Mahasiswa dan Degradasi Demokrasi
Menurut Jokowi, demokrasi adalah keterbukaan pada ketidaksetujuan. Banyak orang yang mengritik kebijakannya terkait penegakan HAM, keadilan, keterbukaan penyampauan pendapat, hingga kelestarian lingkungan. Itu sah saja, dan merupakan bagian dari demokrasi.
Di Indonesia, demokrasi hanya sekedar nama. Hanya menjadi ritual untuk memilih kepala daerah, anggota DPR, partai politik, dan presiden. Nilai-nilai demokratis banyak yang diabaikan. Demokrasi berubah menjadi turbo kapitalisme dimana pengumpulan keuntungan ekonomi menjadi patokan utama.
Perlu ada kebijakan strategis dari pemerintah untuk memberikan pemahaman mendalam seputar demokrasi. Dijadikan bagian dari pendidikan publik. Demokrasi adalah kedaulatan rakyat atas berbagai kebijakan-kebijakan yang ada. Sehingga cita-cita keadilan, kemakmuran, dan kecerdasan universal bisa menjadi nyata.
Pendidikan demokrasi juga harus berjalan dengan pendidikan hak-hak asasi manusia. Berbagai pelajaran yang mengajarkan pola pikir dogmatis dan sempit harus diubah. Berdemokrasi berarti membebaskan pikiran dan perilaku sesuai batas-batas yang disepakati oleh negara. Tidak memenjarakan hak asasi manusia, namun juga tidak boleh bertindak anarkis yang tidak mencerminkan budaya bangsa.
Demokrasi membutuhkan kesabaran, figur kepemimpinan, dan keterampilan berorganisasi. Sasaran demokrasi memang legitimasi dan keadilan, bukan efisiensi buta yang melahirkan ketidakadilan. Keduanya berakar pada keterlibatan aktif dari semua kelompok masyarakat.
Ketidakmampuan mengelola demokrasi akan berakibat pada emosi yang meluap untuk mendorong terjadinya konflik. Konflik yang berkepanjangan akan memperburuk keadaan ekonomi. Emosi yang meletup berkepanjangan di dalam demokrasi akan melahirkan sikap anarkis. Tatanan bernegara akan hancur.
Tradisi demokrasi di Indonesia masih rendah dan lemah. Sistem modern yang dilakukan tidak dibarengi dengan perkembangan budaya bangsa Indonesia. Kaidah demokrasi dan politik modern diabaikan demi mencapai kekuasaan politik yang sifatnya sementara dan rapuh.
Kesalahan Pola Pikir Mahasiswa
Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) mendapat kritikan keras dari berbagai kalangan akademisi dan masyarakat umum. BEM yang seharusnya menjadi simbol perwakilan kemajuan cara berpikir mahasiswa malah dihancurkan oleh pernayataan ketua BEM SI, Kaharuddin.
Dia menyebut bahwa masa Orde Baru lebih memberikan kebebasan dan kesejahteraan dibandingkan masa Reformasi. Entah atas dasar referensi apa bisa membandingkan kedua zaman yang mungkin banyak di antaranya belum lahir saat masa reformasi.
“Hari ini kesejahteraan contoh misalnya di Orde Lama kita peroleh yang namanya kebebasan, tapi kesejahteraan tidak. Orde Baru kita peroleh kebebasan, kesejahteraan kita punya. Hari ini yang ingin kita tanyakan adalah apakah kita punya kesejahteraan, apakah kita peroleh kebebasan?” ucap Kahar dalam sebuah potongan video yang viral di media sosial.
Kejanggalan berdemokrasi ketua BEM SI terjadi sebab jabatan yang diamanahi merepresentasikan sikap mahasiswa seluruh Indonesia. Sedangkan orasi di panggung untuk menarasikan kebobrokan pemerintah tidak didasarkan pada data yang jelas dan kredibel.
Belum lagi pemahaman mengenai hak dan tanggung jawab sebagai masyarakat atau mahasiswa dalam tatanan demokrasi sebuah negara. Sehingga peran dan fungsi mahasiswa jelas sesuai koridor yang dicita-citakan sebagai generasi pemimpin masa depan.
Kesadaran politik memang dibutuhkan mahasiswa, namun bukan berarti gegabah mengeluarkan narasi yang malah memicu konflik panjang di masyarakat. Mahasiswa tentu punya jiwa semangat dan berapi-api terhadap perubahan. Apalagi perannya sebagai agent of change dan agent of control pemerintah.
Blunder ketua BEM SI yang membandingkan Orde Baru dengan zaman sekarang merupakan pemikiran naif. Bagaimana literasi dan pengalaman masa Orde Baru yang begitu membungkam kebebasan berpendapat masyarakat. Sedangkan sekarang, di era perkembangan teknologi informasi, masyarakat bebas meyebarkan hoaks dan penggiringan opini untuk menyerang pemerintah.
Ketua BEM SI harus bisa mereflesikan diri untuk banyak belajar mencari data, mengalisis kejadian, dan memahami konteks berdemokrasi. Citra baik dan buruknya mahasiswa disorot dari pernyataan dan perilaku ketua BEM. Kebodohan menyampaikan pendapat di muka umum sama dengan mencederai marwah mahasiswa yang dipandang sebagai masyarakat intelektual.
Jangan sampai mahasiswa yang seharusnya menjaga nilai-nilai demokrasi malah mereduksi demokrasi untuk kepentingan eksistensial dan kekuasaan. Ngawurnya penyataan di panggung demi hasrat mengobarkan kebencian terhadap pejabat hanya akan menjadikan degradasi demokrasi yang berakibat pada ketidakpercayaan terhadap pemerintah, negara, dan masyarakat itu sendiri.