Media di Balik Covid-19: Anomali Komunikasi dan Banalitas Informasi di Era Post-Truth

profile picture Zann

Dewasa ini, kita akrab mengartikan media dalam konteks komunikasi sebagai sarana penyalur informasi. Term “media” sendiri muncul sejak puluhan tahun sebelum masehi pada zaman kekaisaran Romawi, yang mana pada saat itu masih dalam bentuk ukiran batu. Setelah itu, media berkembang dan beranak-pinak hingga saat ini menjadi yang kita kenal dengan “media massa” dan “media sosial”. Keduanya sama secara esensial, yaitu membantu manusia agar tetap hidup secara praktis lewat komunikasi. 

Baik media massa maupun media sosial, dapat dikatakan bahwa posisinya adalah jembatan antara sumber informasi dengan manusia (sebagai penerima informasi). Sedangkan perannya dalam konteks sosiologis, ialah sebagai alat untuk antar manusia saling bertukar informasi. Dari sini, jelas kita sepakat bahwasannya fungsi dari media tidak lain adalah menghasilkan kebajikan antar manusia lewat komunikasi. Dengan kata lain, informasi yang dipertukarkan lewat media haruslah mengandung kebenaran yang objektif, baik dari komunikator maupun komunikan. 

Di era covid-19, dunia penuh dengan aktivitas media massa maupun media sosial. Komunikasi yang dihasilkan pun beragama polanya, mulai dari perkara politik, ekonomi, konspirasi, bahkan sampai pada ranah teologi. Tetapi sebenarnya secara garis besar, semua itu ada pada satu titik, yakni keresahan masyarakat atas ketidakjelasan status pandemi covid-19. Itulah yang akhirnya masyarakat secara sadar ataupun tidak, lebih memperhatikan eksistensi dari sebuah media. 

Suasana genting yang dihadirkan oleh fenomena covid-19 tentu menyerang kondisi eksistensial manusia. Oleh karenanya, tak ayal jika media diposisikan sebagai salah satu jembatan masyarakat untuk setidaknya mengurangi kecemasan mereka. Para otoritas yang bergerak di bidang media, mau tidak mau akhirnya punya kewajiban moral lebih atas apa yang akan dilakukan. Kualitas komunikasi dan keabsahan informasi, menjadi poin yang harus dibangun sebijak mungkin agar mereduksi kondisi kecemasan eksistensial masyarakat. 

Akan tetapi, apakah semua prinsip moral itu terwujud dalam realitasnya? Steve Tesich punya tesis yang jernih untuk kita pakai dalam melihat ketidakjelasan status covid-19 dan permasalahan media. Tesisnya terkenal di abad ke-19 dengan istilah “post-truth”. Bertolak dari itu, artikel ini akan mengupas dan menunjukkan bahwa media dalam fenomena covid-19, ada semacam patologi yang saya sebut dengan anomali komunikasi dan banalitas informasi.

Diferensiasi Media

Media massa dan media sosial sudah tidak bisa lagi lepas di era sekarang. Meskipun keduanya secara esensial sama, tetapi keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Setidaknya ada dua perbedaan besar, yakni dari segi pola komunikasi dan legalitas. Media massa memiliki izin legalitas oleh pemerintah terkait pemberitaan dan publikasi. Sehingga apapun yang diterbitkan oleh media massa, masyarakat sudah tidak perlu lagi meragukan validitas informasinya. Hal itu yang kemudian membangun pola komunikasi yang disebut linier atau satu arah; fungsinya supaya tidak ada distorsi informasi dari berbagai pihak yang tidak berkompetensi. 

Berbeda ketika melihat media sosial. Selain tidak memiliki legalitas, pola komunikasi yang disediakan juga begitu kompleks. Saya lebih suka menyebut pola itu sebagai pola komunikasi anonim. Sebab, siapa saja boleh melakukan diskresi kepada komunikan tanpa peduli dengan kompetensi. Belum lagi, persoalan fitur sosial media seperti followers, yang membuat kualitas informasi terdistorsi karena sentimental pada informan berdasarkan jumlah followers, bukan pada substansi informasi. 

Paparan di atas merupakan diferensiasi media sebagai faktor terjadinya anomali komunikasi dan banalitas informasi. Mulai dari komunikasi yang seolah-olah mengangkat kebebasan manusia, justru mengakibatkan kemrosotan nilai dari komunikasi itu sendiri. Hingga akhirnya informasi yang seharusnya menjadi objektivasi, kian berubah menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting daripada objek sentimentalitas manusia. Inilah yang ada dalam tesis Steve Tesich mengenai era post-truth. 

Post-Truth, Covid-19 dan Moralitas Komunikasi

Istilah post-truth muncul sebelum fenomena covid-19, tepatnya di tahun 1992. Secara distingsi, istilah itu adalah penggambaran kondisi sosial “setelah kebenaran”. Di mana masyarakat sudah tidak lagi memandang fakta berdasarkan kebenaran objektif, tetapi lebih kepada subjektivitas mereka masing-masing. Akhirnya, apa yang disebut hoaks membuat bising dan kaos ruang publik, bahkan komunikasi yang kontraproduktif. 

Meskipun sekilas tidak ada hubungannya dengan covid-19, tetapi post-truth bisa menjadi titik tolak dalam melihat ketidakjelasan fenomena covid-19. Seperti yang ditulis oleh Dosen saya, Lukman Hakim di Detiknews, bahwa musuh terbesar di era covid-19 sebenarnya bukanlah virus covid, melainkan penyimpangan komunikasi dan banalitas informasi yang akhirnya mengakibatkan rasa cemas, panik, takut dan segala hal yang berkaitan dengan konspirasi. 

Tentu perihal hiruk-pikuk itu menyangkut moralitas. Di era post-turth dan digitalisasi ini tidak cukup jika hanya mengandalkan hal-hal teknis. Seperti yang dikatakan Prof. Dr. Fransisco Budi Hardiman dalam diskusinya dengan Pak Jaya di kanal YouTube-nya mengenai pemikiran Jurgen Hubermas, bahwa dunia komunikasi dan bahkan semua bidang keilmuan haruslah menerapkan diskursus tentang filsafat etika. Sebab, kata beliau, komunikasi sendiri secara ontologis merupakan penerapan etika yang primordial di era sekarang. 

Apa dan Bagaimana

Posisi dan peran media dalam mengatasi covid-19 sudah jelas bisa dilihat dari perspektif post-truth yang sebelumnya saya jelaskan, yakni bahwa posisinya bukan lagi jembatan informasi kepada masyarakat, melainkan jembatan sentimentalitas dari masyarakat ke masyarakat. Peran media sudah tidak lagi sebagai alat masyarakat dalam berkomunikasi, tetapi berbalik pada masyarakat yang dijadikan media sebagai alat untuk bereksistensi.

Sejauh era covid-19 ini ada, saya menganggap prinsip moral para otoritas media massa masih murni sebagai pihak yang profetik. Hal yang membuat semua itu seakan tidak murni adalah manusianya sendiri sebagai pihak yang tidak dapat mengkonstruksi informasi dari media massa secara objektif. Media sosial saya anggap adalah pihak yang secara pasif beroposisi atas hal itu, dan berperan atas kegaduhan dan anomali komunikasi di ruang publik. Sebab, bagaimanapun secara substantif, media sosial tidak memiliki karakteristik yang baik dibandingkan media massa dalam konteks pemberitaan dan kejernihan informasi.

Oleh karenanya, penting masyarakat kembali pada media massa. Tapi bukan berarti menghilangkan media sosial sebagai alat komunikasi. Antara media massa dan media sosial tetap kita pakai sebagai alat komunikasi dan sumber informasi pada konteks yang tepat. Media sosial sebagai alat yang punya fleksibilitas komunikasi, dan media massa sebagai pelindung atas distorsi yang disebabkan media sosial. 

Seperti kata filsuf Heidegger dalam buku Aku Klik maka Aku Ada, karya F. Budi Hardiman, bahwa di era digitalisasi dan post-truth manusia harus mengembalikan posisi alat sebagai alat. Dan, untuk itu, diskursus filsafat etika, khususnya pada bidang komunikasi menjadi salah satu solusi atas gegap gempita dunia komunikasi dan informasi.

Referensi

Suharyanto, C. E. 2019. Analisis Berita Hoaks di Era Post-Truth: Sebuah Review. Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi. 10 (2). hlm. 37-49.

News.detik.com (2020, 16 April). Meredam Stigma Corona. Diakses pada 31 Desember 2022, dari https://news.detik.com/kolom/d-4979149/meredam-stigma-corona

F. Budi Hardiman. 2021. Aku Klik maka Aku Ada. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius

4 Agree 4 opinions
0 Disagree 0 opinions
4
0
profile picture

Written By Zann

This statement referred from