Perlukah “Spill the Tea” Pada Kasus Pelecehan Seksual?

profile picture Mutiara Tyas Kingkin

         Para pengguna media sosial pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah “Spill the Tea” yang berarti menumpahkan teh. Eiittsss… tapi ini teh bukan sembarang teh loh. Lalu, apa sih spill the tea ini? Nah, “Spill the Tea” sendiri diartikan oleh netizen sebagai wadah untuk membagikan informasi ke media sosial, seperti Twitter atau Instagram. Namun, sejauh ini spill the tea kerap digunakan di twitter. Biasanya informasi yang diunggah ke media sosial mengungkap sebuah kasus perundungan, penipuan, atau pelecehan seksusal. Dengan tujuan, bisa membantu korban dalam menyuarakan kasusnya di ruang publik. 

            Salah satu contoh kasus fenomena spill the tea ini, pernah dialami oleh orang terdekat saya. Kasusnya waktu itu adalah mengungkapkan pelecehan seksual yang dilakukan oleh saudara sepupunya. Dengan bukti screenshot chat antara korban dan pelaku yang diunggah ke twitter, tidak sampai satu jam postingan tersebut menuai banyak reaksi dari warga net. Ratusan angka like, retweet, dan reply bergulir setiap menitnya hingga mencapai hampir 3k respon. Begitulah kekuatan netizen kita hehe… 

            Seseorang yang melakukan spill the tea ini, berharap dapat memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, karena dalam budaya spill the tea biasanya identitas pelaku akan diungkap ke media sosial yang nantinya dapat meninggal jejak. Biasanya jika identitas pelaku sudah terbongkar, warga net akan berbondong-bondong menyerang pelaku dengan berbagai komentar yang bersifat menyerang. Mereka beranggapan bahwa pelaku memang pantas mendapatkannya, karena sudah melakukan pelecehan seksual. 

            Weiitsss… tunggu dulu, apakah dengan menyerang pelaku lantas masalahnya selesai? Tentu saja tidak. Menariknya adalah, fenomena spill the tea ini juga bisa menyerang korban loh… Kok bisa? Yap, karena spill the tea ini seperti mata koin yang memiliki dua sisi. 

Yuk, kita bahas dari dua sudut pandangnya!

            Kita mulai dari sudut pandang yang positif dulu yah. Spill the tea yang merupakan wadah para korban untuk bersuara, tentu akan sangat berguna dalam mengungkapkan kasusnya. Trus apa aja sih sisi positifnya? 

Menjadi Fenomena Gunung Es 

            Para korban pelecehan seksual biasanya tidak berani menyuarakan apa yang tengah dialaminya. Pelecehan seksual masih melekat dengan stigma tabu sehingga korban merasa malu dan takut untuk melaporkan kasusnya. Selain itu, kasus pelecehan seksual juga sulit sekali untuk dibuktikan. Tak jarang, justru korbanlah yang dipaksa untuk mengumpulkan bukti-bukti. So, dengan adanya spill the tea ini, korban merasa terbantu dalam menguak kasusnya. Hal ini juga menjadikan seperti fenomena gunung es, dimana hanya salah satu korban yang menguak kasusnya lantas tak ayal beberapa hari kemudian korban-korban yang lain turut menyumbangkan suaranya. Dari situlah terungkap bahwa pelaku ternyata tidak hanya memakan satu korban saja. 

Memberi Efek Jera Bagi Pelaku 

            Motif utama spill the tea adalah memberi efek jera bagi pelaku pelecehan seksual. Efek jera yang diberikan dengan cara menyebar identitas pelaku ke media sosial. Biasanya warga net yang sudah membaca ulasan terhadap kasus ini, akan turut serta menguak siapa pelaku ini sebenarnya dengan mengkorek-korek identitas pelaku di media sosial melalui postingan-postingannya yang lama. Selain itu, banjir hate komen juga ditujukkan kepada pelaku. Dengan bertindak seperti ini memberi harapan agar pelaku mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya karena, dirinya sudah terekam oleh jejak digital. 

Mendapat Dukungan dan Informasi 

            Dukungan simpati dari warga net bagi korban pelecehan seksual tentu akan sedikit meringankan masalah korban, dimana korban bisa merasa bahwa dirinya tidak sendirian dan masih banyak orang di luar sana yang peduli dengannya. Tak hanya itu, korban juga mendapatkan sumber-sumber informasi yang lebih membantu seperti rumah aman bagi korban untuk menenangkan diri, informasi mengenai psikolog/psikiater yang lebih bisa membantu dalam menangangi kondisi mental korban, dan informasi-informasi lain yang dibutuhkan si korban. 

Lalu, bagaimana dengan sisi lainnya? Seperti yang sudah dituliskan sebelumnya, spill the tea juga menyimpan sisi negatifnya, ini dia beberapa sisi negatif dari spill the tea.

Terkena Kasus UU ITE

            Bermain media sosial memang harus berhati-hati, karena ada UU ITE yang melindungi. Seseorang yang melakukan spill the tea harus tau konsekuensinya. Niat hati hanya ingin mengungkapkan kasus kejahatan, ternyata juga bisa diserang balik oleh pelaku. Dilansir dari kawanhukum.id, undang-undang yang ditertulis dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia, menyatakan bahwa: 

            Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu siding pengadilan dan diberikan secara jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesudai dengan peraturan perundang-undangan. 

            Maka dari itu, ini memberi pengertian bahwa asas praduga tak bersalah harus dinjunjung oleh siapapun demi menjaga citra, hak, dan martabat orang tersebut, sehingga orang yang melakukan spill the tea bisa dilaporkan atas asa praduga tak bersalah dan pencemaran nama baik jika tidak memiliki bukti yang cukup kuat. 

Manipulasi dan Sensasi 

            Spill the tea, bisa dijadikan manipulasi kasus atau hanya mencari sensasi semata. Seperti pada contoh kasus yang belum lama kemarin viral di twitter, dimana dulu korban (perempuan) membagikan kisahnya yang terkena kasus pelecehan seksual oleh influencer (GF) di sebuah acara pesta. Selang setahun, korban membuat video klarifikasi bahwa postingannya hanyalah hasil dari halusinasinya semata. Warga net banyak yang memberikan spekulasinya, ada yang mengira korban di bawah tekanan dan ada juga yang berpikir korban sedang dalam keadaan mabok alcohol. Sebenarnya kita netizen tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi di lapangan. Oleh karena itu, pada kasus spill the tea kita harus bisa melihat dari kedua sisi baik korban dan pelaku, agar tidak menimbulkan spekulasi yang keliru dan justru menuduh pihak yang tidak bersalah. 

Menambah Beban Korban (Cyberbullying)

            Dalam kasus pelecehan seksual, menjaga mental korban seharusnya menjadi hal yang utama. Tapi ternyata, spill the tea juga bisa menjadi sarana untuk memojokkan korban bahkan hingga ke ranah bullying. Kita tidak bisa mengontrol ribuan orang pengguna media sosial dalam berkomentar, dalam kasus-kasus tertentu segilintir orang pasti tetap ada saja yang menyalahkan korban, seperti pakaian korban, hal yang telah dilakukan korban, cara korban menanggapi situasi, dan masih banyak lagi. Hal ini tentu bisa menambah beban korban yang tengah dirundung masalah. So, untuk melakukan spill the tea sebaiknya harus hati-hati, mempunyai bukti yang cukup kuat jika nantinya diperdebatkan, dan tentunya harus seijin korban (seseorang yang bersangkutan). 

            Well, itulah dua sisi fenomena spill the tea yang kerap digunakan sebagai wadah untuk menguak kasus-kasus kejahatan. Jika kamu seseorang yang melakukan spill the tea maka kamu harus memahami konsekuensin ya… dan jika kamu seorang netizen yang membaca sebuah utas kamu juga harus bersikap bijaksana, bisa melihat dari kedua sisi dan berpikirlah sebelum berkomentar ^^ 

Sumber referensi : 

https://kawanhukum.id/fenomena-spill-pelaku-kriminal-melalui-twitter-dalam-pusaran-nilai-budaya-dan-kriminalisasi-hukum/

https://www.fimela.com/lifestyle/read/4504748/3-dampak-buruk-spill-the-tea-pada-korban-kekerasan-seksual

https://taboomedia.my.id/hitam-putih-budaya-spill-the-tea/#:~:text=Spill%20the%20tea%20atau%20'menumpahkan,informasi%20yang%20masih%20simpang%20siur.

sumber gambar : KUYOU.id

0 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
0
0
profile picture

Written By Mutiara Tyas Kingkin

This statement referred from