SNMPTN BUKANLAH KUNCI MENYARING SISWA BERPESTASI

profile picture nenci

Sebagai seorang guru, saya sudah biasa mendengar kejadian dimana anak-anak yang”luar biasa” secara akademis tidak bisa diterima di jalur SNMPTN. Yang unik, banyak diantara siswa yang mungkin hanya mengandalkan nilai rapornya tanpa embel-embel prestasi diluar akademis bisa saja lolos menjadi calon mahasiswa tanpa perlu ikut ujian lagi karena memperoleh kuota SNMPTN. Kenapa bisa? Banyak yang berasumsi hanya pada kesalahan pemilihan jurusan. Padahal lebih jauh, SNMPTN memang seharusnya ditiadakan.

Untuk yang belum tahu, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) merupakan salah satu jalur  masuk perguruan tinggi negeri dengan menggunakan nilai rapor dan prestasi sebagai indikator penerimaannya. Mereka yang terpilih dari setiap sekolah, selanjutnya akan disaring kembali untuk mendapatkan kandidat terbaik yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh perguruan tinggi.

Mengandalkan nilai sebagai tolak ukur keberprestasian seseorang saja sudah salah, apalagi menggunakannya sebagai tolak ukur apakah seseorang layak masuk ke perguruan tinggi negeri. Absurd.

Dalam kurikulum 2013 yang menjadi acuan sebagian besar sekolah di Indonesia, pada jenjang SMA penilaian siswa didasarkan pada nilai KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Penentuan nilai KKM diberikan secara penuh kepada guru mata pelajaran yang bersangkutan. Walau begitu, tentunya sekolah sudah menetapkan standard agar nantinya nilai siswa yang tercantum tidak terlalu rendah.

Sebagai contoh, bila sekolah menetapkan KKM untuk mata pelajaran matematika sebesar 75, maka siswa dengan pencapaian yang paling rendah diharapkan akan memperoleh nilai 75, bagaimanapun caranya. Lalu apakah semua siswa tersebut sebenarnya layak mendapat nilai sekian? Hanya guru pihak sekolah yang tahu. Yang pasti, tidak ada sekolah yang ingin dicap rendah kualitas pendidikannya lantaran nilai siswanya rendah.

Apakah guru wajib memberi nilai minimal sebesar KKM? Tentu tidak. Namun demikian, tidak mungkin banyak siswa yang akan diberi nilai dibawah KKM, karena salah satu syarat kenaikan kelas adalah tidak ada lebih dari 3 nilai dibawah KKM. Masa iya satu kelas ada banyak siswa yang tidak naik kelas? 

Jadi coba bayangkan, bila ada satu sekolah yang menetapkan KKM sebesar 80 untuk beberapa mata pelajaran. Sudah pasti nilai rapornya akan tinggi. Karena nilai pas-pasan saja harus dibuat 80 di rapor. 

Belum lagi dimasa pandemi, siswa siswi banyak mengandalkan mesin pencari ataupun aplikasi yang secara cepat memberikan jawaban dari tugas yang diberikan oleh guru. Nilai tinggi bukan lagi angan-angan atau imajinasi. Mau dicurigaipun tidak ada bukti, karena jarak yang memisahkan antara guru dan siswa selama pembelajaran secara daring.

Dengan latar penilaian seperti yang telah dijelaskan, seharusnya penilaian dengan menggunakan seleksi rapor untuk SNMPTN bukanlah solusi yang terbaik.

Alasan lain mengapa SNMPTN tidak efektif menjaring siswa berprestasi adalah kuota siswa yang boleh mengikuti jalur SNMPTN ditentukan oleh akreditasi sekolah yang ditetapkan oleh dinas pendidikan. Sekolah dengan akreditasi A berhak mendapat kuota 40 persen dari jumlah siswa, sementara akreditasi B dan C masing-masing sebesar 25 persen  dan 5 persen.

Untuk diketahui, sangatlah sulit bagi sekolah-sekolah kecil dibilangan kota besar untuk memperoleh akreditasi A. Sementara, sekolah negeri di kota besar yang sama tentunya punya peluang yang lebih besar untuk memperoleh akreditasi A. Hal ini tentu karena pemerintah daerah dan pusat secara bekerja sama memperlengkapi fasilitas sekolah negeri, yang diiisi oleh para pegawai negeri sipil.

Berbeda dengan sistem penerimaan siswa baru dekade pada sebelumnya, sekarang ini pemerintah menggunakan sistem zonasi untuk menerima peserta didik di SMA Negeri. Siswa dengan jarak tempuh antara rumah dan sekolah yang paling dekat akan lebih mudah berkesempatan diterima di SMA Negeri tersebut. Kriteria lainnya adalah usia, dimana siswa yang lebih tua usianya diberi kesempatan lebih besar diterima disekolah negeri.

Bila saja SNMPTN diberlakukan dengan syarat siswa yang diterima di SMA Negeri adalah berdasarkan nilai seperti berlaku sepuluh tahun lalu, tentu saja sistem seleksi rapor untuk SNMPTN tidaklah masalah. Namun dengan adanya zonasi, otomatis kemampuan siswa lebih heterogen, dan hal ini tentunya menjadi bumerang dalam jalur SNMPTN.

Katakanlah suatu sekolah negeri menetapkan KKM yang sama dengan sebuah sekolah swasta yang bagus namun tidak memiliki fasilitas yang sangat memadai, sehingga hanya memiliki akreditasi B. Dengan keterbatasan kuota siswa yang boleh mengikuti SNMPTN, tentulah kita bisa menebak sekolah mana yang lebih mudah mengirimkan siswanya ke perguruan tinggi negeri.

Banyak stigma yang menyebutkan bahwa anak-anak yang mungkin diterima di sekolah swasta kelas dua tersebut tentunya tidak sepintar anak-anak sekolah negeri unggulan namun tetap menerapkan zonasi tadi. Padahal, banyak dari mereka hanya kalah secara usia ataupun rumahnya berjarak cukup jauh dari sekolah harapannya. Belum lagi ekonomi orangtua yang pas-pasan mengakibatkan mereka tidak punya kesempatan mencoba pendidikan di SMA Swasta yang terkenal dan berakrditasi A. Adilkah?

Sebenarnya SNMPTN tidaklah salah, hanya kriteria penerimaannya yang tidak tepat. Lebih baik pemerintah memberikan kesempatan SNMPTN melalui jalur ikatan dinas bagi siswa-siswi daerah tertinggal untuk bisa memajukan daerah asalnya, ketimbang menggunakan nilai yang sifatnya subjektif sebagai penentu intelektualitas seseorang. Atau mungkin jalur prestasi hanya bagi mereka yang benar-benar memiliki prestasi lomba sampai tingkat propinsi. Semoga saja kedepannya ada perubahan yang berarti.

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By nenci

This statement referred from