Ketika Impian Tak Tercapai
Nama: Muhammad Badril Munir
Ketika Impian Tak Tercapai
Setiap orang pasti memiliki impian, baik impian kecil maupun impian besar. Ada yang memiliki impian ingin keluar negeri, ingin berkuliah di perguruan tinggi negeri, ingin sukses, dan sebagainya. Setiap orang pasti menginginkan impian-impiannya terwujud dan berakhir bahagia. Namun, bagaimana jika impian itu tidak tercapai? Pasti akan merasa kecewa, sedih, menyesal, ingin marah, dan menyalahkan diri sendiri sehingga akan berdampak pada masa yang akan datang. Ketika Impian tak tercapai, pasti ada luka batin yang mendalam. Pasti masih tersimpan penyesalan yang mendalam walaupun sudah mencoba untuk melupakannya. Menyembuhkan luka batin akibat impian yang tidak tercapai memang butuh proses yang lama, apalagi ketika mendapatkan kejadian yang mengingatkanku pada masa penyesalan itu. Namun, semua itu pasti bisa disembuhkan sampai lukanya perlahan-lahan hilang. Aku adalah salah satu orang yang memiliki sebuah impian, tetapi tidak tercapai. Aku memiliki impian, ingin berkuliah di perguruan tinggi negeri. Bisa dibilang, impianku itu sudah terpikir sejak aku duduk di bangku sekolah dasar.
Saat masih duduk di bangku sekolah dasar, aku belum tahu ingin berkuliah di perguruan tinggi mana, tetapi ingin di negeri. Aku pun terus berjuang untuk mendapatkan impian itu sampai berada di fase telah lulus dari sekolah menengah atas. Tidak Cuma aku yang menginginkan berkuliah di perguruan tinggi negeri, teman-temanku yang lain juga memiliki impian yang sama. Persaingan pun semakin ketat untuk bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri. Namun, aku sangat yakin kalau bisa menjadi salah satu orang berkuliah di perguruan tinggi negeri.
Aku tipe orang yang kalau sudah bermimpi, akan terus berjuang sampai bisa mendapatkannya dan tentunya dengan cara yang di ridhoi oleh Allah. Proses ke proses lain, aku lalui. Buku ke buku lain, aku pelajari. Tempat belajar ke tempat belajar lain, aku kunjungi. Aku tak kenal lelah karena yakin, lelahku akan berakhir bahagia. Aku pun terus berusaha dengan giat belajar untuk menyiapkan berbagai ujian yang akanku lalui. Tak lupa, aku meminta restu kepada kedua orang tuaku, berdoa kepada Allah agar dimudahkan dalam segala urusan, dan juga meminta doa dari sahabat-sahabat yang selalu menyemangatiku.
Sebenarnya, aku tidak sendirian dalam berjuang. Aku ditemani oleh sahabatku dan kami memiliki impian yang sama, yaitu ingin berkuliah di perguruan tinggi negeri. Aku menjadi semangat ketika ada sebuah impian bersama yang harus diperjuangkan dan diwujudkan, apalagi jika impian itu terwujud sehingga berakhir bahagia.
Tak terasa, hari ujian pun tiba. Ujian pertama yang aku ikuti, yaitu UTBK pertama. Aku mendapatkan tempat ujian disalah satu kota di Jawa Tengah. Saat itu, aku pergi dengan temanku yang juga mendapatkan tempat ujian yang sama.
Ketika sudah berada di tempat ujian, aku merasa bahwa aku bisa mengerjakannya. Namun, apa kenyataannya? Soal yang kudapatkan tidak sesuai apa yang aku pelajari. Memang soal UTBK tidak bisa ditebak, bagaimana polanya.
Aku pun tidak langsung putus asa. Aku tetap mengerjakan sesuai dengan kemampuanku dan memasrahkan hasilnya kepada Allah. Hari demi hari pun berlalu. Sambil menunggu hasil UTBK pertama keluar, aku tetap belajar untuk menyiapkan UTBK kedua. Oh,iya,aku angkatan 2019 sehingga bisa ikut UTBK dua kali.
Hari UTBK kedua pun tiba. Aku siap untuk menaklukkan soal-soal tersebut. Bagaimana soalnya? Masih terlihat sulit, tetapi masih lumayan dari pada UTBK pertama. Bagaimana hasilnya? Nilainya hampir sama antara UTBK pertama dan kedua.
Hari demi hari pun berlalu sampai tiba saatnya, aku mendaftar ke perguruan tinggi negeri yang dituju dengan menggunakan nilai UTBK-ku. Aku memilih dua perguruan tinggi negeri di salah satu kota di Jawa Tengah. Saat memilih itu, aku sangat berharap agar bisa lolos.
Bagaimana hasilnya? Aku tidak lolos.
Bagaimana perasaanku? Sedih, kecewa, dan menyesal, tetapi perjuanganku tak sampai di situ saja, karena masih ada ujian terakhir, yaitu ujian mandiri.
Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Jadi, aku berusaha untuk terus belajar sampai waktu ujian pun tiba.
Saat itu, aku merasa jika sudah memiliki banyak persiapan. Menurutku, soal-soalnya cukup bisa dikerjakan.
Aku pun yakin bisa lolos.
Terus, hasilnya bagaimana?
Tibalah waktunya pengumuman ujian mandiri. Saat itu juga, aku mendapatkan kata penolakan dari perguruan tinggi negeri yang kedua kalinya.
Bagaimana dengan sahabatku yang memiliki impian sama denganku? Dia lolos.
Terus, bagaimana perasaanku? Sangat sedih dan juga bahagia. Sedih karena aku kehilangan impianku. Bahagia karena sahabatku bisa lolos walaupun tanpa aku.
Penyesalanku ketika tidak bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri, ternyata berlarut-larut. Bisa sekitar sebulan, aku merasakan kesedihan, kekecewaan, dan penyesalan itu.
Bukan karena iri melihat kebahagiaan orang lain yang bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri. Lebih tepatnya, aku kecewa dengan diri sendiri karena tidak bisa mewujudkan sebuah impian.
Saat itu, aku berpikir kalau berlarut-larut dan meratapi kesedihanku ini, nanti ke depannya pasti tidak akan baik. Disitulah,aku mencoba untuk melawan rasa kekecewaan itu dan perlahan-lahan mencoba mengobati luka batin.
Bagiku tidak mudah untuk menyembuhkan luka batin akibat kekecewaan, apalagi karena impian yang tak tercapai. Namun, aku harus mendesak diriku untuk bisa melawannya.
- Pertama, kali yang aku lakukan ketika merasa sedih, yaitu berdoa kepada Allah. Aku curahkan semua yang kurasakan dan apa yang ada di pikiranku kepada Allah karena dengan curhat kepada-nya,maka setidaknya, aku merasa lega.
Seketika juga, aku ingat salah satu ayat di dalam Al-Qur’an pada surat Al-Baqarah ayat 216,yang artinya,“... Tetapi boleh jadi, kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi, kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Dari situ, aku pun mulai memasrahkan semuanya kepada Allah. Aku percaya, dibalik kesedihanku itu, pasti Allah memiliki rencana terbaik buatku.
- Kedua, aku berbicara kepada diri sendiri. Aku menanyakan, kenapa aku bisa seperti ini? Apa saja penyebab aku bisa seperti ini? Apa saja dampak ke depannya jika aku terus berlarut-larut dalam kesedihan? Siapa saja yang akan terluka ketika aku seperti ini? Selain semua pertanyaan itu, masih banyak yang aku tanyakan pada diriku.
Kenapa berdialog dengan diri sendiri? Itu karena yang mengetahui masalah, yang mengetahui apa yang dirasakan, yang mengetahui dampaknya, dan yang mengetahui cara mengatasinya adalah diri sendiri.
Ketika berdialog dengan diri sendiri, aku jadi tahu, apa yang sebenarnya kurasakan. Ternyata juga tidak baik buat ke depannya kalau tetap terus bersedia.
- Ketiga, menguatkan diri dan yakin bahwa aku bisa melewatinya. Tidak bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri bukan akhir dari segalanya. Aku juga bisa sukses walaupun tidak kuliah di perguruan tinggi negeri.
- Keempat, menulis diary dan membuat dream list untuk 5 tahun atau beberapa tahun ke depan.
Dengan menulis diary,aku jadi bisa mengungkapkan apa yang kurasakan dan pikiran dalam bentuk tulisan sehingga emosiku tercurahkan. Sementara aku membuat dream list untuk beberapa tahun ke depan agar sadar, bahwa aku masih punya impian yang harus diwujudkan.
Jadi, ketika masih bersedih dalam penyesalan, aku harus buang itu agar tidak mengganggu dalam mewujudkan impianku yang lain.
- Kelima, aku mencari aktivitas baru. Dengan itu, aku jadi memiliki kesibukan dengan hobi baru.
- Keenam, memaafkan diri sendiri dan bersyukur atas apa yang sudah Allah berikan kepadaku. Karena dengan mencoba memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri, akan mengurangi kekecewaan yang mendalam. Pun ketika bersyukur, maka aku menerima takdir yang sudah Allah berikan.