Memutuskan Childfree: Sikap Atas Mental Membenturkan
Memutuskan Childfree: Sikap Atas Mental Membenturkan
Perbincangan mengenai childfree mengemuka dalam ruang publik di Indonesia. Sejak postingan Youtuber Gita Savitri yang memutuskan untuk tidak ingin mempunyai anak viral, muncul pro kontra mengenai pilihan childfree. Gita Savitri sendiri beralasan bahwa dia tidak siap menjadi ibu dengan segara kerepotannya mengurus anak. Baginya, memiliki anak tidak menyenangkan dan lagi pula dia masih merasa nyaman hidup berdua dengan suaminya.
Childfree merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut kalangan yang memilih untuk tidak memiliki momongan setelah menikah. Chlidfree biasanya menjadi tren di kalangan negara-negara Barat atau orang-orang yang mengikuti gaya hidup Barat. Beberapa kalangan (terutama yang di timur) menganggap pilihan ini bertentangan dengan takdir, karena setiap orang dianggap mempunyai naluri untuk menghasilkan keturunan. Akan tetapi dalam satu dekade terakhir, tidak memiliki anak telah menjadi gaya hidup. Bukannya orang yang melakukannya tidak mencintai anak itu atau ingin memutus keturunannya, tetapi untuk alasan tertentu.
Beberapa pihak juga mengemukakan beberapa alasan untuk membela pilihan childfree dalam media ini. Yusuf membela childfree karena menganggap melahirkan sebagai privilege perempuan dan mewariskan tidak harus mempunyai anak tetapi bisa juga berupa hal-hal lainnya. Sementara itu, bintulhuda mengemukakan alasan lain seperti faktor ekonomi, mental dan sosial yang mengakibatkan orang tidak ingin memiliki anak.
Kondisi psikologis perempuan menjadi salah satu alasan atas pilihan memustukan childfree. Perempuan dengan kondisi psikologis tidak setabil akan berpengaruh pada pola asuh mereka atau bahkan masa depan anak. Bukan hanya kondisi psikologis, perempuan yang memutuskan untuk childfree juga memiliki alasan lain seperti trauma masa anak-anak.
Apabila ditilik secara mendalam, alasan-alasan yang dikemukakan untuk memutuskan childfree berakar pada mental membenturkan. Ketidaksiapan mental untuk menjadi orang tua misalnya, adalah sebuah kondisi yang tercipta dari keterlambatan pendidikan kita akhir-akhir ini. Generasi sekarang bisa dibilang terlambat menjadi dewasa. Mereka tumbuh menjadi generasi stroberi yang ragu dalam mengambil tanggung-jawab. Hasilnya, mereka tidak berani dan tangguh untuk menerima tanggung-jawab dan peran sebagai orang tua.
Dahulu, untuk menjadi dewasa orang tidak harus lulus sarjana, para pahlawan kita telah mendewasa bahkan sebelum lulus SMA. Artinya kedewasaan mereka sudah terbentuk sebelum berusia 20 tahun. Sementara sekarang, generasi yang lahir tidak memiliki independensi dan maturitas bahkan setelah lulus sarjana. Mereka bingung bagaimana mencari uang dan menentukan pilihan. Akhirnya mereka terlambat untuk menikah dan menjadi dewasa.
Alasan untuk childfree juga terlihat membenturkan dengan mengatakan bahwa menjadi perempuan yang memiliki anak dianggap tidak merdeka dan ada kekhawatiran anak-anak tersebut tidak terurus, tidak tecukupi secara finansial serta sehingga semboyan banyak anak banyak rejeki dianggap tidak lagi relevan. Paradigma ini terbantahkan dengan banyaknya kita temukan ibu-ibu yang sukses di dunia kerja dan memiliki banyak anak. Mereka juga tercukupi secara finansial dan mental. Kuncinya sebenarnya terletak pada tata kelola dan pemahaman yang komprehensif sebagai orang tua akan tanggung jawab mereka untuk mendidik anak.
Bisa juga pilihan untuk childfree adalah hanya langkah ikut-ikutan. Beberapa orang yang mengidolakan Gitasav mungkin mendukung dan mengikuti pilihannya karena atas dasar irrasional. Mereka hanya ikut-ikutan tanpa memiliki satu alasan yang kuat. Ini menjadi masalah karena pilihan hidup tidak ditentukan satu perenungan yang mendalam dan sekadar mengikuti tren. Apabila tren yang diikuti positif maka tidak menjadi masalah. Tetapi jika trennya negatif maka akan menjadi problem di kemudian hari.
Alasan bahwa childfree akan mencegah overpopulasi adalah keliru. Peneliti dari International Institute for Environment and Development di London, David Satterthwaite, menyimpulkan bahwa “Bukan jumlah orang di planet ini yang jadi masalah tapi jumlah konsumen dan skala serta sifat konsumsi mereka”. Hal ini dibuktikan dengan penelitiannya bahwa kota-kota dengan penduduk berpenghasilan tinggi sebenarnya memiliki dampak yang signifikan terhadap masalah lingkungan, tidak seperti penduduk perkotaan berpenghasilan rendah.
Childfree pada gilirannya menghancurkan institusi tradisional paling kuat, yakni keluarga. Keputusan tidak memilik anak telah mencabut peran terbesar seseorang baik sebagai ayah maupun ibu. Mereka yang memutuskan untuk tidak memiliki anak akan kehilangan masa-masa terpenting dalam hidupnya. Oleh karenanya akan ada episode penting di dalam hidup mereka.
Keputusan untuk childfree seringkali membawa dampak negatif kepada perempuan. Dalam riset berjudul "The social and cultural consequences of being childless in poor-resource areas" yang dilakukan oleh F. Van Balen, disebutkan bahwa terdapat konsekuensi sosial yang diterima perempuan di beberapa negara jika memilih untuk tidak memiliki anak, sebagian besar dari mereka akan mengalami kekerasan verbal. Gunjingan dari teman sejawat dan tuduhan tidak mengenakkan sering kali menimpa mereka.
Pada akhirnya, semua alasan dan argumen untuk memutuskan childfree hanyalah rasionalisasi atas egoisme, ketakutan, mental membenturkan dan ketidakdewasaan dalam bersikap. Semua itu dibuat sebagai alasan untuk menutupi ketidakmampuan. Pada dasarnya, memiliki anak tidak selalu berarti tidak sukses dalam berkarir. Ada banyak orang di luar sana yang tetap sukses dalam karirnya meskipun memiliki anak. Kuncinya terletak pada pola pengasuhan dan paradigma kita dalam memandang keluarga dan anak itu sendiri.