Korupsi: Sebuah Pilihan yang (Tidak) Patut Dimaklumi
Di Indonesia, tindakan korupsi masih dianggap sebagai hal yang lumrah terjadi di kalangan pegawai negeri sipil, terutama bagi mereka yang memegang jabatan strategis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dikutip dari news.detik.com (Azhar Bagas Ramdhan, 2022), Indonesia mengalami kenaikan skor indeks persepsi korupsi (IPK), yakni dari 37 di tahun 2020 menjadi 38 di tahun 2021. Ada pun skor indeks persepsi korupsi sendiri berada pada rentang 0 hingga 100, yang berarti semakin tinggi skor indeks persepsi korupsi, maka semakin rendah juga tingkat korupsi di suatu negara. Begitu pun sebaliknya.
Skor indeks persepsi korupsi sebesar 38 di tahun 2021 membawa Indonesia menduduki peringkat ke-96 dari 180 negara (Azhar Bagas Ramdhan, 2022). Dari perolehan skor dan peringkat Indonesia pada indeks persepsi korupsi terakhir kali di tahun 2021, tentu dapat kita lihat bersama bahwa tingkat korupsi di Indonesia masih terbilang tinggi. Menurut salah seorang peneliti dari Indonesia Corruption Watch (ICW), di tahun 2021, kasus tindak pidana korupsi paling banyak terjadi di sektor anggaran dana desa, yakni sebanyak 154 kasus (Raynaldo Ghiffari Lubabah, 2022). Meski demikian, kasus korupsi pun banyak terjadi di sektor lainnya, dan hal tersebut tentu sudah sering kita lihat di berbagai media.
Setiap orang yang mendengar kata “korupsi” tentu tidak akan membenarkan tindakan tersebut karena yang namanya korupsi identik dengan “memakan” sesuatu yang bukan menjadi hak dari si pelaku. Sejak duduk di bangku sekolah pun kita selalu diajarkan nilai-nilai baik, termasuk di dalamnya larangan untuk tidak melakukan korupsi; berani melapor bila ada indikasi tindakan korupsi. Namun, pengakuan dari salah seorang dosen di salah satu kampus di Indonesia, yang notabenenya adalah seorang pegawai negeri sipil, menyiratkan bahwa korupsi adalah tindakan yang seharusnya dimaklumi. Kurang lebih beliau berkata begini, “Kalau di jabatan fungsional masih bisa jujur. Tapi, kalau sudah duduk di jabatan strukural enggak bisa untuk jujur”.
Menurut pengakuan dosen tersebut, ketika beliau duduk di jabatan struktural (setingkat jabatan pimpinan), beliau mengaku bahwa mau tidak mau beliau memang harus bersikap tidak jujur karena terdapat hal-hal yang juga harus beliau pikirkan di luar kewajibannya sebagai pemegang jabatan struktural, yakni mengenai kesejahteraan anak buahnya. Beliau juga menambahkan bahwa “kesejahteraan” tersebut didapatkan melalui anggaran kegiatan yang sebelumnya telah diutak-atik (dipermainkan), mengingat beliau tidak dapat mengandalkan gajinya sebagai seorang pegawai negeri sipil. “Enggak mungkin pake gaji saya, jadi anggaran kegiatannya yang dipermainkan,” ujarnya.
Sejatinya, memang merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bila membuat orang lain juga bahagia. Terlebih lagi jika orang tersebut juga telah mendedikasikan dirinya untuk pekerjaan yang berkaitan dengan kita. Namun, terlepas dari tujuannya, tindakan tersebut tetaplah termasuk tindakan korupsi yang sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan pernyataan pada pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mana pada pasal tersebut disebutkan salah satu bentuk korupsi, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.....”.
Berdasarkan dasar hukum tersebut, jelas sudah bahwa tindakan yang dilakukan dosen tersebut termasuk tindakan korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaan yang beliau punya untuk menguntungkan diri sendiri maupun orang lain. Pengakuan dari dosen di salah satu kampus di Indonesia tersebut sedikit-banyak memberikan gambaran bahwa faktor pendapatan/gaji dapat menjadi latar belakang dari tindakan korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil (apa pun jabatannya). Bahkan, seorang Bupati di salah satu kabupaten—yang sempat viral beberapa waktu lalu—juga mengakuinya. Beliau berkata, “Susah untuk enggak begini (korupsi). Kalau sejak awal tau gajinya hanya segitu, saya enggak bakal mau jadi Bupati”.
Dari pengakuan di atas, lantas, patutkah alasan tersebut dijadikan dasar atas pilihan melakukan korupsi? Lalu, apalah arti dari nilai-nilai yang selama ini telah diajarkan? Sebagai pegawai negeri sipil, utamanya yang duduk di jabatan strategis, memang alangkah baiknya jika memikirkan kesejahteraan anak buahnya. Namun, alangkah lebih baiknya lagi jika mereka memberikan contoh yang nyata untuk tidak mengotori tangan sendiri. Tindakan yang dicontohkan oleh seorang pimpinan paling tidak akan membekas dalam benak anak buah, yang nantinya bisa saja akan terulang kembali kejadian serupa di masa mendatang. Jika semua pejabat struktural memiliki pemikiran demikian—menyejahterakan anak buah melalui cara tidak baik—maka akan berapa banyak lagi kerugian yang harus dialami negara untuk membiayai suatu kegiatan yang pengeluarannya dilebih-lebihkan?
Pegawai negeri sipil pada dasarnya adalah abdi negara, yang utamanya memang mengabdikan diri untuk negara. Maka dari itu, bicara tentang gaji seorang pegawai negeri sipil, seharusnya sudah dapat dipahami sejak awal bahwa ketika bekerja di bidang pemerintahan memanglah tidak seperti bekerja di sektor swasta yang sangat berpeluang untuk mendapatkan gaji tinggi. Mungkin bagi sebagian pegawai negeri sipil, gaji yang mereka dapatkan tidak ada apa-apanya, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Namun, kembali lagi, hal tersebut adalah konsekuensi yang sejak awal sudah harus disadari oleh mereka yang hendak mendedikasikan diri sebagai pegawai negeri sipil.
Adapun gaji pokok pegawai negeri sipil sendiri telah diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 ke dalam Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019, yang mana gaji pokok pegawai negeri sipil didasarkan menurut golongan ruang dan masa kerja golongan. Berdasarkan peraturan tersebut, dari rentang golongan Ia (terendah) hingga golongan IVd (tertinggi), rentang gaji pokok pegawai negeri sipil sebesar Rp 1.560.800 (golongan Ia) hingga Rp 5.901.200 (golongan IVd).
Dilihat dari angkanya, bahkan untuk golongan IV selaku golongan tertinggi seorang pegawai negeri sipil pun gaji pokoknya setara dengan pegawai swasta yang baru bekerja. Namun, jangan salah, di luar gaji pokok tersebut masih terdapat berbagai tunjangan, seperti tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan kinerja, bahkan tunjangan-tunjangan lainnya. Dan, jangan lupa juga bahwa pegawai negeri sipil nantinya akan mendapatkan uang pensiun—salah satu daya tarik pegawai negeri sipil untuk dijadikan menantu. Namun, meski telah ditopang dengan berbagai tunjangan, nampaknya hal tersebut masih belum patut untuk disyukuri oleh para pelaku korupsi di negeri ini.
Jika dibandingkan dengan gaji pokok pegawai negeri sipil di negara maju, seperti Amerika Serikat dan Singapura, besarnya gaji pokok pegawai negeri sipil di Indonesia memang tidak ada apa-apanya. Namun, jangan lupakan juga bahwa tingginya pemberian gaji pokok di negara maju salah satunya disesuaikan dengan faktor biaya kehidupan di negara tersebut. Jika salah satu alternatif untuk memberantas korupsi yang dilakukan oleh pegawai negeri sipil adalah dengan menaikkan gaji mereka, maka apa kabar dengan mereka yang telah diberikan berbagai fasilitas sekaligus gaji yang sangat fantastis, namun masih tetap tergiur untuk melakukan korupsi? Nytanya tidak ada negara di dunia ini yang mutlak bersih dari korupsi, meski negara dengan tingkat korupsi terendah sekali pun.
Adanya rasa keinginan yang berlebih memang merupakan sifat alami sebagai manusia biasa. Memang wajar bila seseorang ingin memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya, namun bukan melalui korupsi. Pada dasarnya, tindakan korupsi adalah pilihan. Sejatinya, semua kembali lagi kepada iman dan integritas diri masing-masing karena sebaik-baiknya tujuan, bila diraih melalui cara yang tidak baik juga tidak akan mendatangkan kebaikan. Korupsi adalah sebuah pilihan yang sangat amat tidak patut untuk dimaklumi, semulia apa pun tujuannya. Janganlah mengatasnamakan kesejahteraan atau membantu orang lain dengan perbuatan yang tidak patut untuk dimaklumi.
Referensi
https://cpnsindonesia.com/perbandingan-gaji-pns-indonesia-dan-negara-maju.html
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2019 tentang Penyesuaian Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2015 ke dalam Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2019
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
https://news.detik.com/berita/d-5913405/skor-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-naik-jadi-38
https://aclc.kpk.go.id/materi-pembelajaran/politik/infografis/indeks-persepsi-korupsi