Perlukah Metaverse di Lingkungan Kemendagri?
Saat ini, gelombang keempat inovasi komputasi sedang berlangsung dan memiliki potensi untuk mengubah kehidupan yang berada disekitar kita menjadi berbasis virtual dan online. Inovasi baru ini disebut dengan istilah metaverse. Metaverse adalah sebuah dunia teknologi yang memungkinkan pengguna berinteraksi ataupun melakukan kegiatan di dalam dunia virtual layaknya di dunia nyata. Dan kini pemerintah mulai melakukan transformasi digital melalui teknologi metaverse sebagai terobosan baru Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri). Teknologi realita virtual yakni sebuah ruang 3 dimensi yang dapat dimasuki oleh Pemerintah Daerah melalui perangkat virtual reality layaknya dunia nyata. Terobosan baru ini diberi nama Kovi Otda alias Konsultasi Virtual Otonomi Daerah. Kovi Otda berbasis metaverse merupakan hal pertama untuk pelayanan di lingkungan Kemendagri. Kemendagri berharap adanya terobosan baru ini akan mempermudah layanan terutama bagi Pemerintah Daerah untuk berkonsultasi.
Namun, secanggih-canggihnya teknologi metaverse pasti menimbulkan banyak pro dan kontra di kalangan masyarakat, mengingat kesiapan masyarakat Indonesia memasuki metaverse masih sangat jauh berbeda dengan kenyataan. Proyek ini dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat. Faktanya banyak masyarakat dari kita yang sudah membeli perangkat realita virtual namun akhirnya tidak digunakan dengan baik. Selain itu, belum meratanya infrastruktur digital di beberapa kota di Indonesia menjadi salah satu faktor kendalanya.
Jika dilihat lebih jauh lagi, biaya dari metaverse ini sangat mahal. Mulai dari biaya pengadaan kacamata virtual reality yang dibanderol dengan harga Rp. 8.000.000 dikali dengan banyaknya daerah di Indonesia hingga pada kesiapan setiap ASN yang akan menggunakannya, tentu saja pelatihan menjadi sebuah keharusan. Proyek ini hanya dianggap sebagai sebuah pemborosan anggaran negara, karena semua itu bisa dilakukan tanpa menggunakan metaverse. Contohnya saja dengan aplikasi Zoom meeting, Google meet, Microsoft teams, ataupun layanan virtual meeting yang telah ada. Jika dibandingkan dengan penggunaan virtual meeting yang telah ada, maka terlihat bahwa Kovi Otda akan jauh lebih rumit. Dan letak perbedaaannya hanya pada bentuk 3D nya saja. Lalu pertanyaannya, perlukah menggunakan teknologi raksasa seperti metaverse ini untuk menyelesaikan problem yang sebelumnya sudah ada solusinya?
Selain itu, ancaman yang paling nyata dari teknologi virtual ini adalah kecenderungan untuk membuat manusianya semakin malas bergerak dan bersosialisasi di dunia nyata. Seperti yang telah kita lihat, dengan maraknya penggunaan media sosial, bagaimana gaya hidup anak muda berubah . Tidak hanya itu, problem kesehatan fisik seperti gangguan penglihatan yang mengintai pengguna metaverse. Kemudian peluang kejahatan dunia maya (cyber crime) juga semakin terbuka lebar. Contohnya saja pencurian dan manipulasi data akan lebih mudah dilakukan.
Keberadaan aplikasi virtual ini dipercaya sebagai upaya untuk meminimalkan potensi terjadinya korupsi. Sebab, menurut Akmal (Dirjen Otda, Kemendagri), salah satu upaya pencegahan korupsi adalah dengan membatasi ruang pertemuan antara pemberi layanan dengan penerima layanan untuk bertemu secara langsung (Novianto, 2022). Namun apakah dengan hal yang demikian korupsi dapat diminimalisir? Tentu saja tidak. Korupsi bisa saja terjadi dengan cara yang lain, misalnya dari biaya pengadaan kacamata virtual reality untuk menunjang proyek metaverse ini atau pada biaya pelatihan ASN.
Dari sekian banyaknya tantangan dan ancaman yang ada, lebih baik benahi dulu teknologi yang telah ada. Sebut saja e-ktp, dari namanya saja sudah elektronik tetapi mengapa pelayanan administrasi dan birokrasi di Indonesia masih menggunakan fotocopy ktp? Atau mungkin benahi web nya saja dulu, karena web jauh lebih memberikan manfaat untuk masyarakat.
Dibalik banyaknya tantangan dan ancaman yang ditawarkan dari proyek Kovi Otda, masih ada beberapa keuntungan atau manfaat yang bisa dirasakan. Yakni dengan kehadiran Kovi Otda ini bisa menjadi solusi untuk menekan penyebaran Covid-19. Karena kegiatan konsultasi dan koordinasi secara tatap muka diketahui berpotensi menimbulkan penularan. Keberadaan aplikasi virtual ini juga dapat mengurangi ruang transaksi dan meningkatkan efisiensi anggaran Pemerintah Daerah dalam hal terkait koordinasi dengan Kemendagri. Selain menghemat anggaran, Kovi Otda ini dinilai lebih efisien dan fleksibel karena bisa dilakukan dimana saja. Bahkan keberadaan Kovi Otda ini dapat menjadi kantor masa depan yang menggantikan kantor fisik di masa kini.
Demi mengikuti perkembangan teknologi mutakhir, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mencetuskan sebuah terobosan baru untuk memberi pelayanan berbasis metaverse. Namun hal itu, memberikan banyak tantangan dan ancaman dibanding manfaat yang diperoleh. Untuk itu, perlu adanya kajian lebih lanjut mengenai penggunaan teknologi metaverse di lingkungan Kemendagri agar terobosan baru itu bisa bermanfaaat juga bagi masyarakat bukan hanya menguntungkan bagi pihak atas saja. Buat apa menggunakan teknologi yang paling mutakhir tetapi tidak bisa menjangkau masyarakat? Yang ada hanya buang-buang anggaran negara atau mungkin malah menambah hutang negara.