Flat Earth Theory dan Media Sosial: Bagaimana Konspirasi Membangun Paham Anti Intelektualisme?

profile picture Zann

Pergumulan mengenai bumi datar sebenarnya sudah sirna setelah argumentasi dari komunitas “Flat Earth Research Society” diklarifikasi oleh James Van Allen di tahun 2004. Tapi kemudian teori bumi datar kembali muncul berkenaan dengan era media baru atau media sosial. Walhasil, forum-forum diskusi Flat Earth Society aktif kembali di tahun 2010, beberapa di antaranya di Twitter dan Facebook. 

Baik di Twitter maupun Facebook, flat earthers ini mulanya tidak begitu trending sebelum akhirnya di tahun 2011, gagasan teori bumi datar muncul dalam bentuk video di channel YouTube bernama “FE 101”. Dari situ, gagasan teori bumi datar akhirnya marak dan memunculkan komunitas flat earthers yang lain di beberapa Negara, salah satunya Indonesia. Bahkan, di Indonesia sendiri tak sedikit yang terhegemoni oleh gagasan itu. Mulai dari pelajar, masyarakat umum, hingga para tokoh spiritual.  

Fenomena flat earthers di era modern ini akhirnya mau tidak mau masuk di ruang publik. Perdebatan-perdebatan tak sehat, perilaku-perilaku dehumanisasi tak jarang kita temui di media sosial, baik WhastApp, Instagram, ataupun TikTok. Bukan hal baru kalau mereka yang pro dengan bumi datar itu argumentasinya terkesan kolot, konspiratif, dan menunjukkan ciri khas kaum yang fundamentalis. 

Dari sekilas paparan di atas, lantas apakah problem dari munculnya flat earthers di era media sosial? Jika memang problematik, apakah dampaknya terhadap para generasi yang notabene personality-nya masih di tahap pertumbuhan? Dua pertanyaan yang berangkat dari fenomena flat earthers itu nantinya akan mengerucut pada media sosial, yang mana relevansinya begitu krusial jika dilihat pada kondisi intelektualitas generasi milenial. 

Karakteristik Argumentasi Flat Earthers

Sebelum mengarah pada media sosial dan pengaruhnya pada kondisi intelektual, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu penyebab dasar dari hal itu. Di konteks ini, fenomena flat earthers menjadi titik pijaknya. Maka dari itu, yang berkaitan dengan intelektualitas, kita bisa melihat dari karakteristik argumentasi kaum flat earthers. 

Secara garis besar, ada tiga hal yang menandakan karakteristik dari argumen flat earthers. Pertama adalah konspiratif. Kaum flat earthers dengan segala argumentasinya, itu berangkat dari anggapan bahwa adanya sistem multidimensi yang dimainkan oleh elite global. Menurutnya, permainan para elite global seperti misi Apollo 11 itu hanyalah mekanisme CGI yang berupaya membohongi masyarakat demi kekuatan politik internasional dan agar mengendalikan ekonomi dunia. 

Kedua, argumentasi mengenai bumi datar yang selama ini kita kenal, itu mengambil preferensi dari teks-teks Alkitab. Bukan berarti salah, tetapi para flat earthers ini menginterpretasikan teks-teks Alkitab hanya karena ada tendensi meruntuhkan konspirasi elite global. Ditambah lagi, mereka menginterpretasikan bukan dengan mufasir atau ahli tafsir, melainkan secara mandiri. Hal itu yang akhirnya banyak kalangan menyebut kaum flat earthers sebagai kaum fundamentalis agama. 

Ketiga, yaitu argumentasi pragmatis. Selain karena interpretasi terhadap teks-teks Alkitab secara mandiri, dalam sejarahnya, kaum flat earthers ini pernah menguatkan argumentasi bumi datar dengan mengambil teori dari seorang fisikawan (James Van Allen), tetapi hanya mengambil bagian tertentu saja dan memunafikan yang lain. Bahkan, pengutipan teori itu tanpa ada izin dengan Van Allen. 

Dari ketiga karakteristik tadi, kita bisa simpulkan bahwa logika flat earthers adalah, “menyadari kebohongan lebih utama daripada mencari kebenaran.” Jadi, keberadaan mereka sebetulnya tidak mengkhususkan untuk debat masalah betul mana antara bumi bulat atau datar. Tetapi berupaya meruntuhkan apa yang mereka anggap sebagai konspirasi elite global. 

Eksistensi Media sosial dan Implikasinya

Maraknya gagasan teori bumi datar ini tentu tidak lepas dengan yang namanya media sosial. Banyak literatur menjelaskan bahwa selain disebut fasilitator, media sosial juga disebut pelopor dunia baru. Hal itu lahir dari suatu penyebutan lain dari media sosial, yaitu new media. Pengistilahan new media ini menggambarkan karakteristik dari media sebelum-sebelumnya, seperti: radio, tabloid, koran, televisi, dan media-media lainnya yang tergolong dalam media tradisional. 

Karakteristik dari new media yang paling signifikan ialah media yang menghasilkan dunia baru, atau yang kerap disebut virtual reality. Realitas virtual adalah ruang yang menyediakan penggunanya bereksplorasi seluas-luasnya dan menghasilkan identitas yang lain dari penggunanya. Hal itu penting untuk garis bawahi bahwa, siapa saja bisa mengeksplorasi dan mempublikasi sebuah paham tanpa adanya legalitas kepakaran. Itulah sisi ironi dari media sosial.

Berkaitan dengan fenomena munculnya kembali teori bumi datar di media sosial, maka tak heran jika hiruk-pikuk suasana ruang publik di media sosial menghasilkan banyak sekali kekalutan, seperti saling berdebat dengan tidak sehat, hingga saling merendahkan secara personal antara satu dengan yang lainnya. Semua fakta itu akhirnya secara sadar ataupun tidak, dengan akselerasi dan kecanggihan media sosial menjadikan para kaum flat earthers yang ada di dalamnya mengidap paham anti intelektualisme. Hal itu begitu krusial bagi masyarakat Indonesia, terutama generasi milenial. 

Lantas, apakah anti intelektualisme itu? Dan, apa urgensinya bagi generasi milenial?

Watak Anti Intelektualisme 

Sebenarnya dari karakteristik argumentasi kaum flat earthers sendiri sudah menujukkan paham anti intelektualisme. Tapi karena munculnya lewat media sosial, alih-alih membuat paham anti intelektualisme semakit pekat dan penuh dengan ketidaksadaran. Ini penting untuk disadari, apalagi mengingat pengguna media sosial mayoritas adalah generasi milenial. 

Ada setidaknya tiga watak dari kaum intelektualisme. Pertama, mereka anti dengan rasionalitas dan pendekatan ilmiah. Apabila rasio mereka tidak mampu menangkap sebuah gagasan, mereka lantas beranggapan bahwa, tidak semuanya bisa dijelaskan dengan logika. Tak hanya itu, anti intelektualisme ini akan berkata, “siapa yang menjamin kalau pembuktian secara ilmiah itu benar?” Dari kalimat itu jelas ada beda antara skeptisisme dengan kemalasan untuk berpikir dan belajar. 

Kedua, senada dengan sub yang pertama tadi, yakni konspiratif. Dr. Mike Wood, Psikolog Universitas Winchester mengatakan bahwa, penelitian tentang teori konspirasi berkaitan dengan kondisi stres pada seseorang. Ketika orang tidak menguasai dirinya sepenuhnya, maka segala hal yang berbau konspirasi akan terkesan masuk akal. Maka tak heran, jika kaum flat earthers bagi sebagian kalangan disebut sebagai anti elitism radikal. 

Ketiga, mereka senang dengan ilmu-ilmu yang praktis. Seperti misalnya ilmu yang disampaikan di YouTube. Padahal, ilmu itu kompleks, tidak bisa dipahami hanya sebatas dari video saja. Apalagi dari orang-orang yang tidak jelas legalitas kepakarannya. Dari sini kita tidak heran kalau kebanyakan pengguna media sosial itu kecapakannya dalam berpikir atau berlogika begitu dangkal. Atas kedangkalan itu, mereka memenuhi postingan ataupun komentar yang tidak mencerminkan makhluk rasional. 

Pesan atas Ancaman Generasi

Dari karakteristik argument flat earthers dan anti intelektualisme, semoga kita bisa berkaca dengan penuh kesadaran. Di masa yang akan datang, media sosial sudah tidak bisa kita lepaskan, dan tentu mau tidak mau kita harus terjun bukan untuk melawan, tapi untuk memanfaatkan teknologi media sosial untuk menciptakan perubahan. Setidaknya, kapasitas diri sebagai manusia. 

1 Agree 1 opinion
0 Disagree 0 opinions
1
0
profile picture

Written By Zann

This statement referred from