai menjelajah didalamnya. Berdasarkan laman website kominfo.go.id tercatat bahwa generasi milenial dapat menghabiskan waktu di depan layar perangkat mobile sekitar tiga jam sehari dan hal tersebut diprediksi akan terus meningkat. Survei juga dilakukan oleh IDN Research Institute bersama Alvara Research Center kepada 1.400 generasi milenial, dimana hasil tersebut menunjukkan mayoritas generasi milenial Indonesia telah mengalami kecanduan (ketergantungan) terhadap internet. Bahkan diketahui sebanyak 79 persen generasi tersebut membuka ponselnya satu menit setelah bangun tidur. Wah, sangat mengejutkan bukan?

Beragam hal dapat diakses dengan mudah oleh generasi milenial, termasuk diantaranya kehadiran media sosial adalah sesuatu yang tak bisa dihindarkan. Media sosial sendiri menjadi tempat untuk saling mengenal satu sama lain dikala jarak, ruang dan waktu yang membatasi. Mereka dapat bersosialisasi, berkomunikasi hingga menjalin silahturahmi melalui jaringan internet yang semakin modern. Berbagai fitur telah tersedia untuk menunjang itu semua. Bahkan saking hebatnya, kita bisa mengetahui aktivitas apa saja yang sedang mereka lakukan. Mulai dari memasak, berkebun, belanja, liburan serta masih banyak yang lainnya. Tentu hal tersebut dapat terjadi apabila mereka dengan sengaja mengunggah foto atau video yang memuat itu semua di laman akun media sosialnya. Entah apa yang membuat mereka begitu bersemangat menunjukkan kepada dunia setiap detik segala kegiatannya. Mungkinkah mereka haus akan pengakuan atau sekedar untuk menarik perhatian? 

Terlepas itu semua, tak jarang postingan seseorang justru membuat generasi milenial mudah untuk menetapkan standar kebahagiaannya. Mereka akan tersugesti untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang diposting di media sosial. Misalnya saja di umur 25 tahun telah menikah dan mempunyai anak, di umur 25 tahun telah pergi ke luar negeri dan melanjutkan studi S2-nya, atau bahkan di umur 25 tahun telah sukses membangun usaha dan memiliki tabungan 100 juta. Kehidupan semacam ini mungkin banyak kita jumpai di beranda media sosial. Mereka nampak begitu bahagia dan menikmati kehidupannya. Melihat hal tersebut, inilah yang menjadikan generasi milenial mudah untuk mengansumsikan bahwa bahagia itu harus menikah, mempunyai anak, lanjut S2, membangun usaha, dan memiliki tabungan 100 juta di umur 25 tahun. Mereka akan terprovokasi melakukan itu semua di umur yang sama hanya untuk mengejar sebuah arti ‘kebahagiaan’. Dorongan semakin kuat tatkala media sosial dijadikan ajang pamer kehidupan yang "sempurna" dalam fananya dunia jagat maya. 

Generasi milenial tentu harus paham akan hal demikian. Membuka mata dan tanggap atas makna yang sesungguhnya dari kata “bahagia”. Milenial tidak dapat memukul rata bahwa setiap orang harus berada di lintasan yang sama. Bukankah ukuran sepatu yang digunakan itu berbeda-beda? Jika di umur 25 tahun bahagia karena telah menikah dan mempunyai anak, lantas bagaimana dengan mereka yang memang belum dipertemukan dengan jodohnya? Apakah mereka tidak layak untuk bahagia? jika di umur 25 tahun mereka belum mampu melanjutkan studi S2-nya karena memang belum ada kesempatan, apakah mereka tidak layak untuk bahagia? jika di umur 25 tahun mereka belum memiliki tabungan 100 juta lantaran gajinya dibuat untuk membantu perekonomian keluarga, apakah mereka juga tidak layak untuk bahagia? tentu tidak. Mereka memiliki hak yang sama untuk memperoleh kebahagiaannya. Hanya saja, puncak setiap orang itu memang tidak dapat disetarakan satu dengan yang lainnya. 

Kebahagiaan juga tidak hanya sebatas pada ruang yang ditampilkan dalam gemerlapnya media sosial. Masih banyak yang mungkin tidak tersorot kamera namun begitu murni suka cita yang dirasakannya. Generasi milenial seharusnya tidak mudah terpedaya dalam balutan indahnya postingan yang bersliweran di beranda. Karena apa yang nampak bahagia belum tentu baik-baik saja. Boleh jadi apa yang diposting hanya sebuah ‘penggiringan opini’ untuk memikat segelintir simpati. Sudah semestinya generasi milenial harus fasih dalam memandang apa substansi ‘kebahagiaan’ yang sejati. Milenial tidak dapat terus-terusan mengejar kebahagiaan berdasarkan apa kata media sosial. Sebab kebahagiaan itu tidak untuk dikejar melainkan datang dari rasa syukur kepada Tuhan. Ada yang bahagia karena makan ayam direstoran, ada yang bahagia mendapatkan upah seratus ribu rupiah, ada pula yang bahagia bisa mengeja huruf hijaiyah. Akan terus ada kebahagiaan, kebahagiaan lainnya jika kita percaya bahwa bahagia itu dekat dan sederhana.

“Bagaikan pisau bermata dua” menjadi ungkapan yang relevan dengan kehadiran media sosial. Akan terus ada kedua sisi yang saling bersebrangan, tinggal bagaimana kita menyikapi itu semua. Oleh karena itu, pesan untuk insan di luar sana, khususnya generasi Y jangan lupa bahagia menurut versi terbaikmu ya! Yakin dan percayalah bahwa bahagiamu itu istimewa! Gunakan media sosial sebagai tempat untuk terus berproses dan berprogres. Semangat selalu!

Referensi:

https://www.kominfo.go.id/content/detail/8566/mengenal-generasi-millennial/0/sorotan_media (diakses 12 Mei 2022)

Harususilo, Yohanes Enggar. 2019. “Survei: Bangun Tidur Generasi Milenial Langsung Pegang HP, Kamu?”. https://edukasi.kompas.com/read/2019/01/30/12162041/survei-bangun-tidur-generasi-milenial-langsung-pegang-hp-kamu?page=all (diakses 12 Mei 2022) 

Ilustrasi (credit: Freepik) 

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Trian Mayarani

This statement referred from