Stop Normalizing Ngejek Orang Ambis

profile picture Natasya Budiono

Berapa waktu lalu, Tiktok diramaikan oleh video podcast @ohsumday yang mencapai 9 M views. Dalam video itu dia meng-upload percakapannya tentang anak ambis;

Pertanyaan gue satu ya, lo kenapa sih harus kasih tau ada PR ?”

"Sebenarnya aku nggak bilang, Bu ada PR. Tapi, kayak Bu saya mau nanya PR yang kemarin.” 

“Kenapa lo nanya ?”

“Karena gue udah ngerjain itu tadi malem. Masa nggak di apa-apain?”

“Lo tau ga ada temen lo yang ga ngerjain ?”

“Ya kenapa dia nggak ngerjain?

Video itu juga menuai komentar dari Jerome Polin seorang Youtuber konten edukasi terkenal. Di situ Jerome Polin berkomentar, “Kalo normalisasi ngejek orang yang ambis, ngerjain PR, rajin belajar, nggak akan maju-maju negara kita” yang menuai 174.500 likes dan 806 reply. 

Kondisi ini sering sekali terjadi di sekolah Indonesia di mana kata “rajin” dan “ambis” malah menjadi sesuatu yang memiliki konotasi negatif bila dikatakan oleh sesama teman pelajar. Bahkan sering kali anak-anak yang dicap “ambis”  ini harus menutup-nutupi “kerajinannya.”  Seisi kelas pun sering diam bila ditanya oleh guru. Karena itulah kondisi pembelajaran di Indonesia hanya satu arah dan sangat pasif,  guru berbicara dan pelajar mencatat. Bila pembelajaran dilakukan satu arah begini, apa bedanya membuang uang berjuta-juta rupiah di sekolah jika pembelajaran yang seperti itu bisa dilakukan melalui Youtube, Google, Zenius, Quipper, Ruang Guru atau membaca buku pelajaran itu sendiri ? Apakah esensi sekolah hanya untuk mendapatkan selembar kertas ijazah dan proses belajar mengajar itu hanya formalitas ?

Bahkan beberapa pengajar di Indonesia juga sering complain karena tidak ada yang bertanya, menjawab pertanyaan, ataupun sekedar memberikan komentar.  Apalagi di masa pembelajaran jarak jauh. Banyak pengajar yang menginginkan kelas offline dengan alasan mereka curiga bahwa siswa-siswi yang diajar tidak mendengarkan. Di sisi lain mungkin sebenarnya pelajar mendengarkan materi tersebut, namun takut mengemukakan pendapatnya karena takut dicap “ambis” dan tidak memiliki teman.

Lantas apakah sikap “ambis” dalam belajar itu salah ? Kita harus sadar bahwa kesempatan untuk mengalami dalamnya ilmu pengetahuan itu adalah sebuah privilege. Banyak anak-anak di daerah sana yang tidak memiliki akses terhadap pendidikan dan rela melakukan apa saja demi mendapatkan kesempatan yang sama seperti kita. Sikap “tanggung jawab” terhadap pekerjaan sekolah juga bukanlah hal yang perlu disembunyikan, malah sikap “malas” atau “lalai” tersebutlah yang harusnya membuat kita malu. Sikap kerja keras sendiri juga merupakan bentuk apresiasi dan tanggung jawab kita terhadap orang tua yang sudah bekerja keras menyekolahkan kita. Bila memang ada sebagian oknum yang tidak ingin belajar, lebih baik uang edukasi mereka disumbangkan pada orang yang membutuhkan atau dipakai untuk membiayai anak yang memang mau belajar. Apalagi jika tindakan mereka itu malah “mengajak-ajak” atau “mengganggu” anak lain yang memang mau belajar.

Semua pasti sudah tidak asing terhadap kondisi sebelum ulangan di mana juara kelas sering berbohong, “Aku nggak belajar kok,” agar tidak di cap “ambis” oleh teman-temannya, atau bahkan kepintarannya dianggap “palsu” karena harus belajar. Padahal semua manusia, ilmuwan, peneliti, pemimpin pasti banyak belajar. Tidak ada bayi yang lahir langsung pandai. Semua itu harus melalui kerja keras. Bila kegiatan “belajar” ini selalu dicap hanya untuk anak yang “bodoh”, kapan Indonesia mau maju ?

Dibandingkan kita mulai mengejek teman kita yang “ambis” atau “rajin” bukankah sebaiknya kita malah saling mengapresiasi dan menyemangati satu sama lain? Mengerjakan PR, menjawab pertanyaan guru, belajar sebelum ulangan, rajin mencatat di kelas itu seharusnya adalah hal yang biasa, itu adalah tanggung jawab kita sebagai pelajar. 

Kita sudah terlalu sering menormalisasi hal yang salah, sehingga kita lupa apa yang benar. Tindakan memberi dan menerima contekan pun juga sempat menjadi topik yang viral di Tiktok. Banyak orang yang menganggap bahwa teman yang tidak mau memberikan contekan itu pelit. Padahal jawaban kita itu hasil karya kita masing-masing yang artinya kepemilikan ada di tangan kita, hak kita juga untuk mau/tidak mau memberikannya pada orang lain. Tidak ada kewajiban dalam sebuah pertemanan untuk memberikan contekan, sebenarnya orang yang selalu meminta contekan tanpa usaha itu bukanlah seorang teman sejati namun ia sengaja memanfaatkan orang lain. Apalagi jawaban itu adalah hasil belajar kita berjam-jam, orang seperti itu hanya akan menyalin jawaban kita tanpa mempelajarinya lebih lanjut. “Kan tidak ada ruginya?” Jawaban yang sama pasti akan membuat pengajar curiga dan bisa jadi nilai kita dikurangi karena dianggap mencontek. Bila suatu saat teman kita lulus menjadi seorang pemimpin, dokter, teknisi, arsitek, pilot atau sebagainya kemudian mereka lalai/korup dalam pekerjaannya karena memang mereka tidak layak, bukankah kita juga berkontribusi memalsukan kelulusan mereka ? 


 Oleh: Natasya Budiono, Universitas Indonesia


 Sumber: 

  1. https://vt.tiktok.com/ZSdPe4tBe/  (Diakses 15 April 2022 pukul 16:07)
     
7 Agree 6 opinions
0 Disagree 0 opinions
7
0
profile picture

Written By Natasya Budiono

This statement referred from