Nasionalisme Kala Wabah: di antara Reduksi dan Re-edukasi
Imagination is more important than knowledge. Knowledge is limited. Imagination encircles the world. (Albert Einstein).
Pandemi datang menyulut ketakutan: kita terombang-ambing antara kalutnya informasi dan ancaman virus yang mematikan. Hasilnya adalah panic buying di sejumlah wilayah. Inilah reduksi pertama bagi nasionalisme di kala wabah. Kala itu, orang-orang memborong produk secara membabi buta untuk persediaan jangka panjang. Hukum ekonomi bekerja. Permintaan naik, persediaan terbatas, walhasil produk menjadi langka dan mahal.
Spirit kebersamaan luntur oleh kecemasan, gairah individualisme menemukan momentumnya.
Beruntungnya fenomena tersebut tak bertahan lama. Setelah berusaha untuk beradaptasi, melalui rangkaian agenda new normal (normal baru), kita mulai bisa memulihkan semangat kolektif. Mulai ada gerakan untuk membantu lingkungan sekitar yang terkena dampak. Semisal gerakan #WargaBantuWarga atau #KawanBantuKawan, yang bergelora di jagat digital.
Tibalah kita pada satu refleksi mendalam. Mungkinkah nasionalisme cukup akomodatif untuk menghalau laju sebaran pandemi, atau sebaliknya, justru pandemi yang akan merongrong eksistensi nasionalisme hingga taraf paling mengkhawatirkan? Jawaban untuk keduanya masih bersifat asumtif. Tapi kiranya, jika nasionalisme dihadapkan pada reduksi, maka kita memerlukan re-edukasi: membongkar konstruksi nasionalisme yang selama ini lebih bersifat normatif, dan mengajukan interpretasi yang lebih fungsional.
Sebermula Adalah Imajinasi
Nasionalisme ialah gagasan yang masih ‘menjadi’, suatu ideologi yang belum final. Masing-masing orang diperbolehkan untuk memiliki definisi, juga orientasi, yang berbeda tentangnya. Dalam lingkup akademik, definisi paling representatif ihwal nasionalisme dan muruah kebangsaan diajukan oleh Benedict Anderson—seorang Indonesianis, ilmuwan politik, dan Profesor di Cornell university. Baginya, nasionalisme ialah komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.[1]
Dengan kata lain, nasionalisme hidup—dan dihidupi—oleh imajinasi akan kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan, atau Liberté, égalité, fraternité dalam alam pikir masyarakat Prancis. Masing-masing anggota pada dasarnya tak saling mengenal seluruh anggota lainnya, tak bertatap muka, tak mendengarkan, karena suatu negara mutlak memiliki batas teritorial yang begitu luas. Tapi bayangan—dan imajinasi—menjadi jembatan, menjadi konektor, untuk menyatukan satu sama lain. Imajinasi itu dibangun di atas pelbagai fondasi: penderitaan yang sama, sejarah kolonialisme yang sama, bahasa yang sama, alam pikir yang sama.
Wabah memungkinkan imajinasi itu menjadi kian menguat. Kita bukan saja tak berinteraksi dengan anggota masyarakat lainnya disebabkan oleh garis teritorial, tetapi juga disebabkan oleh ketakutan akan penyakit menular. Anjuran untuk berdiam di rumah membuat kita terisolasi dari lingkungan sekitar. Tapi imajinasi kita tak terisolasi, ia bebas lepas untuk membayangkan ihwal penderitaan yang tengah diderita oleh sesama manusia.
Penderitaan wabah terasa begitu universal alih-alih esoterik. Ia tak mengenal latar belakang agama, suku, kecenderungan politik. Semua manusia potensial dihinggapi oleh virus mematikan ini.
Dengan begitu, mudah bagi kita untuk membangkitkan hasrat saling membantu. Gairah gotong royong yang sejak dulu menjadi identitas kebangsaan, kini aktif kembali—bahkan berkali lipat. Kita berkontribusi, mula-mula, pada keluarga dan tetangga lalu akhirnya menjadi gerakan yang meluas.
Dari Simbolik Menuju Praktik
Definisi resmi tentang nasionalisme, yang direkam dalam kamus besar bahasa Indonesia, ialah paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri.[2] Tak ada yang salah dengan definisi tersebut, tapi interpretasi liar terhadapnya justru bisa menghadirkan chauvinisme. Yakni, kecintaan berlebih terhadap negara. Ia menjadi racun bagi keberagaman. Sebab bisa disipi oleh edukasi yang dogmatis, perasaan superior, lebih-lebih ambisi berlebihan terhadap simbol.
Aktualisasi atas nasionalisme seharusnya tak mewujud dalam bentuk seremonial, atribut, dan perayaan belaka. Memajang bendera negara namun abai terhadap protokol kesehatan adalah tindak keliru. Sebab nasionalisme semestinya menghadirkan kesadaran untuk menciptakan kekebalan kelompok (herd immunity), sehingga Indonesia bisa bangkit dari jebakan wabah.
Semakin wabah tak terbendung, semakin banyak korban berjatuhan. Bukan semata angka-angka, bukan kalkulasi, bukan data statistik, namun perasaan aman untuk hidup dan tumbuh di negeri sendiri. Setiap satu orang terjangkit virus, itu artinya ancaman bagi keberlangsungan hidup satu generasi. Ketika para guru, dosen, atau pendidik harus meregang nyawa, artinya anak-anak akan tumbuh dengan edukasi yang tak memadai. Ketika tenaga kesehatan berguguran, artinya kita akan menjadi negeri yang rawan soal kesehatan. Begitu pun dalam bidang lainnya—tanpa kecuali.
Nasionalisme berarti menjaga kedaulatan sesama anggota bangsa—sesama masyarakat. Di masa wabah, ekspresi nasionalisme paling esensial adalah kepatuhan pada kaidah saintifik, penghormatan yang layak pada temuan ilmiah. Sebab kini, moral yang sudah mapan menjadi tampak paradoksal. Sesuatu yang kita anggap sebagai perilaku baik dahulu, justru membahayakan kini.
Bila dulu berkumpul, guyub, bersama menjadi tradisi yang mempererat persaudaraan, kini justru sebaiknya dihindari. Jika dulu kenikmatan menatap wajah lawan bicara—berikut memahami ekspresinya—dianggap simbol 'menghormati' kala berkomunikasi, kini wajib terhalang masker. Menjabat tangan sebagai tanda keakraban perlahan tak lagi lazim—kalau bukan garib sama sekali.
Wabah agaknya menjadi fenomena redefinisi kebaikan. Sebab pandemi bukan hanya mengubah kondisi struktur sosial, ekonomi, politik, dan kesehatan pada skala global, tetapi juga struktur dan norma sosial di tingkat lokal.[3]
Pada titik ini, masing-masing dari kita menjadi agen kebaikan. Bisa berkontribusi dalam bentuk materi, atau menebarkan kampanye baik untuk menjaga protokol kesehatan, atau jika semua terasa terlalu berat, mulailah dengan menjaga diri sendiri. Itulah senyata-nyatanya nasionalisme, bukan sebentuk pemujaan terhadap simbol belaka. (*)
[1] Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang. (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001) halaman 8.
[2] https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/Nasionalisme diakses 27 April, 2022.
[3] Agus Suwignyo, Wahyu Kuncoro, dkk, Pengetahuan Budaya Dalam Khazanah Wabah (Yogyakarta: Universitas Negeri Gajahmada Press, 2020) halaman