Menjelang Tahun-tahun Politik: Konspirasi dalam Bingkai Koalisi dan Kompromi Parpol

profile picture mkaaiem

Awal tahun 2023 telah ramai dengan beragam wacana politik yang seakan hilir mudik menghiasi pemberitaan saban hari. Partai-partai politik (parpol) yang telah dinyatakan lolos untuk Pemilu tahun 2024 nanti mulai melepas jangkar dan berlayar mengarungi derasnya arus perpolitikan tanah air. Satu sama lain saling melakukan penjajakan demi menghasilkan koalisi solid untuk menjadi yang terbaik di republik ini. Beragam kompromi dan deal politik lekas dibentuk seakan hasil Pemilu nanti telah berada di genggaman tangan. Lantas, bagaimana sejatinya demokrasi di negeri ini terselenggara? Apa jadinya bila antar parpol yang  nampak seringkali adu mulut di layar televisi ternyata sesungguhnya sekadar memerankan drama konspirasi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin terasa begitu irasional dan tanpa argumen evidential yang riil. Namun, praduga semacam itu tentu tak mutlak salah. Terlebih, apabila kita mencermati alur perpolitikan Indonesia dari masa ke masa, teori konspirasi sesungguhnya urgen untuk menjadi bahan diskusi bersama. Sebagai misal, mari kita kembali ke peristiwa reformasi 1998 lalu. Di masa itu, masyarakat dari beragam kelompok berbondong-bondong menggeruduk Senayan. Mereka menuntut otokrasi Soeharto yang telah merajai republik ini selama 32 tahun turun dari jabatannya. Publik tak tahan lagi dengan pemerintahan yang sentralistik serta penuh diwarnai KKN (korupsi, kolusi, serta nepotisme). Publik ingin mendobrak pintu baja yang selama ini menghalangi gerbong-gerbong demokrasi untuk dapat melaju. Pada akhirnya, publik menang dan kran demokrasi dibuka sederas-derasnya. Akan tetapi, bukannya dimanfaatkan sebagai wahana untuk menyemai benih-benih demokrasi yang lebih baik, reformasi ternyata hanya digunakan pihak-pihak berkepentingan untuk menduduki tampuk jabatan strategis. Masing-masing saling membikin parpol sebagai kendaraan politik mereka. Semua ingin menorehkan tinta emas sebagai pemimpin reformasi Indonesia sembari menyimpan ambisi kekuasaan, hedonisme, serta melanggengkan praktik KKN yang justru makin menggila.

Kemudian, mari kita  beranjak menuju tahun 2019. Kala itu, pasca penetapan hasil Pilpres yang mengunggulkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin atas Prabowo-Sandi, demonstrasi besar terjadi. Pendukung Prabowo-Sandi menilai kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin penuh dengan kecurangan. Selain menggelar demonstrasi hingga sempat bersitegang dengan aparat Kepolisian, persengketaan hasil Pilpres dibawa ke meja Mahkamah Konstitusi (MK). Beragam saksi dari lintas elemen masyarakat dihadirkan. Barang bukti serta tumpukan dokumen di meja hakim menjadi penanda betapa peliknya perselisihan tersebut bagi bangsa Indonesia. Pada akhirnya, MK mengesahkan kemenangan Jokowi-Ma’ruf Amin lantaran dugaan kecurangan yang dituduhkan tak terbukti secara signifikan. Publik—pendukung Prabowo-Sandiaga—kecewa dan giliran menuduh MK sebagai institusi yuridis yang tak independen dan takut dengan bayang-bayang pemerintah.

Di saat kegeraman dan rasa muak melanda para pendukung dan simpatisan Prabowo-Sandi, Jokowi mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju-nya. Mengejutkan, Prabowo Subianto yang tak lain adalah rival bebuyutannya di Pilpres 2019 ia pilih sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Raut wajah sumringah nampak tersungging dari paras keduanya. Seolah-olah, mereka sedang saling memberi selamat dan berujar, “Lakon drama kita sukses.” Publik yang semula mendukung Prabowo di Pilpres kecewa bukan main. Figur yang mereka idam-idamkan menjadi the number one di NKRI ini justru dengan gembira menerima pinangan Jokowi untuk menjadi pembantunya. Belum hilang kekecewaan publik dengan sikap Prabowo tersebut, langkah Jokowi makin membuat publik ger-geran. Setahun berselang (2020), giliran Sandiaga Uno yang dirangkul. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini mendapat jatah kursi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) menggantikan Wishnutama Kusubandio. Jadilah kedua penantang Jokowi yang dahulu kerap adu mulut dan saling lempar kritik tersebut menjadi abdi bagi semboyan Kerja, Kerja, Kerja.

Kini, menjelang Pilpres 2024 yang tinggal satu setengah tahun lagi, publik idealnya perlu lebih jeli dalam membaca peta politik Indonesia. Keberanian untuk melemparkan praduga skeptik “jangan-jangan cuma seperti yang dulu lagi” perlu lebih ditekankan. Betapa berulang kali para pendukung dan simpatisan harus saling adu mulut, adu jotos, bahkan hingga memutus tali sanak-famili demi mendukung jagoannya. Namun, bukannya dibalas dengan konsistensi, para jagoan justru saling bermesraan di Senayan sana. Debat dan perang argumen terbuka yang menjadi ciri demokrasi tak terdengar lagi. Semua membisu dan takluk pada penguasa dan oligarki. Seakan, perjuangan para pendukung yang mendarah daging tak lagi bermakna di mata mereka.

Oleh karena itu, kejelian dan kecermatan merupakan prinsip yang harus dipegang teguh. Memberikan dukungan kepada salah satu calon merupakan hak prerogatif warga negara yang dijamin undang-undang. Namun, sekali lagi publik tak boleh terjerumus pada fanatisme. Biarkan demokrasi kita berjalan sebagaimana undang-undang mengatur dengan menjunjung tinggi asas kesederajatan, toleransi, serta musyawarah mufakat. Alhasil, perbedaan pilihan politik tak lagi menimbulkan perpecahan dan konflik di sana-sini sehingga integrasi bangsa akan tetap stabil. Toh, siapa tahu kita cuma akan dibohongi lagi???


Sumber gambar: racmadplb3.com
 

2 Agree 1 opinion
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By mkaaiem

This statement referred from