Mengapa Harus Ada Beauty Standard?

profile picture Nairaa

            Seiring waktu berjalan, banyak hal terus berkembang dan mengalami perubahan. Salah satu sektor yang terus mengalami perubahan ialah sektor kecantikan. Entah sejak kapan, penampilan menjadi suatu faktor yang sangat menjual. Kehidupan sehari-hari pun tak pernah lepas dari fenomena beauty privilege.  Akibatnya, orang-orang seringkali memperlakukan orang lain dengan berbeda tergantung penampilannya. Dengan kata lain, si ‘good-looking’ diperlakukan dengan baik. Sedangkan, orang-orang yang dianggap berpenampilan kurang menarik atau biasa disebut ‘unattractive’ bahkan sering tak diperhitungkan dalam pergaulan. Hal ini tentu merupakan fenomena yang sangat memprihatinkan, mengingat penilaian yang diperoleh seseorang terkait penampilannya bisa berdampak terhadap kesehatan mentalnya.

            Sadar atau tidak, fenomena beauty privilege tersebut dipicu oleh terbentuknya beauty standard dalam masyarakat. Secara etimologis, beauty standard atau standar kecantikan merupakan suatu indikator yang tercipta atas dasar persepsi seseorang atau banyak orang terhadap arti kecantikan. Standar kecantikan yang terbentuk dalam masyarakat ini bersifat dinamis dan tidak universal. Artinya, standar tersebut senantiasa berubah seiring perkembangan zaman. Selain itu, standar kecantikan juga berbeda di setiap negara. Dengan adanya perbedaan pandangan inilah, seseorang yang dianggap cantik di suatu negara bisa saja tidak memenuhi standar kecantikan negara yang lain.

            Masing-masing negara di penjuru dunia memiliki standar kecantikannya masing-masing. Jangankan antarnegara, bahkan hampir setiap daerah dalam suatu negara memiliki standarnya tersendiri mengenai kecantikan. Salah satu contoh yang sangat kontras adalah perbedaan standar warna kulit antara masyarakat benua Amerika dengan Asia. Para pegiat kecantikan barat tergila-gila pada kulit cokelat eksotis atau sering pula disebut tanned-skin. Mereka bahkan rela berjemur di bawah terik matahari selama berjam-jam demi merubah warna kulit putih pucat menjadi cokelat eksotis. Sebaliknya, masyarakat Asia memandang kulit putih lebih menarik dan  menjadikannya standar kecantikan. Produk sunscreen sangat laris di benua Asia karena orang-orang berusaha menjaga kulitnya dari sengatan matahari. Jelas terlihat di sini bahwa standar kecantikan di dua tempat bisa sangat berbeda.

            Adanya perbedaan dalam menentukan standar kecantikan seharusnya dapat membangunkan orang-orang dari delusi fenomena beauty standard dan beauty privilege. Jika ditilik kembali, dengan standar kecantikan yang berbeda di setiap tempat, semua orang akan memenuhi standar setidaknya di satu tempat dari seluruh dunia. Hal ini sesuai dengan peribahasa yang berbunyi, “Beauty is in the eye of the beholder” atau “Kecantikan itu relatif tergantung orang yang melihat.” Tidak masalah bagaimanapun penampilan seseorang, orang itu akan terlihat cantik di mata orang yang tepat. Misalnya, wanita-wanita di seluruh dunia berusaha merapikan alis dengan mencukur atau membentuknya. Namun di Tajikistan, wanita dengan bentuk alis alami dianggap yang paling cantik. Mereka bahkan sangat berharap bisa memiliki unibrow atau alis segaris yang bersambung antara sisi kiri dengan sisi kanannya. 

            Selain itu, eksistensi beauty standard memberi pengaruh yang besar terhadap kesehatan mental banyak orang, terutama golongan muda. Menurut penelitian terhadap kaum wanita, sangat sedikit persentase wanita yang merasa nyaman dengan tubuhnya. Bahkan wanita yang jelas-jelas telah memenuhi standar untuk disebut cantik sekalipun masih sering merasa insecure atau rendah diri. Apalagi wanita-wanita yang tidak memenuhi standar kecantikan di suatu wilayah. Pendapat orang lain yang seringkali merendahkannya akan berdampak negatif terhadap kesehatan mentalnya. Ditambah semakin maraknya fenomena body shaming yang terjadi khususnya terhadap kalangan wanita. Hal ini tentu saja berpotensi menjatuhkan mental perempuan.

            Terkait body shaming, istilah ini tampaknya sudah merupakan hal yang lumrah di lingkungan masyarakat. Terlebih lagi di kalangan masyarakat Indonesia yang terkenal gemar berbasa-basi. Tanpa disengaja, orang-orang bisa saja melakukan body shaming ketika sedang berkumpul bersama keluarga atau bahkan hangout bersama teman. Menurut konteksnya, body shaming merupakan kritik maupun hinaan yang menitikberatkan pada bentuk fisik, baik ketidaksempurnaan fisik maupun hal-hal lainnya seperti riasan atau pakaian yang digunakan. Namun, dampaknya dapat mempengaruhi kondisi psikis seseorang. Jika seseorang sering mengalami body shaming, ia otomatis akan berusaha menghindari keramaian dengan cara mengisolasi diri sendiri. Lebih parah lagi, korban body shaming bisa saja mengalami depresi dan gejala eating disorder atau gangguan pola makan. Hal ini pastinya sangat mempengaruhi kesejahteraan mental para korban.

            Mengingat dampak-dampak negatif yang timbul akibat adanya beauty standard di dalam masyarakat, akan sangat baik kiranya hal-hal semacam ini dapat dihilangkan. Lagipula, penilaian seseorang terhadap orang lain tidak dapat dianggap sepenuhnya benar, apalagi terkait kondisi fisik seseorang. Sudah saatnya kita mengingat kembali kenyataan bahwa kecantikan itu relatif. Pandangan satu orang dengan orang lainnya bisa sangat jauh berbeda. Karena itu, ada baiknya jika stigma standar-standar kecantikan yang telah lama tertanam dalam masyarakat dihapuskan. Bagaimanapun, setiap orang di dunia ini berhak untuk hidup bebas dari penilaian orang lain mengenai penampilannya. Satu hal yang pasti, seseorang akan tampak sempurna di mata orang yang tepat.

            

            

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Nairaa

This statement referred from