Yang Asing & Yang Tak Terengkuh & Yang Bising

profile picture RamadhanEga_

Manusia cenderung takut tentang segala hal yang berbau asing. Dan naluri itu telah terbentuk selama berjuta-juta tahun, agar kita senantiasa mengambil jeda pada sesuatu yang tak pasti. Semata-mata demi bertahan hidup.

Ketakutan pada yang asing itu layaknya ketakutan akan gelap yang mendekap, di malam dingin hutan larangan yang mengandung seribu satu wajah kengerian. Karena di sana bisa saja bersemayam seekor monster raksasa, atau hantu, atau entah, yang bisa mengancam kelangsungan hidup, dan menerkam di saat lengah.

Dengan begitu, manusia juga tak mampu terbelenggu pada segala macam rasa tidak tahu. Karena ‘ketidaktahuan’, pada dasarnya berdiri pada wilayah yang asing. Dan, seperti hutan terlarang yang gelap di petang yang lengang, manusia—dengan segala cara—sebisa mungkin akan menghindari.

Itulah mengapa kita mencipta mitos, mencari ramalan, atau berpegang erat pada iman. Tak lain, agar yang asing sejenak mampu kita taklukkan. Karena hanya dengan narasi-narasi itulah, kita memiliki lentera untuk menyusuri lorong-lorong gelap keterasingan.

Entah dimungkiri atau pun tidak, segala macam iman—baik itu mitos, konspirasi, atau apa pun yang dipercayai tanpa bisa dibuktikan—memang lahir dari rahim yang asing. Dari dunia-yang-entah. Sesuatu yang sama sekali tak terengkuh kalkulasi pikiran, dan tak terjamah jelajah pemahaman.

Memang, segala rupa kepercayaan, muncul di tengah-tengah kita sebagai jalan pintas paling singkat dan mudah untuk terbebas dari yang asing. Sebab kita tak perlu terikat metodologi ilmiah, tak perlu sekolah tinggi-tinggi, dan tak perlu ilmu yang mencukupi. Kita hanya butuh imajinasi yang mumpuni demi meracik kata-kata dan menautkan informasi yang sekilas tampak terkait. Bahwa ada segelintir orang yang mengatur segala gerak kehidupan bernama elite global. Bahwa ada penganut suatu agama yang berniat hati ingin menguasai dunia. Bahwa setiap orang di tampuk kekuasaan punya rahasia besar yang disembunyikan di laci meja. Dst.

Meskipun kita sadar, bahwa percaya dengan takhayul hanya akan meninabobokan nalar, atau malah membunuhnya. Tetapi, mengimani imajinasi membawa kita pada suatu kenikmatan tersendiri. Seolah menuntun kita pada permainan “detektif-detektifan”. Ada semacam kegembiraan jika apa yang kita asumsikan ternyata benar. Atau minimal, asumsi kita didukung orang. Ya, barangkali “kegembiraan” itulah yang membuat konspirasi bisa terus bermunculan dan tetap laku di pasaran. 

Karena "ketakseimbangan", bagaimanapun juga, harus ada kambing hitamnya. Supaya kita bisa tahu siapa yang harus disalahkan atas semua problema yang sedang menimpa. 

Bagi mereka yang enggan berumit-rumitan, mengarang dan asal tunjuk ke lain orang adalah jawaban. Tentu saja, pantang menunjuk ke diri sendiri; semua tetiba berebut ingin mendaku sebagai korban.

Oleh sebabnya, di daerah dengan kualitas pendidikan yang rendah (?), kita temui jari-jari saling menunjuk, lalu penuh sesaklah udara dengan sumpah-serapah, caci-maki, dan narasi-narasi konspirasi. Semua demi kekalahan yang diakibatkan oleh ulah sendiri tak begitu terasa menyakitkan lagi.

Meskipun, pada akhirnya, narasi-narasi yang lahir di benak orang banyak itu, tetap tidak akan mampu benar-benar menghapus garis pembatas yang tegas, dan jeda yang terbentang panjang, antara kita dan yang asing

Namun, dengan narasi-narasi yang dipercayai itu, setidaknya kita bisa merasa tenang, sebab ada penjelasan atas sebuah fenomena yang membuat kita merasa aman. Setidaknya, aman dari kejaran yang asing.

Tapi masalahnya justru ada di sana. Kebutuhan akan rasa aman itu malah mewujud menjadi kebisingan yang bersahut-sahut. Sebab masing-masing mulut saling berebut ingin didengar dan disambut. Tak jarang, yang berpendidikan tinggi pun turut serta bersuara sumbang. Tetapi yang menang dalam gelanggang sering kali yang menggelitik kewarasan. 

Pandemi Covid-19 adalah contoh nyatanya. Saat di mana kepanikan sedang melanda dunia, orang malah sibuk mengaitkan antara virus dan pancaran sinyal 5G, antara vaksin dan microchip milik Bill Gates, antara pandemi dan akal-akalan elite global, dst.

Kita bisa menebak bagaimana dampak dari semerawut isi kepala yang berhamburan di muka media. Media pun seperti gemuruh yang riuh-redam dengan informasi yang saling sikut dan menendang. Membuka portal berita, sama seperti membuka kotak pandora, sehingga yang waras ikut terhasut dan tersesat dalam kemelut yang tak pernah surut. 

Masyarakat yang sedang kacau akibat perekonomiannya berdiri di ambang batas kehancuran jadi semakin bingung. Teori dari para pakar yang ndakik-ndakik dan mengawang terlalu tinggi begitu rumit untuk diurai. Berbanding terbalik dengan teori konspirasi yang sederhana dan langsung menghunjam ke inti permasalahan—bahwa penyebab fenomena A adalah ulah si B.

Tentu, jadi lebih banyak masyarakat yang mencari-cari teori konspirasi untuk pegangan, sebab pendapat para ahli begitu jauh dari genggaman.

Saya sendiri tidak mendukung segala jenis teori konspirasi—kecuali hanya untuk sekedar hiburan. Apalagi jika penganutnya begitu anti dengan diskusi untuk menguji kesahihan teorinya. Kita punya pengalaman pahit tentang teori konspirasi saat gonjang-ganjing 1965 dan saat menjelang reformasi 1998; lihatlah betapa ganasnya manusia saat itu hanya karena ingin mengejar rasa aman. Dan itu baru satu, dari sekian jumpa permasalahan.

Tetapi, di lain sisi, saya juga menaruh simpati. Sebab mereka yang meraba penjelasan kepada para “konspirator” sejatinya adalah orang-orang yang tersudut, yang terdepak, dan terpinggirkan. Kita yang mengaku ‘tercerahkan’ pun juga tak jarang memandang mereka dengan sinis dan dengan nada kesombongan. Seolah, sedang melihat kebodohan yang terpampang nyata dan tak akan lekang untuk disembuhkan.

Namun, sekali lagi, batasan antara yang benar-benar tercerahkan dan yang tidak juga saling kabur dan membaur. Jadi makin runyamlah masalah.

Ah, begitulah.
Berbicara konspirasi memang rumit dan pelik. Tak jelas pangkal-ujung dan tepinya. Seperti mengurai benang kusut yang menyangkut isi kepala yang carut-marut pula.

Sumber gambar: https://www.freepik.com/free-photo/person-reading-newspaper_27610482.htm#query=Surealis&position=36&from_view=search&track=sph

7 Agree 4 opinions
0 Disagree 0 opinions
7
0
profile picture

Written By RamadhanEga_

This statement referred from