Silver Spoon and Golden Heart

profile picture Aamirads

Pernahkah kalian mendengar frasa “been born with a silver spoon in their mouth"? Silver spoon atau sendok perak merupakan sebuah metafora yang identik dengan kekayaan atau keistimewaan terutama yang diwarisi (seseorang yang lahir dari keluarga kaya atau memiliki kekuasaan) sehingga mereka mendapatkan hak istimewa (privilege). kata privilege sudah tidak asing terdengar ditelinga kita. Hal ini kerap dibincangkan oleh banyak orang dari berbagai perspektif, dan pada pelbagai platform (e.g., media elektronik, media massa, dll). Privilege atau hak istimewa berasal dari bahasa Latin, privilegium, yang berarti hukum hanya untuk satu orang dan manfaat yang dinikmati oleh individu atau kelompok di luar apa yang tersedia bagi orang lain. Sementara itu, para sosiolog mendefinisikannya sebagai manfaat diterima di muka yang diperoleh kelompok tertentu berdasarkan kedudukan mereka dalam hierarki sosial. Apakah privilege itu merupakan faktor penentu kesuksesan seseorang? Privilege memang bukan satu-satunya penentu kesuksesan, namun tak bisa dipungkiri, hal itu memberikan kemudahan akses pendidikan, ekonomi, kesehatan, politik, dll. Orang yang memiliki privilege sering diibaratkan seperti atlet lari yang memiliki garis start lebih dekat dengan garis finish dibandingkan dengan orang-orang yang tidak terlahir memiliki privilege. Mereka menempuh jarak yang lebih jauh disertai berbagai hambatan sehingga pengorbanan yang dikerahkan untuk mencapai garis finish lebih besar (waktu, tenaga, pikiran, materi, dll). Sebagian orang merasa hidupnya terancam karena tidak memilikinya, sebagiannya lagi terselip puji syukur karena terlahir dengannya. Meskipun faktanya tidak semua orang menggunakan “kelebihan” tersebut dengan sebaik-baiknya, bahkan tidak sedikit dari mereka yang terlena dengan keistimewaan yang dimilikinya. Lantas, apakah mereka yang tidak memiliki privilege tidak memiliki peluang untuk sukses?


 

Jika kita menilik kembali melalui kacamata sejarah peradaban manusia, Privilege telah ada sejak masyarakat masih memiliki sistem sosial yang sangat sederhana. Menurut Gerard E. Lenski dalam bukunya Power and Privilege: A Theory of Social Stratification (1966), Sifat manusia dan masyarakat menjadi dasar perumusan teori umum distribusi. Dalam masyarakat paling sederhana di mana tidak ada surplus, barang dan jasa hanya didistribusikan berdasarkan kebutuhan. Akan tetapi, dengan kemajuan teknologi, produktivitas dipacu sehingga memunculkan surplus, peningkatan proporsi barang dan jasa akan didistribusikan atas dasar kekuasaan. Kontrol atas barang atau jasa surplus menghasilkan hak istimewa, sehingga hak istimewa sebagian besar merupakan fungsi kekuasaan. 


 

Dalam kehidupan kiwari, sistem sosial makin berkembang mengakibatkan kompleksitas sosial bertambah khususnya pada distribusi kesempatan yang mengakibatkan adanya ketimpangan sosial. Bahkan dalam kehidupan suatu masyarakat yang menganut sistem demokratis pun tetap ada hak-hak istimewa yang dimiliki oleh para pejabat negara yang disebabkan oleh aturan-aturan yang dibuat para pejabat dengan tujuan memberikan hak-hak istimewa untuk mereka dan kelompoknya sendiri. Sementara itu, kekuasaan, prestise, dan hak istimewa sebagian besar merupakan fungsi dari keterampilan dan kemampuan pribadi dalam masyarakat berburu dan meramu primitif, stratifikasi menjadi makin melembaga dan mengakar dalam masyarakat hortikultura. Perbedaan turun-temurun dalam kekuasaan, hak istimewa, dan kehormatan mencapai puncaknya dalam ekonomi agraris.


 

Sifat sistem distributif, yaitu stratifikasi, bervariasi terutama dengan tahap kemajuan teknologi suatu masyarakat, dan tingkat ketidaksetaraan dalam sistem distributif bervariasi dengan ukuran surplus masyarakat. Ada juga variasi sekunder yang berasal dari perbedaan lingkungan fisik, organisasi militer, dan rezim politik. Dari jumlah tersebut, kelas kekuasaan adalah dasar karena hak istimewa dan prestise terutama ditentukan oleh distribusi kekuasaan. Karena kekuasaan bertumpu pada berbagai fondasi, maka pengelompokan kelas dapat didasarkan pada properti, pekerjaan, pendidikan, usia, jenis kelamin, dan keanggotaan kelompok ras-etnis. Sampai kapan pun berbagai bentuk kekuasaan ini tidak berkorelasi sempurna satu sama lain, Sehingga satu individu dapat secara bersamaan menjadi anggota dari beberapa kelas kekuasaan yang berbeda. Inilah yang menjadi dasar munculnya privilege.


 

Faktanya, permasalahan ketidaksetaraan kesempatan merupakan masalah struktural dalam suatu negara. Ini merupakan tugas seluruh elemen masyarakat untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ketidaksetaraan kesempatan sehingga dapat memutus rantai kemiskinan. Negara perlu melakukan afirmasi terhadap kelompok-kelompok miskin, dengan memberikan kesempatan terhadap akses pendidikan, ekonomi yang lebih baik, sehingga mereka mampu bersaing dengan kelompok-kelompok yang memiliki kontrol, kekuasaan, dan hak istimewa. Negara harus memiliki sistem yang dapat melindungi warga negaranya dan konstitusi yang tidak memihak (diskriminatif) sehingga dapat memenuhi hak warga negara, serta memberi mereka kesempatan terhadap akses yang sama. Demi terciptanya peluang mobilitas sosial, daya saing yang ketat, dan produktivitas sosial yang tinggi.


 

Di era globalisasi industri 4.0 yang banyak dipengaruhi oleh ide-ide neoliberal (self-management, inovasi, dll), privilege makin bervariasi bentuknya, diantaranya beauty privilege, socio-economic privilege, white privilege, dll. Akan tetapi, secara umum masyarakat beranggapan bahwa hak istimewa yang memiliki pengaruh signifikan dalam menentukan standar kehidupan seseorang dan memiliki tolak ukur yang jelas adalah socio-economic privilege. Tolak ukur yang sering digunakan merupakan kombinasi dari pendidikan, karir, dan finansial. Seseorang dianggap memiliki privilege bila berasal dari keluarga yang mapan, memiliki akses pendidikan, dan menikmati jaminan kesehatan. Intinya adalah mereka dapat hidup nyaman sehingga bisa fokus mengejar kesuksesan. 


 

Adanya socio-economic privilege menjadi penyebab timbulnya pelbagai masalah sosial lainnya, seperti ketidakadilan dalam akses ke sumber daya, ketidaksetaraan kesempatan, peningkatan angka kriminalitas, kecemburuan sosial, bahkan dapat mengarah pada konflik sosial yang mengakibatkan terjadinya disintegrasi. Orang-orang yang memiliki socio-economic privilege semestinya berhati-hati agar tidak berfokus pada dirinya sendiri (egosentris). Sebaliknya, harus meningkatkan rasa peduli (empati) terhadap orang yang tidak memilikinya.


 

Contoh konkritnya, belum lama ini, sosial media digemparkan oleh reaksi warga dunia terhadap pernyataan kontroversial yang dilontarkan oleh Kim Kardashian dalam salah satu wawancaranya bersama Variety. ia mengatakan “I have the best advice for women in business. Get your f*cking ass up and work. It seems like nobody wants to work these days.” Pernyataan ini tidak lain merupakan ajakan untuk perempuan dalam dunia bisnis agar bekerja lebih giat.


 

Komentar ini tentu saja tidak ditanggapi dengan baik, orang-orang beramai-ramai mengkritisi dan memberikan opini mereka terhadap pernyataan “ofensif” sang publik figur di Twitter, podcast, tiktok, dan sejenisnya karena beberapa alasan. Kim Kardashian tentunya bekerja dengan sangat keras untuk dapat mencapai posisinya sekarang, namun terlepas dari itu, sebagian besar perempuan juga bekerja dengan sangat keras untuk memenuhi kebutuhan dalam hidup masing-masing. Ia melupakan fakta bahwa menjadi bagian dari keluarga Kardashian adalah salah satu hak istimewa yang luar biasa dan hal tersebut sangat jarang dimiliki oleh perempuan lainnya. Hal lain adalah bahwa saat ini adalah masa sulit bagi tenaga kerja pada umumnya, dan para wanita pada khususnya. Pernyataan Kim Kardashian menimbulkan perdebatan di antara pengguna sosial media lantaran kurangnya empati terhadap orang-orang yang tidak memiliki privilege seperti yang dimilikinya.


 

Perlu dicamkan bahwa hal terpenting untuk meraih kesuksesan bukan privilege, melainkan karakter atau kepribadiannya.  Tidak sedikit orang besar yang berawal dari tidak memiliki privilege, mereka terlahir dari keluarga yang sederhana dengan segala keterbatasannya, namun dengan modal kepribadian yang baik, antara lain determinasiambisi, keberanian, spirit, disiplin, dan konsistensi. Mereka mampu melalui sejumlah proses dan tahapan sehingga bisa mencapai kesuksesan pada bidangnya masing-masing. Privilege is given while character is continuous learning and self-improvement.


 

Perdebatan yang terfokus pada sebab-sebab yang menghasilkan privilege dan konsekuensi-konsekuensi dari adanya strata dalam masyarakat tidak akan membantu usaha kita dalam meraih kesuksesan itu sendiri. Alangkah baiknya, pandangan kita difokuskan pada self-improvement (perbaikan diri) dalam meniti sejumlah tahapan dan proses menuju kesuksesan. 


 

Bagi mereka yang beruntung mendapatkan privilege, baik yang diwarisi sejak lahir, maupun yang dibangun melalui sistem politik, ekonomi, dll. Sepatutnya, selain digunakan untuk keuntungan dirinya sendiri dan kelompoknya, juga dimanfaatkan untuk kesejahteraan atau keuntungan masyarakat yang lebih luas. be someone with a spoon made of silver and heart made of gold. 

44 Agree 19 opinions
0 Disagree 0 opinions
44
0
profile picture

Written By Aamirads

This statement referred from