Labirin Informasi di Masa Pandemi Covid-19: Membuat Tersesat?
Dunia dilanda virus hebat yang memakan banyak jiwa–COVID 19. Peristiwa ini adalah salah satu tragedi kelam yang pada faktanya bukan ada untuk menakut-nakuti. Bahkan sampai hari ini, belum sepenuhnya berakhir. Turut berduka cita atas kematian umat manusia yang diakibatkan oleh COVID-19. Bagi sebagian insan yang kehilangan orang terdekatnya dikarenakan COVID-19, mungkin beranggapan bahwa dunia tidak adil. Luapan emosi yang mengekspresikan diri mungkin tak terbendung sesekali. Ditambah lagi dengan banyaknya labirin informasi, bisa tersesat kalau tidak berhati-hati.
Kemajuan teknologi semakin menyusup masuk dalam segala aspek kehidupan di masa kini. Dampaknya banyak positif, tak sedikit pula negatif. Salah satu dampak positifnya, kita dapat mengakses informasi begitu mudah. Di masa-masa memuncaknya korban yang terkena COVID-19, segala macam informasi yang didapatkan dari teknologi sangat-sangat berperan penting bagi manusia. Akan tetapi, kadangkala ternyata informasi yang diterima belum sepenuhnya tepat, malahan membuat tersesat. Mengapa bisa demikian?
Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dra. Mariam F Barata MI.Kom mengatakan hingga Juni 2020 setidaknya ada 850 kabar bohong atau hoaks terkait COVID-19. Kabar bohong tersebut seperti kompensasi yang diterima masyarakat akibat pandemi COVID-19, maupun menghirup uap panas yang disebut bisa membunuh COVID-19. Kabar bohong ini biasanya disebarkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Alasan mereka melakukan ini tentu tidak sebanding dengan masa pandemi yang membuat semua orang ketakutan.
Setiap harinya, kata Mariam, rata-rata 6,2 dibuat dan disebarkan. Hal itu menimbulkan ketakutan, ketidakpastian, bahkan kepanikan di tengah masyarakat. Sebanyak 104 pelaku penyebaran hoaks tersebut telah ditindaklanjuti pihak kepolisian. Menurut penulis, dalam menyebarkan hoaks, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab itu pasti menyalahgunakan peran teknologi.
Biasanya, berita-berita hoaks ini tersebar melalui media sosial. Entah itu WhatsApp, Facebook, Instagram, TikTok, dan sebagainya. Bukti dari penulis sendiri, misalnya, di grup WhatsApp keluarga. Begitu banyak anggota keluarga yang menyebarkan informasi hoaks di masa pandemi yang tentu berhubungan dengan COVID-19. Biasanya informasi ini kemudian semakin tersebar luas lagi ke anak-anaknya, lalu kemudian semakin menjadi omongan di masyarakat.
Dalam mengatasi masalah tersebut, menurut penulis, pihak yang berwajib pasti sudah banyak bekerja untuk mencari dan menangkap dalang pelaku yang menyebarkan berita hoaks. Padahal, mencari dalangnya itu tidak mudah. Ini terbukti karena bisa jadi “pelaku” pun menyebarkan informasi yang dia dapat dari mulut ke mulut orang lain.
Seiring dengan terus berkembangnya teknologi serta maraknya COVID-19, seharusnya edukasi-edukasi untuk menanggulangi informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya ini, tetap sejalan dengan kefokusan berbagai pihak dalam mengurangi angka korban COVID-19. Tentu tidak ada yang bisa memastikan siapa pengguna media sosial daring. Buktinya, tidak hanya remaja, bahkan anak kecil hingga orang tua pun bisa menggunakan media sosial daring tersebut. Sehingga, tentu menyemarakkan edukasi-edukasi ini tidak dapat dipastikan tersebar secara merata.
Lalu, yang paling penting dalam artikel ini adalah sebuah refleksi. Bahwa begitu banyak berita yang tersebar dan bersifat “bohong” pada masa pandemi. Refleksi ini bisa dilakukan dengan sebuah pendekatan. Pendekatan ini dengan cara menanyakan lagi, “Siapa kita?” Apakah kita seorang jurnalis, orang tua, anak, pelajar, atau pendidik? Jika kita seorang jurnalis sejati, maka harus ada etika dalam membuat sebuah informasi, kita tidak boleh membuat informasi yang tidak benar/hoaks. Jika kita orang tua, maka kita harus memastikan terlebih dahulu informasi yang kita dapatkan sebelum menyebarluaskannya. Begitu pula ketika kita seorang anak, pelajar, atau pendidik.
Munculnya COVID-19 sudah merusak segala sendi kehidupan. Entah itu dalam bidang pendidikan yang kian merosot, bidang kesehatan yang kualahan mencari obat, mental yang rusak, ekonomi yang terporak-porandakan, dan masih banyak lagi. Seharusnya kita tidak menambah lagi kerusakan itu dengan menyebarluaskan informasi-informasi bohong yang memicu ketakutan, panik, dan memecah-belah. Kebanyakan informasi terkadang membuat orang bingung hingga menimbulkan kesesatan dalam pola pikir, cara pandang, perubahan perilaku–sehingga berdampak pada substansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kemajuan dan ragam media interaksi daring yang dimiliki oleh masyarakat dapat menyebabkan masyarakat menghadapi efek hoaks sebagai akibat dari sumbatan komunikasi yang terjadi. Sumbatan komunikasi ini disebabkan oleh perkembangan teknologi komunikasi yang tidak bisa dikontrol lagi. Pemerintah sudah berusaha fokus dalam menanggulangi banyaknya informasi hoaks yang tersebar. Hal ini terbukti dengan ditutupnya akses tautan konten atau akun yang terindikasi menyebarkan hoaks, bekerja sama dengan penyedia platform digital untuk menutup akun, serta membatasi akses terhadap sebagian fitur platform digital atau berbagi file.
Syukurnya kita dapat bebas berekspresi, tetapi penulis ‘agak’ heran dengan sikap sebagian ‘oknum-oknum’ yang selalu mengambil kesempatan untuk menyalahkan pemerintah dalam segala hal. Biasanya ini dipacu oleh pola pikir yang belum ‘matang’. Maka dari itu perlulah kita waspada dan selalu mencari kebenaran pada setiap informasi yang kita terima. Lalu, refleksikan kembali dalam diri sendiri itu juga penting; supaya tidak tersesat. Tetap ingat, bahwa apa-apa yang kita tulis di media daring ini dapat diakses oleh siapa saja, sehingga penting untuk kita menyebarkan informasi yang jelas-jelas saja.
.
.
Kutipan: Barata, 2020. dalam: 19https://www.kominfo.go.id/content/detail/27755/kominfo-hingga-juni-terdapat-850-hoaks-terkait-covid-19/0/sorotan_media diakses 27 Desember 2022.
Gambar: Website KOMINFO