Konspirasi di Balik Covid19 dan Terkikisnya Nilai Budaya Nusantara
Pandemi yang telah berlangsung selama 2 tahun sejak 2019 membuat banyak perubahan bagi manusia. Mulai dari membawa ketakutan di hati setiap orang, pandemi juga memberi dampak yang sangat banyak bagi perekonomian, sosial, dan budaya masyarakat. Dampak ini masih dirasakan oleh kita sampai saat ini.
Kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah membuat seseorang sangat berhati-hati dalam bergerak dan bertindak. Saat itu, di mana pun seseorang bergerak akan dibatasi dengan kebijakan dan kebijakan. Kebijakan yang dirasa oleh banyak orang sebagai sesuatu yang menambah ketakutan. Namun, semua itu harus dilakukan sebagai upaya pencegahan agar tidak bertambah kasus covid19 di negara ini.
Kecurigaan pun hadir di hati saat berinteraksi antar sesama. Takut akan ketularan virus covid19, takut kalau orang yang sedang berhadapan dengan kita adalah pembawa virus. Semua itu menjadikan momok tersendiri bagi setiap orang. Hal inilah yang membuat perubahan sosial terjadi pada masyarakat Indonesia khususnya.
Pemberlakuan PPKM pada beberapa wilayah di Indonesia dengan dibagi menjadi zona dan level tertentu menjadi salah satu cara agar virus ini tidak berlanjut. Pemberian vaksin yang dinyatakan sebagai cara lain untuk menangkal virus ternyata tidak bisa dijadikan alasan mutlak agar orang tidak beraktivitas. Semua itu tergantung pada pribadi masing-masing. Kesiapan diri dan pencegahan sedari awal dari setiap orang akan membuat kehidupan seorang itu di masa pandemi menjadi lebih sehat.
Nilai Budaya yang berubah Selama Pandemi di Desa Mekar Sari
Ada banyak yang melatarbelakangi kenapa saya memgangkat masalah ini. Dari awal covid tersiardi negeri Cina, hingga langkanya desifektan dan masker di dunia. Jika pun ada, harganya di luar logika. Sampai berbagai vaksin dimunculkan dan bertambah banyaknya varian hingga booster yang kesekian pun ada. Lalu, siapa yang diuntungkan? Para produsen vaksin, para nakes, pejabat pemerintahan, atau tidak ada yang mendapatkan keuntungan?
Ah, jika covid19 mau dijadikan suatu konspirasi alangkah jahatnya. Namun, bisa jadi saat covid19 inilah jalan untuk mengeruk keuntungan. Di balik kata covid19, banyak spekulasi-spekualasi yang dilontarkan. Mulai dari konspirasi penanganan sampai konspirasi pernyataan pasien yang terkena covid19. Lebih lanjut lagi adalah konspirasi untuk menghilangkan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.
Suasana desa saya Mekar Sari, OKU Selatan, Sumatra Selatan sangat mencekam saat pemerintah menetapkan untuk lockdown di seluruh wilayah, termasuk Mekar Sari. Jalanan menjadi sepi. Yang berlalu lalang di jalan hanya beberapa kendaraan saja. Warung-warung tidak lagi marak dengan kumpulnya para bocah setingkat SMP untuk mencari makan atau sekadar mengobrol di sana.
Pembangunan rumah warga yang biasanya dilakukan dengan cara bergotong royong menjadi tidak terlihat. Hanya ada 2-3 pekerja yang membantu proses pembuatannya, itu pun dari pihak keluarga. Padahal dulu, setiap warga yang tidak memiliki kegiatan dengan senang hati membantu pembuatan rumah sampai selesai.
Masjid dan musala yang tadinya ramai dengan suara anak-anak yang TPA menjadi hening. Kegiatan TPA dihentikan mendadak tanpa tahu kapan harus dibuka kembali. Begitu pun azan yang nyaris tidak ada karena pembatasan atau pelarangan untuk mengeraskan suara azan. Kegiatan seperti pengajian pun hilang mendadak.
Warga desa kami menjadi ketakutan. Mereka tidak berani melanggar aturan dan kebijakan pemerintah. Jalanan dijaga ketat agar tidak sembarang pelancong masuk ke desa. Ini semua dikarenakan ketakutan pada virus kecil yang bernama covid19.
Budaya yang biasanya ada saat ada yang melahirkan, menikah, dan khitanan nyaris tidak terdengar saat itu. Bahkan warga yang meninggal pun tidak disiarkan kabarnya melalui mikrofon masjid. Pemakaman yang sepi, tidak ada arakan dari warga menimbulkan kesedihan tersendiri. Namun, semua itu dilakukan agar dampak covid19 tidak meluas.
Membudayakan Kembali Gotong Royong
Setelah 2 tahun pandemi, pemerintah menetapkan status endemik pada virus ini. Masyarakat mulai memberanikan diri untuk keluar rumah, bercakap-cakap antarwarga kembali terjadi. Kegiatan desa kembali diadakan.
Pernikahan yang tadinya tidak dirayakan, kini sudah mulai dimeriahkan meskipun dengan aturan tertentu. Status endemik membuat warga desa bergembira. Kebebasan seakan menjadi embusan udara segar agar bangkit dari keterpurukan.
Gotong royong yang tadinya sempat terhenti mulai digalakkan kembali. Budaya yang menjadikan desa ini harmonis kini mulai tampak. Kegiatan pembersihan saluran air dan jalanan mulai terlijat di setiap hari Ahad.
Orang mulai berani mengeraskan suara azan dan salat berjamaah kembali hadir di setiap hari tanpa takut ditegur oleh aparat desa. Pengajian setiap malam Jum'at dan bulanan mulai diberlakukan. Seiring dilonggarkan sedikit kebijakan dari pemerintah, budaya-budaya di masyarakat pun dilakukan.
Budaya yang Sempat Hilang
Nilai budaya dan sosial yang terkikis selama pandemi mulai ditumbuhkan. Seperti mulai adanya perayaan pada kegiatan sosial, seperti masalah rewang saat akan diadakannya acara. Kumpulan warga yang saling membantu dan bekerja sama untuk menyukseskan acara terlihat kembali di desa saya.
Budaya bertegur sapa dan berbincang sudah terjadi kembali. Warga desa tidak ragu untuk menyapa warga yang lain. Mereka pun tidak takut berbincang untuk sekadar berbagi cerita. Sepertinya mereka sudah bosan dengan pandemi yang membuat mereka terhalang untuk beraktivitas.
Budaya saling memberi dan silaturrahim yang sempat tidak hadir selama 2 tahun pandemi mulai berubah. Warga melakukan kembali silaturrahim dari rumah ke rumah saat lebaran. Kunjung-mengunjungi ini memberi dampak yang sangat positif bagi warga untuk saling merasakan kedekatan antar sesama.
Pandemi memang terasa sangat mencekam kala itu, semua nilai budaya di atas mendadak hilang. Namun, semua itu sementara saja. Buktinya, setelah pandemi berakhir, nilai budaya dalam kultur sosial di masyarakat kembali ke keadaan semula. Bersyukur seluruh warga bisa melewati masa-masa ini dan semoga masa seperti pandemi kemarin tidak terjadi lagi.