Refleksi Kebijakan Lockdown Saat Kasus Covid-19 Meningkat di Indonesia. Akankah Kembali Terulang?
Sila ke-5 Pancasila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menjadi landasan filosofis konsep keseimbangan antara hak yang seharusnya diterima dan kewajiban yang sepatutnya dilaksanakan dalam kehidupan bernegara. Negara memiliki tanggung jawab untuk melindungi dan memenuhi hak-hak dasar warga negara sesuai amanah Pasal 28I Ayat (4) UUD NRI 1945 bahwa “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah."
Sebagai salah satu negara terdampak krisis kesehatan dan ekonomi global akibat pandemi Covid-19 pemerintah pernah mengeluarkan sejumlah kebijakan guna pencegahan dan pengendalian penyebaran kasus di wilayah Indonesia. Lockdwon atau karantina ketat menjadi salah satu keputusan yang kerap kali di perbincangan di ruang publik.
Menarik untuk membahas dari awal tentang alasan pengambilan kebijakan lockdown saat itu karena melihat praktik negara-negara di dunia seperti Tiongkok, Australia, Selandia Baru dan lainnya yang telah berhasil mengendalikan kasus aktif Covid-19 dengan penerapan lockdown. Baiklah, jika memang indikatornya jelas tentu saja akan menghasilkan progress yang sama. Namun sayangnya yang perlu dikritisi disini adalah pertimbangan efektivitas kebijakan lockdown itu sendiri rasanya tidak diperhatikan dengan seksama.
Dalam UU No.6 Tahun 2018 secara jelas disampaikan bahwa efektivitas lockdown dikaitkan pada kelompok pendapatan, kepercayaan politik regional, kepatuhan serta kesiapan negara, sosial ekonomi faktor dan nilai suatu negara. Selanjutnya untuk mencapai penerapan yang efektif lockdown harus ketat dan singkat (Haug et all. 2020).
Piter Abadullah, ekonom dan Direktur Center of Reform on Economics (CORE) mengatakan bahwa Karantina Wilayah (Lockdown) seharusnya dilakukan di awal pandemi. Tepatnya ketika kasus masih sangat sedikit dan masih terkonsentrasi (Lidya Yuniartha, 2021). Karena jika dilakukan saat kasus meningkat berimplikasi pada tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah apalagi jika kasus meningkat di banyak wilayah. Sedangkan Bank Dunia telah menurunkan status Indonesia dari negara berpendapatan menengah-atas menjadi menengah-bawah karena Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita Indonesia turun dari 4.050 US Dollar pada 2019 menjadi 3.870 US Dollar pada 2020 akibat kegagalan penanganan krisi kesehatan diawal penyebaran Covid-19 terjadi (Annur, Mutia Condy, 2020). Jadi memilih lockdown bukan solusi jika ditinjau dari kesiapan ekonomi negara.
Selanjutnya, ketidakjelasan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam penerapan lockdown sering terjadi karena ada sejumlah wilayah yang saat itu kasus covid nya tinggi. Mempertimbangkan sumber daya manusia yang minim untuk kebutuhan petugas pelaksana Karantina Wilayah (Lockdown) menguatkan argumentasi bahwa kebijakan tersebut tidak relevan untuk dilakukan saat kasus meningkat.
Terakhir, fenomena panic buying atau over consumption menjadi dampak yang krusial. Saat masa awal covid-19 menyebar di Indonesia ada sangat banyak oknum yang panik dan memilih menyetok kebutuhan jangka panjang mereka/ Menurut Enny Sri Hararti, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), panic buying terjadi karena informasi yang diterima tidak sempurna atau menyeluruh (Chadiza, 2020)'.
Dari fakta yang pernah terjadi sejak periode 2019-2022 lalu, dengan munculnya penerapan lockdown dibeberapa daerah saat kasus meningkat sebenarnya menunjukkan kurang relevannya pilihan kebijakan pemerintah. Terlepas dari analisis yang seperti apa yang telah diupayakan oleh pemerintah, namun seharusnya kebijakan itu diambil lebih awal. Harapannya jika kedepan ada krisis yang terjadi, kita sama-sama dapat lebih bijak dalam memutuskan kebijakan yang akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap bangsa.