TUNTUTAN YANG TENGGELAM DALAM NARASI SEKSISME DEMONSTRAN
Tuntutan Yang Tenggelam Dalam Narasi Seksisme Demonstran
Indonesia merupakan negara demokratis sejak berakhirnya rezim pemerintahan orde baru pada 21 Mei 1998. Pada masa orde baru, bentuk pemerintahan otoriter yang berkelanjutan menyebabkan pelbagai persoalan dimasyarakat yang cukup krisis. Demokrasi dam kebebasan berpendapat merupakan suatu hal yang sangat dicita-citakan masyarakat. Mereka tidak memiliki kebebasan berpendapat atas jalannya pemerintahan pada masa itu. Seluruh masyarakat harus tunduk pada aturan pemerintah. Berbagai kasus pada masa orde baru yang terjadi akibat melawan pemerintahan seperti, penangkapan AM Fatwa, Petisi 50, HR. Darsono dll. Hal demikian menggerakkan hati pergerakan mahasiswa dari berbagai aliansi di Indonesia untuk turut bergerak menggulingkan pemerintahan otoriter pada masa itu hingga memunculkan peradaban baru reformasi yang demokratis.
Sejak berakhirnya masa orde baru, demontrasi kerap kali dilakukan mahasiswa sebagai upaya terakhir apabila konsolidasi dengan pihak pemerintahan tidak dapat tercapai. Sebagaimana yang belakangan ini tengah dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai daerah melakukan demontrasi guna menyikapi isu dan persoalan yang beredar di masyarakat. Berbagai macam tuntutan dilayangkan mahasiswa pada pemerintah seperti Penolakan Tiga Periode Jabatan Presiden yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi, transparansi kasus kenaikan harga minyak goreng yang mencekik masyarakat dan berdampak pula pada pelaku usaha UMKM, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berdampak pada biaya sektor industri dan komoditas transportasi umum, stabilitas ekonomi dan berbagai tuntutan lain yang tentu beragam untuk disampaikan.
Demontrasi yang dilakukan mahasiswa tentu mendapat banyak dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Selain itu, demontrasi juga merupakan implementasi dari Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 terkait kebebebasan menyampaikan aspirasi di muka umum. Namun sangat disayangkan viral nya demonstrasi yang dilakukan Mahasiswa pada tanggal 11 April 2022 kemarin dibumbui dengan narasi seksisme sebagai bentuk penyampaian isi tuntutan. Hal tersebut tentu sangat disayangkan karena mengandung pelecehan seksual secara verbal. Mengutip dari hukum.uma.ac.id Pelecehan verbal (sexual bullying) adalah pelecehan yang bersifat kata-kata yang dilontarkan menggunakan nada sindiran, menarik hati serta menunjuk pada perilaku seksual seseorang didepan umum atau langsung dengan tujuan mempermalukan serta menghina serta mengintimidasi.
Seringkali masyarakat maupun Mahasiswa tidak menyadari perilaku yang mereka lakukan dengan membuat tulisan yang mengarah pada hal yang berbau seksual juga merupakan bentuk pelecehan seksual secara verbal. Ketidak tahuan tersebut membuat mereka dengan bangga mengangkat poster tuntutan mereka dengan narasi yang tidak etis. Apabila dibiarkan, maka pelecehan seksual dalam bentuk seksisme akan menjadi suatu hal yang dinormalisasikan. Dengan demikian maka pelecehan seksual akan terus terjadi dan sulit dikendalikan. Selain itu penyampaian tuntutan dengan cara seksisme seperti itu justru meleburkan isi tuntutan yang menjadi tujuan utama dari demonstrasi tersebut. Masyarakat akan berbalik mengomentari perilaku mahasiswa yang dianggap tidak pantas untuk dilakukan diruang publik.
Pelecehan seksual secara verbal diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 315 yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Akibat dari fenomena tersebut, nilai nilai pergerakan yang seharusnya melekat dalam diri mahasiswa yang turun dalam aksi demontrasi menjadi tertutup dengan nilai moral, etika dan pola pikir mahasiswa akan hal berbau seksisme tersebut. Hal ini tentu membuktikan bahwa masih banyak mahasiswa yang dianggap terpelajar belum memahami dengan baik makna pelecehan seksual itu sendiri. Alangkah baiknya, kajian-kajian menganai hal tersebut untuk lebih dimatangkan lagi dalam ranah mahasiswa. Bukan kah mahasiswa membawa labeling dari masyarakat sebagai agen of change atau agen perubahan? Lalu perubahan seperti apa yang akan dilakukan apabila etika dan moral yang terbangun dalam diri mahasiswa itu sendiri belum mencerminkan sebagai pelaku perubahan yang di idam kan masyarakat. Selain itu, mahasiswa merupakan penyambung lidah masyarakat dengan pemerintahan, maka mahasiswa harus mampu menyampaikan narasi tuntutan dan menerjemahkan isi tuntutan se sederhana mungkin agar mudah dipahami oleh masyarakat, bukan menyampaikan dengan kalimat-kalimat yang mengarah pada hal seksisme yang hanya akan mendapat pandangan negatif dari masyarakat.
Hidup Mahasiswa!!
Hidup Rakyat Indonesia!!
Hidup Rakyat yang Melawan!!
#TolakNarasiSeksismeDemonstran