Sambil Menyelam Cari Untung, Dari Covid Jadi Banyak Duit?
Pernahkah kamu menonton film Contagion (2011) lantas berpikir bahwa pandemi Covid-19 adalah sebuah fenomena yang sudah direncanakan?
Pasalnya, skenario yang diangkat pada alur film tersebut bahkan mendekati level yang akurat dengan kondisi aktual pada saat pandemi Covid-19 melanda. Kemiripan tersebut bahkan mulai dari asal muasal virus tercipta, proses dan media penularan, gejala serta bentuk upaya preventif dan kuratif yang sama.
Pada detail film tersebut juga menceritakan indikasi keterlibatan pemerintah dalam mencari keuntungan selama kondisi paranoid tersebut. Indikasi tersebut diceritakan oleh salah satu karakter bernama Alan Krumwiede yang merupakan seorang blogger dengan mengungkap kejanggalannya kepada publik lewat media sosial pribadinya
Film yang dirilis 11 tahun silam ini seakan dapat merepresentasikan kekacauan saat pandemi Covid-19 menyerang. Lantas apakah faktor kesengajaan pemerintah yang justru meraup keuntungan di kala kekacauan ini juga merepresentasikan kondisi aktual saat pandemi Covid-19 atau sekadar skenario belaka yang kebetulan sama?
Bisnis Vaksin?
Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Covid-19 semakin membuka tabir indikasi pejabat pemerintah yang berjaket kapitalis. Pasalnya, dalam peraturan tersebut secara gamblang menyebutkan bahwa adanya dual track (gratis dan berbayar bagi individu/perorangan) dalam pelaksanaan program vaksinasi terbaru. Hal ini lantas menimbulkan kontradiksi atas peraturan sebelumnya yang menyebutkan pendanaan program vaksinasi dibiayai total oleh badan hukum atau badan usaha. Ekonom senior Faisal Basri pun ikut mengomentari kebijakan ini dengan mengalkulasi keuntungan yang didapat oleh pemerintah mencapai Rp 17,2 triliun atas program vaksin gotong royong berbayar ini.
Pelaksanaan program vaksinasi berbayar tersebut tentunya akan berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan percepatan penanganan Covid-19. Vaksin yang notabene merupakan public goods yang ketersediaannya terbatas, jika diberlakukan penjualan pada sebagian dosis maka akan berpotensi menjadi penghambat program vaksinasi massal yang akan dilakukan secara cepat. Kebijakan tersebut menimbulkan ambiguitas dan paradoks atas komitmen pemerintah dalam menangani kasus penyebaran Covid-19.
Dalam konteks program vaksinasi berbayar, keterlibatan badan usaha milik negara (BUMN) sebagai salah satu aktor utama dalam pengadaan dosis vaksin Covid-19 ini seakan memunculkan peran ganda. Alih-alih pengadaan vaksinasi ditujukan untuk mencapai tingkat herd immunity lebih cepat, BUMN justru diberi mandat usaha vaksinasi berbayar. Hal ini tentunya memperlambat progres pemberian vaksinasi massal kepada seluruh masyarakat Indonesia juga menimbulkan polemik atas peran ganda BUMN yang diduga mencari ‘cuan’ dari pengadaan vaksin.
Selain itu, kasus pengadaan antigen bekas yang dilakukan oleh PT Kimia Farma Diagnostika semakin menguatkan adanya praktik bisnis di dalam pemerintahan dalam penanganan Covid-19. Perilaku bejat yang dilakukan sejumlah oknum badan usaha milik BUMN ini diperkirakan mendapatkan keuntungan senilai Rp 2,3 miliar.
Inkonsistensi pemerintah dalam mengatur kebijakan pengadaan vaksin ini lantas mengindikasikan adanya keterlibatan kuat aktor-aktor pemerintah yang ikut mencari untung dalam keadaan yang buntung. Rasanya banyak hal yang ditutup-tutupi terkait pengadaan vaksinasi ini mulai dari dugaan monopoli, transparansi perolehan harga yang sebenarnya diterima oleh importir, bahkan keterlibatan aktor-aktor penting negara yang ikut mencari 'cuan' di atas kondisi kepanikan.
Bisnis PCR?
Munculnya conflict of interest atas dugaan keterlibatan pejabat penting pemerintah dalam penentuan harga tes Polymerase Chain Reaction (PCR) mendapat reaksi dan kecaman dari masyarakat. Tuduhan terlontar kepada Menko Bidang Marves Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir. Keterlibatan Luhut dan Erick diketahui lewat kepemilikan sahamnya pada PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang berbisnis utama yaitu menyediakan tes PCR dan swab antigen. Hal tersebut lantas menimbulkan kecurigaan, pasalnya status Luhut yang merupakan Koordinator PPKM Darurat Jawa-Bali.
Biaya tes PCR pada awalnya berkisar hingga jutaan, sehingga berpotensi menimbulkan kesenjangan sosial. Pemerintah seakan menutup mata pada rakyat kecil dan lebih memandang kondisi struktur sosial.Namun, harga tes PCR semakin turun sejalan dengan digalakkannya protes masyarakat atas hal tersebut. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan nomor HK.02.02/I/2845/2021 Tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reserve Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), biaya tes PCR berkisar antara Rp 275 - 300 ribu.
Walau harganya semakin turun, tes PCR ditetapkan sebagai syarat yang wajib dipenuhi saat akan bepergian. Banyaknya orang yang bepergian membutuhkan tes PCR untuk sekadar validasi persyaratan yang diberikan. Kebijakan ini tentunya berpotensi menghadirkan keuntungan yang besar karena tes PCR merupakan hal yang wajib setiap ingin bepergian. Tes PCR memiliki durasi penggunaan, sehingga ketika kamu ingin bepergian dan masa aktif tes PCR telah usai, maka diwajibkan melakukannya kembali sebelum bepergian. Harganya memang sudah turun, tapi ketika hal ini diwajibkan maka masyarakat yang ingin bepergian harus merogoh kocek untuk melakukan tes PCR secara berkala.
Praktik perburuan rente selama pandemi Covid-19 setiap hari semakin terlihat jelas. Di tengah kondisi kepanikan ini, pemerintah seharusnya lebih aware terhadap komitmennya dalam menjaga segenap bangsa dan bukan untuk kepentingan bisnis. Headline-headline media massa banyak menyajikan kejanggalan yang menjamur atas penyalahgunaan kebijakan yang berlaku selama pandemi Covid-19. Bisnis vaksin dan PCR menjadi beberapa contoh skena yang menunjukan adanya kepentingan bisnis dalam tubuh pemerintah yang dengan sengaja meraup untung di tengah kondisi bangsa yang kurang beruntung.
Referensi:
CNN Indonesia. (2021). Kasus Antigen Bekas, Manajer PT Kimia Farma Dituntut 20 Tahun. Diakses Pada 31 Desember 2022, dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211215202827-12-734599/kasus-antigen-bekas-manajer-pt-kimia-farma-dituntut-20-tahun
ICW. (2021). Vaksin Berbayar Untuk Kepentingan Bisnis: Batalkan Vaksin Rente. Diakses Pada 31 Desember 2022, dari https://antikorupsi.org/id/article/vaksin-berbayar-untuk-kepentingan-bisnis-batalkan-vaksin-rente
Kompas. (2021). Profil PT GSI, Perusahaan Milik Luhut yang Berbisnis PCR. Diakses Pada 31 Desember 2022, dari https://money.kompas.com/read/2021/11/04/112243526/profil-pt-gsi-perusahaan-milik-luhut-yang-berbisnis-pcr?page=all
Roy. (2021). Faisal Basri Sebut Vaksin Bayar Bak Rente, Bisnis Super Cuan!. Diakses Pada 31 Desember 2022, dari https://www.cnbcindonesia.com/tech/20210713094846-37-260343/faisal-basri-sebut-vaksin-bayar-bak-rente-bisnis-super-cuan