Klaim Lingkungan Presiden Jokowi Di COP26, Fakta atau Retorika?

profile picture rafih

Belum lama ini telah terselenggara Conference of the Parties ke-26 (COP26) yang berlangsung di Glasgow, Skotlandia. Konferensi yang membahas isu iklim terbesar ini penting karena membahas komitmen negara di dunia terkait Perjanjian Paris, yaitu membatasi peningkatan suhu global atau pemanasan global tidak lebih dari 2 derajat celcius, peningkatan pendanaan aksi iklim, dan penyelesaian regulasi yang dibutuhkan untuk menerapkan Perjanjian Paris. 

Indonesia sebagai negara yang turut menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Paris pun tidak luput hadir dalam konferensi ini. Presiden Jokowi sebagai representasi negara Indonesia menyampaikan beberapa poin upaya dan rencana yang dilakukan pemerintah Indonesia untuk menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim.

Pemerintah mengklaim bahwa Indonesia telah melakukan berbagai upaya signifikan untuk menekan laju perubahan iklim dan pemanasan global, tetapi terdapat pula beberapa pihak yang menyangkal klaim tersebut.

Klaim pencapaian Indonesia yang disampaikan oleh Presiden Jokowi

Presiden Jokowi menyampaikan beberapa klaim pencapaian implementasi Perjanjian Paris di Indonesia berupa:

  1. Berhasil menurunkan tingkat deforestasi secara signifikan pada 2021 yang mana adalah yang terendah dalam 20 tahun terakhir;
  2. Mampu menurunkan laju kebakaran hutan dan lahan sebanyak 82%;
  3. Melakukan rehabilitasi 3 juta lahan kritis;
  4. Menargetkan carbon net sink pada sektor kehutanan yang semula menyumbang 60% emisi di Indonesia selambat-lambatnya pada tahun 2030;
  5. Melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu Ha selama tahun 2010-2019 dan ditargetkan hingga tahun 2024;
  6. Indonesia ditargetkan akan beralih dari sektor energi tradisional ke energi baru terbarukan dan perwujudan ekosistem mobil listrik; 
  7. Pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dan kawasan industri hijau;
  8. Pemanfaatan energi baru terbarukan termasuk bio fuel; dan
  9. Pemberian gagasan bahwa sebagai salah satu upaya penanganan isu perubahan iklim, carbon market dan carbon price harus diikutsertakan dan menjadi bagian dari upaya tersebut.

Pendapat kontra beberapa pihak yang menyampaikan fakta sebenarnya

Beberapa pihak, seperti aktivis lingkungan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Greenpeace Indonesia, menyangkal klaim Presiden Jokowi tersebut dengan beberapa fakta sebenarnya yang terjadi di lapangan sebagai berikut:

  1. Terkait isu penurunan laju kebakaran hutan dan lahan, pada tahun 2017 kebakaran hutan dan lahan dapat ditekan hingga 170 ribu Ha, sementara itu luas area lahan dan hutan yang terbakar pada 2020 mencapai 300 ribu Ha yang mana hal ini menunjukkan klaim penurunan tingkat kebakaran hutan dan lahan tidak benar. Selain itu pemerintah dianggap tidak melakukan upaya kebijakan apapun untuk menjaga dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, justru gangguan anomali fenomena La Nina yang menyebabkan hujan lebat lah yang lebih berperan dalam menurunkan laju kebakaran hutan dan lahan. Hal tersebut dibuktikan dengan masih adanya perusahaan yang masih membakar lahan terbuka di beberapa titik seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat pada tahun 2021 ini.
  2. Pada isu deforestasi, beberapa pihak berpendapat bahwa pada masa pemerintahan Presiden Jokowi tingkat deforestasi jauh lebih tinggi dibandingkan satu dekade yang lalu. Pada tahun 2011-2016 tercatat seluas 4,8 juta Ha lahan menjadi objek deforestasi di Indonesia. Sedangkan pada tahun 2003-2011 luas area deforestasi di Indonesia seluas 2,45 juta Ha lahan.
  3. Klaim bahwa pemerintah berhasil melakukan rehabilitasi 3 juta lahan kritis perlu dievaluasi kembali karena mengingat tingkat deforestasi yang meningkat pada satu dekade terakhir.
  4. Untuk mewujudkan target carbon net sink maka sudah waktunya untuk berhenti melakukan deforestasi dengan didukung oleh peraturan dan policy yang baik, yang mengakui hak atas tanah masyarakat hukum adat setempat, memberikan perlindungan secara total pada hutan, dan menghapuskan sistem deforestasi melalui rantai pasokan industri berbasis lahan.
  5. Dengan hutan mangrove seluas hampir 3 juta Ha yang mana merupakan 23% dari ekosistem mangrove di dunia, tetapi di Indonesia hampir setengah atau lebih ekosistem mangrove dalam situasi rusak. Rencana pemerintah untuk melakukan penanaman kembali hutan mangrove seluas 600.000 Ha di tahun 2024 cukup mengagumkan, tetapi jika dibandingkan luas hutan mangrove yang rusak di Indonesia yang telah mencapai setengahnya, maka hal tersebut tidak lagi menjadi suatu hal yang bisa dibanggakan.
  6. Pemanfaatan energi baru terbarukan berupa bio fuel memiliki konsekuensi bahwa tetap dibutuhkannya 9 juta Ha perkebunan kelapa sawit yang mana pembukaan dibutuhkan lahan baru tersebut dapat merusak ekosistem hutan di Indonesia. 
  7. Klaim pembangunan pembangkit listrik tenaga surya pun dianggap kontra dengan pernyataan bahwa Kementerian ESDM dan PLN tetap akan membangun 13,8 giga watt pembangkit listrik tenaga batu bara. 
  8. Rencana mobil listrik ini juga dapat menjadi hal yang mengancam kerusakan lingkungan karena di Pulau Sulawesi dan Papua sebagai reservoir cadangan nikel terancam menjadi ladang penghancuran lingkungan baru jika nantinya rencana mobil listrik ini tidak diterapkan dengan konsep transisi yang hati-hati.

Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Siti Nurbaya Bakar, bahwa Presiden Jokowi berpesan Indonesia tidak bekerja dengan retorika, tapi kerja nyata serta berkomitmen dan berjanji atas hal-hal yang secara realistis bisa dilakukan karena pemerintah tidak akan menjanjikan apa yang tidak bisa dikerjakan. Lalu setujukah anda dengan klaim pencapaian Presiden Jokowi dalam menekan laju pemanasan global dan perubahan iklim pada COP26 tersebut? Mari diskusikan!

2 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By rafih

This statement referred from