Sisi Gelap Momen Imlek, Pencurian Hingga Diskriminasi Ras
Siapa sih yang tidak bahagia menyambut imlek? Momen yang ditunggu-tunggu dalam 1 tahun sekali untuk bisa bersama-sama berkumpul bersama keluarga besar, bercengkerama bersama, membicarakan masa lalu, kabar saat ini, maupun pekerjaan. Momen dimana bisa bernostalgia saat mereka masih kecil, atau bahkan momen memperkenalkan calon anggota keluarga baru.
Berbagi angpao pun tidak ketinggalan, mereka yang sudah menikah akan memberikan angpao bagi anggota keluarga yang belum menikah, atau yang sudah sepuh. Tidak ada nominal khusus, namun selalu ditunggu-tunggu, sebagai bentuk bersyukur atas rejeki yang diberikan dalam setahun.
Bahkan bagi beberapa kalangan, mereka tak segan menghias rumahnya dengan berbagai ornament imlek. Seperti lampion, atau hiasan lainnya dengan nuansa emas dan merah. Namun tahukan kalian, sejarah kelam imlek hingga melahirkan warna merah dan emas ini? Dan Tahukan kalian bahwa di Indonesia, dulunya dilarang untuk merayakan imlek?
Legenda awal mula imlek dimulai dari Dinasti Shang, dimana mereka melakukan ritual atau upacara pengorbanan kepada Dewa setiap awal tahun baru, sebagai bentuk penghormatan dan bentuk ucapan syukur atas apa yang telah alam berikan dalam kurun waktu 1 tahun kemarin.
Sampai disini kita sudah tahu, awal mula perayaan imlek ada. Nah lalu, kenapa ornamen imlek identik dengan warna merah dan emas serta petasan dan barongsai? Rupanya hal ini memiliki sejarahnya sendiri.
Konon ribuan tahun lalu, terdapat seekor makhluk yang digambarkan seperti berbentuk naga dengan gigi yang sangat tajam. Makhluk ini memiliki sifat yang jahat, karena sangat suka mencuri dan memakan hasil tani atau perternakan warga sekitar saat itu. Kemudian, mereka menjuluki makhluk yang sering muncul mendekati hari upacara ucapan syukur ini dengan sebutan “Nian”.
Tentunya saat itu seluruh warga ingin mengusir Nian namun mereka tidak mampu. Awalnya, untuk mencegah Nian merusak hasil bumi dan ternak warga, setiap rumah memberikan persembahan kecil di depan pintu, dengan harapan Nian memakan dan tidak merusak hasil jerih payah warga saat itu.
Namun para leluhur memberikan informasi, bahwa Nian takut dengan warna merah dan emas, serta suara berisik. Mulai dari situlah, setiap mendekati upacara ucapan syukur, para warga kompak menghias rumah mereka dengan ornamen warna merah dan emas. Konon, saat Nian datang, mereka beramai-ramai menyalakan petasan dan membuat suara-suara ribut untuk mengusirnya.
Seiring perkembangan zaman dan berganti dinasi, perayaan imlek mulai berkembang modern, seperti adanya “kewajiban” untuk berkumpul bersama keluarga besar, biasanya di rumah anggota keluarga yang saat itu paling tua. Imlek berubah menjadi simbol kemakmuran, dan ini yang memunculkan tradisi bagi angpao.
Rupanya masa awal “Nian” yang dianggap seram ini bukan akhir dari sejarah kelam imlek. Beberapa waktu yang lalu, imlek sempat dilarang untuk dirayakan di Indonesia. Keputusan yang terdengar diskriminatif ini digaungkan saat pemerintahan Presiden Soeharto. Padahal, perayaan imlek sudah ada dan tidak dilarang sejak zaman penjajahan Jepang, maupun saat pemerintahan Presiden Ir. Soekarno. Bahkan saat itu, warga keturunan Tionghoa diperbolehkan mengibarkan bendera China.
Rupanya keputusan yang rasis ini berawal dari diterimanya Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret, yang berisi mengenai aturan untuk warga keturunan Tionghoa yang tinggal dan menetap di Indonesia. Saat itu, Presiden Soeharto segera mengeluarkan Inpres (Intruksi Presiden) nomor 14 tahun 1967 untuk mulai “menyetir” warga keturunan Tionghoa ini.
Salah satu isinya adalah larangan untuk merayakan imlek secara meriah atau terlihat di publik. Ini berarti, tidak boleh lagi ada acara sembahyang, berkunjung ke makam leluhur, bertamu ramai-ramai ke rumah keluarga atau kerabat, bahkan menghias rumah dengan meriah dan perayaan barongsaipun dilarang saat itu. Semua warga merayakan secara diam-diam dan sunyi, bahkan ada yang memilih untuk diam di rumah dan tidak merayakan, serta menjalani hari seperti biasa.
Tidak hanya itu, berbicara dengan Bahasa mandarin dilarang saat itu. Entah di media maupun secara perorangan di publik. Itu berarti, saat itu tidak ada suasana datang ke rumah keluarga sambal mengatakan “gong xi gong xi” dengan meriah dan senyum bahagia diwajah mereka.
Ternyata larangan ini berdampak pada generasi muda saat itu. Mereka tidak lagi mengetahui mengenai hari raya imlek, bahkan tanggal perayaan di kalender masehi pun tidak. Imlek perlahan mulai menghilang di Indonesia. Sekolah-sekolah yang berbasis Bahasa mandarin dilarang, dan bahkan sekolah umumpun tidak boleh mengenalkan imlek kepada siswanya, meskipun sebatas pengetahuan umum.
Tujuan Presiden Soeharto saat itu adalah “naturalisasi”, ingin menciptakan masyarakat yang “sama”. Padahal, bukankah keberagaman itu indah dan hal biasa? Bukankah Tuhan menciptakan manusia beragam? Lantas kenapa manusia yang memiliki kekuasaan berusaha “menyamakan”? Entahlah, apa mungkin ada tujuan lain dibalik semua itu yang sampai saat ini kita tidak tahu.
Namun menurut beberapa info, alasan munculnya Inpres tersebut untuk membatasi gerak warga keturunan tionghoa saat itu, agar kehidupannya tidak lebih baik dari golongan masyarakat lain. Tetapi justru itu merendahkan golongan msyarakat tertentu bukan? Padahal semua bisa dan mampu untuk bersaing.
Setelah 32 tahun masa kelam tersebut, seorang tokoh terkenal yaitu Gusdur merangkul dan mematahkan aturan diskriminatif itu. Beliau akhirnya mengubah Inpres tersebut dan menggantinya. Di masa kepemimpinan Gusdur, warga keturunan Tionghoa kembali dibebaskan merayakan imlek dan adat istiadatnya secara meriah serta terbuka di publik.
Penggunaan Bahasa mandarin bahkan sekolah dengan basis Bahasa mandarin kembali diizinkan. Beliau percaya bahwa semua warga di Indonesia berhak mendapat perlakuan adil. Tak hanya itu, saat beliau lungsur, Presiden Megawati mendukung keputusan Gusdur dengan menjadikan hari raya Imlek sebagai hari libur Nasioanal.
Tak heran jika saat ini masyarakat Tionghoa yang telah berumur selalu mengingat Gusdur jika ditanya tentang sejarah Imlek. Tidak hanya warga keturunan, bahkan mungkin warga lainpun setuju jika beliau merupakan Presiden yang dikagumi sifat dan keputusannya saat itu.
Hingga saat ini pun perayaan imlek terus dijadikan libur nasional dan dapat dirayakan meriah. Bahkan beberapa warga yang bukan keturunan Tionghoa pun bisa ikut merayakan bersama. Sekedar makan-makan, berkumpul, dan membagi rejeki dalam bentuk angpao.
Seharusnya beginilah Indonesia, beragam adat dan budaya namun berbaur menjadi satu sukacita bersama dengan yang lain. Saling mendukung, berbaur dan merangkul satu sama lain tanpa memandang latar belakang. Ada seseorang yang mengatakan, “jika kita tidak merayakannya, seidaknya dinikmati saja hari liburnya”. Dan itu benar, setiap warga Indonesia, berhak atas hari rayanya, entah budaya atau agamanya.