Konspirasi Di Balik Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dimaksudkan “untuk memperluas lapangan kerja dan mendorong Investasi” di undangkan, memang sudah banyak memancing kontroversi karena dianggap merugikan kepentingan pekerja dan menguntungkan pengusaha. Puncaknya adalah munculnya gugatan dan dikabulkannya gugatan terhadap UU Cipta Kerja oleh Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 25 November 2021, yang memutuskan bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disingkat UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh MK, UU Cipta Kerja diputuskan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bersyarat.
Apakah dengan keputusan MK tersebut, cerita selesai? Ternyata tidak. Pada penghujung tahun 2022 Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai pengganti UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menjelaskan, penerbitan Perppu 2/2022 ini murni karena alasan medesak. Setidaknya ada tiga alasan penerbitan Perppu ini, di antaranya: mendesak, kekosongan hukum, dan upaya memberikan kepastian hukum.
Alih-alih memberikan kepastian hukum, Perppu 2/2022 malah menuai kontroversi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai, kehadiran Perppu Cipta Kerja ini justru menciptakan ketidakpastian. Karena masalah utama dalam daya saing salah satunya tingkat ketidakpastian kebijakan cukup tinggi. Investor bisa ragu kalau aturan berubah-ubah. Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang.
Di sisi lain, mendesak atau kondisi darurat dalam Perppu Cipta Kerja bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023. Di mana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen cenderung tinggi. Kalau ekonomi masih tumbuh positif kenapa pemerintah menerbitkan Perppu?”
Ada sementara orang yang melihat Perppu ini sebagai konspirasi politik dimana Pemerintah nampaknya tidak ingin ada kegaduhan di tahun politik menjelang Pemilu Februari 2024. Meskipun Perppu Cipta Kerja ini dimaksudkan untuk memancing lebih banyak investor dan perluasan lapangan kerja, akan tetapi pasal – pasal didalamnya justru banyak mengurangi hak-hak pekerja. Selain itu banyak pasal-pasal yang meliberalisasi sektor ekonomi Indonesia.
Isu sensitif ketenagakerjaan dan liberalisasi ekonomi tentu ini buruk bagi citra politik penguasa. Pemerintah tak suka kegaduhan, sementara bagi partai pengusung pemerintah, bila perubahan UU Cipta Kerja di bahas di parlemen, ini akan membuat mereka menjadi bulan-bulanan partai oposisi dan aktivis politik, serta masyarakat. Pembahasan terbuka pada pasal-pasal yang menyangkut hidup orang banyak rentan dijadikan sasaran tembak dari para oposisi dan masyarakat kritis, bahkan sesama koalisi politikpun bisa gontok – gontokan untuk mendapat simpati pemilih. Perppu Cipta Kerja bila dibahas dengan legislasi, proses rapatnya di DPR bisa- bisa menjadi isu panas setiap hari yang nada nya pasti buruk bagi partai pendukung dan bisa membuat kegoncangan politik.
Dengan mekanisme perppu, pengundangannya hanya perlu ditanda tangani di level Pimpinan DPR, dengan pertimbangan alasan kegentingan, tanpa pembahasan ulang isi secara detail. Para petinggi partai pastinya sadar akan hal ini, sementara Pemerintah juga punya kepentingan untuk menyelamatkan reputasi dari UU yang nyaris terbengkalai.
Disisi lain, tahukah anda bahwa sejak era Soeharto sampai sekarang, kita membangun bukan dari surplus pendapatan atas pengeluaran. Pendapatan tidak cukup untuk menutupi ongkos. Tanpa utang, negara ini tidak jalan. Pemerintahan bubar. Mengapa?
Pertama. Jumlah penduduk terus bertambah. Sementara pendapatan negara tidak cukup untuk membiayai pembangunan sebagai akibat pertambahan penduduk dan tuntutan standard kehidupan masyarakat yang semakin tinggi. Akibatnya APBN selalu defisit dan ditutup melalui utang. Pada akhir Desember 2022 defisit APBN mencapai Rp. 464,3 triliun atau 2,38 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Kedua, karena sejak awal gonta ganti presiden APBN kita selalu defisit dan selalu hutang, maka cara kita bayar utang itu dengan skema daur ulang. Alias bayar utang pakai utang. Mengapa ? karena kita tidak punya surplus pendapatan untuk bayar utang. Caranya ? Ya, tawarkan kepada investor, SBN (Surat Berharga Negara) yang mereka pegang di tukar dengan SBN yang baru atau istilahnya Preferred Tenders. Tetapi dengan jangka waktu lebih lama. Jadi aman dari segi tagihan. Apa jadinya kalau SBN global bond kita dicoret oleh market? Kita pasti collapse. Karena kita tidak bisa lagi lakukan skema daur ulang.
Dengan dua hal itu, maka Pemerintah terpaksa keluarkan Perppu Cipta kerja. Karena satu satunya cara bayar utang tanpa terjebak dengan skema bayar utang pakai utang ya pajak. Pajak itu berasal dari investasi swasta. Dengan adanya investasi maka sektor usaha bergerak, pajak mengalir. Kita bisa bayar utang dari surplus pajak. Nah ini tugas presiden berikutnya. Memastikan debt trap ini dapat diatasi. Kalau tidak mau ya terpaksa kita tergantung kepada luar negeri kepada orang asing dan kedaulatan kita tergadai.
Melihat kondisi ini yang berhubungan dengan keadaan utang negara, apakah bisa memenuhi kriteria mendesak, kegentingan yang memaksa pemerintah untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja ?
Referensi:
Sumber Gambar :
https://katadata.co.id/ira/berita/63b13539b6f85/isi-lengkap-perppu-cipta-kerja-berdampak-pada-75-undang-undang