Anomali Patogen Covid-19 dan Warning Ekologi
Jika kita mengecek ponsel kita lalu menulis di kolom pencarian tentang kasus kematian yang terkonfirmasi akibat covid-19 dari sejak saat pandemi dimulai hingga sekarang diseluruh dunia, maka mesin pencari otomatis itu akan menunjukkan diagram data dan jumlah angka yang lumayan fantastis, yaitu total meninggal 6,68 juta jiwa dari total kasus 658 juta (dengan catatan per tanggal 22 Desember 2022). Dan angka itu bukanlah tetap, ia berpotensi naik jika total kasusnya ikut bertambah. Tentu itu bukanlah angka yang tidak sedikit apalagi mengingat pandemi ini sudah memiliki rotasi waktu hampir tiga tahun.
Pada saat WHO atau world Health Organization menetapkan Corona virus Disease 2019 atau Covid-19 sebagai pandemi, reaksi penduduk dunia saat itu tentulah cukup panik, dan jauh sebelum keputusan WHO tersebut, saat ketika sedang ramai-ramainya berita mengenai wabah yang dikabarkan berasal dari Wuhan itu, para warga bumi dibuat kejut oleh berita tersebut. Mereka memiliki tiga spekulasi yaitu antara yang percaya, yang tidak sama sekali, dan yang merasa masa bodoh. Alias pesimistik. Mereka yang merasa masa bodoh cenderung beranggapan bahwa virusnya ada tetapi mereka bertindak seolah-olah tidak ada.
Akibatnya dunia informasi digital seperti sosial media dibanjiri oleh berita-berita yang saling bertentangan antara ketiga spekulasi tersebut, sehingga menyebabkan ruang-ruang opini yang bersifat konspiratif kian menyebar membanjiri ranah media sosial. Beberapa diantaranya banyak yang mengkambing hitamkan media mainstream dan tenaga kesehatan sebagai antek komunis hingga propaganda dari elit. Contohnya peristiwa di AS. Saat itu, pusat pengendalian penyakit menular (CDC) As, mendesak pemerintah federal untuk memberlakukan protokol pencegahan penularan secara ketat. Meskipun sempat ada pembatasan sosial berskala besar di As, kebijakan rupanya pada waktu itu dijalankan secara acuh tak acuh oleh warganya. Bahkan beberapa ada yang berunjuk rasa menuntut pemerintah untuk mencabut PSBB.
Aksi ini juga didukung oleh cuitan twetter presiden As yang menganggap bahwa tindakan mereka heroik. Mereka pun berhimpun membuat kerumunan tanpa mengindahkan protokol kesehatan. Bahkan mereka sempat menghardik gubernur dan petugas kesehatan yang mengenakan masker wajah sebagai penipu.
Alhasil, setelah kejadian tersebut tercatat lebih dari tiga juta kasus positif dan ratusan ribu kematian akibat covid diseluruh Amerika serikat. Hal yang sama terjadi di kongregasi greja Shincheonji di kota Daegu Korea Selatan dan peserta Ijtimaj Asia Jamaat tabligh di Sri Petaling Malaysia. Mereka berkerumun dan tak mengindahkan protokol kesehatan yang berakibat ratusan peserta terinfeksi virus. Kemudian setelahnya sebaran virus rupanya bukan hanya menginfeksi para peserta-peserta tersebut melainkan yang bukan peserta dikabarkan juga ikut terjangkit. Sampai April 2020, jumlah yang terinfeksi besarannya berasal dari kedua wilayah tersebut.
Pada awal tahun 2021, saya mendengarkan teman saya yang berpendapat seperti ini. “Menurutku, saya sangatlah tidak percaya vaksin. Vaksin itu hanyalah akal-akalan segelintir elit untuk mendulang keuntungan yang sebesar-besarnya. Dan covid ini hanyalah flu biasa, jadi bersikaplah seperti biasa maka keadaan akan baik-baik saja. Dan menurutku itu hanyalah over reaction orang-orang saja yang membuat covid ini sedemikian menakutkan hingga keberlangsungan pisikologis mereka pun menerima ketakutan itu sebagai penyakit yang ngeri. Tetapi, jika kita bertindak sebaliknya maka, nothing scared happened.”
Pada waktu itu teman saya lebih mempercayai teori konspirasi covid ketimbang kenyataan yang dihadapkan dunia. Ia menilai bahwa konspirasi covid sangat bisa menjelaskan tentang hal-hal yang janggal yang terdapat dalam wabah ini. Dan wabah inipun menurutnya sengaja disetting oleh oknum tertentu, agar dapat lebih mudah melakukan kontrol terhadap populasi didunia serta mempertebal kantong mereka.
Dan ternyata orang yang berpikiran serupa sepertinya bukan cuma teman saya seorang. Hal ini dibuktikan oleh banyak pengakuan warga di India bahwa mereka beranggapan tentang covid yang memang tidak ada, serta mereka lebih percaya konspirasinya ketimbang penyakitnya. Hingga mereka pun hidup seperti biasa, tanpa menjaga jarak memakai masker dan memperhatikan protokol kesehatan lainnya. Bahkan mereka sampai mengadakan banyak acara, salah-satunya upacara keagamaan seperti layaknya tidak ada covid. Sehingga hal ini menyebabkan banyak kerumunan di India.
Alhasil, akibatnya dampak dari situasi ini membuat negara seperti India bagaikan mimpi buruk. Kasus terinfeksi Covid-19 meningkat drastis, bahkan sempat dikabarkan mereka disana sangat kekurangan oksigen “Virus ini menelan kota kami seperti monster,” kata Mamtesh Sharma, seorang pejabat setempat dikutip dari Aljazeera (2021). Hal ini juga yang menimbulkan ironi baru, yaitu sebuah negara seperti India yang katanya menjadi salah satu penghasil vaksin tercepat tetapi tingkat kepercayaan masyarakatnya terhadap vaksin sangatlah rendah. Dan alasan yang tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa sebagian dari mereka masih mempercayai konspirasi ketimbang kenyataannya.
Peristiwa dan sikap diatas menurut saya adalah contoh bagaimana konspirasi menghancurkan India. Kurangnya kepercayaan terhadap Institusi, pemerintah dan organisasi yang bertanggung jawab adalah ironi yang dihasilkan oleh masyarakat India hingga menjadi seperti mimpi buruk. Bagaimana sebuah keputusan, tindakan, dan kepercayaan semua dipertaruhkan demi sebuah keyakinan yang cenderung fiktif.
Fenomena konspirasi Covid-19 adalah bukti bahwa selama wabah ini kita sedang mempertaruhkan nyawa orang banyak kedalam informasi yang kita yakini, akan tetapi jika informasi yang saya, kamu dan kita yakini berbanding terbalik dengan informasi yang mereka yakini hingga kemudian membentuk persekongkolan baru dan rantai yang sama terjadi di beberapa tempat hingga menyebar keseluruh dunia. Dan akhirnya membuat wabahnya semakin menggila. Saya kira itulah yang terjadi di India kurang lebih.
Didunia yang dibanjiri oleh informasi menurut saya sangatlah gampang untuk melihat orang yang secara mudah terpolarisasi oleh aliran informasi yang bersebrangan. Dan mereka tersebar dimana-mana diseluruh dunia. Bahkan jejak digital merekam itu. Saat kita sadar terkait hal ini, kita tidak bisa menghakimi mereka sebagai seseorang yang bodoh dan keliru atau semacamnya melainkan kita harus menerima bahwa kenyataannya setiap individu lebih suka mengkonsumsi hal-hal yang praktis dan menguntungkan ketimbang mendengarkan mereka yang berbicara di televisi dengan menyebutkan istilah-istilah yang samasekali tabu. Meskipun itu berbanding terbalik dengan kenyataan sebenarnya.
Contohnya peristiwa dikampung, dikediaman saya Cianjur. Para warga waktu itu mereka lebih memilih menilai wabah ini melalui pendekatan eskatologi atau kondisi situasional akhir zaman sebagai kesiapan daripada dari segi medisnya. Alih-alih mereka mematuhi protokol kesehatan dan menjalankan PSBB, mereka malah bertindak sebaliknya dan menilai bahwa ini adalah salah satu gejala kezaliman hingga membuat mereka menghiraukan kebijakan pemerintah tersebut. Alhasil akibatnya banyak sekali yang terinfeksi bahkan ada yang sampai meninggal yang memberikan teguran keras terkait sikap abai mereka. Tidaklah salah jika kita memahami ini sebagai tanda akhir zaman, tetapi cara kita menghadapi wabah sangatlah keliru Jika kita mengabaikan anjuran kesehatan. Bukankah seperti itu?
Warga memilih menilai melalui pendekatan tanda akhir zaman, ketimbang sisi medis, karena informasi yang mereka percayai dan yakini adanya disitu, jadi hal itu membuat mudah mereka untuk mengambil suatu premis dan keputusan tanpa pikir panjang. Kepraktisan mereka dibuktikan oleh sesuatu yang lebih mudah dan sudah lama mereka pahami daripada sesuatu yang baru. Makanya jangan heran jika kita melihat banyak sekali kasus didaerah-daerah di Indonesia yang para warganya lebih memilih mendengar arahan tokoh masyarakat setempat atau tokoh konservatifnya mereka ketimbang orang-orang di televisi. saat dunia yang dibanjiri oleh informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan. Secara teori, mungkin siapapun bisa bergabung dengan perdebatan tentang wabah ini. Dan siapapun dapat mendiagnosis era wabah ini sebagai sesuatu yang menurut mereka apa dan akan seperti apa.
Sebagai awam, kita melihat virus dan wabah sebagai sesuatu yang tidak terlihat dan tidak ada secara kasat mata, namun ia adalah mahkluk mikroorganisme yang jika bersarang ditubuh manusia sangatlah berbahaya. Akan tetapi yang perlu kita ketahui adalah bahwa secara sains; virus, tubuh manusia dan interaksi keduanya dalam hal ini proses infeksi, merupakan sepenuhnya peristiwa biomedis. Yang hanya virolog dan dokter spesialis paru-paru saja yang berwenang soal ini. Aspek biomedis ini bersifat universal, artinya virus tak pilih-pilih tubuh.
Mungkin hal paling bersifat klimaks terkait berlangsungnya wabah covid-19 ini yang bisa kita tarik garis lurusnya adalah; masa-masa kepanikan. Peristiwa-peristiwa diatas tadi telah memberikan gambaran yang jelas bahwa bagaimana banyak sekali warga didunia sedang mempertaruhkan dirinya dan orang disekitarnya terhadap informasi yang dia yakini. Dan biar sejarah yang merekam tentang siapa yang keliru.
Di paragraf selanjutnya saya akan menceritakan, bagaimana wabah ini bukan hanya peristiwa biomedis semata serta kepanikan yang dihasilkan oleh manusianya, tetapi juga tentang bagaimana jalannya sebuah virus tak kasat mata ini menginvansi manusia hingga mengakibatkan kasus kematian jutaan lebih manusia dibumi.
“Viruses where one of the first living things on Earth.”(Figur 4; Prangishvili et al. 2006). Virus adalah salah satu mikroorganisme yang paling tua dibumi, dia bahkan lebih dulu eksis daripada bakteri. Ia juga merupakan kehidupan seluler biokimia purba bersamaan dengan bakteri. Sebenarnya tampak jika dilihat sekilas, menurut para ahli biologi; virus dan bakteri hampir sama, yaitu sama-sama mahkluk mikroba. Namun jauh sebelum ditemukannya virus para ilmuwan pada masa itu mengira bahwa mahluk super kecil ini adalah bakteri. Tetapi setelah diteliti ternyata perbedaan keduanya adalah bahwa di virus secara ukuran dia lebih kecil dari bakteri dan virus tidak memiliki membran sel seperti layaknya bakteri. Dan inilah yang membedakan keduanya. Uniknya virus memiliki mantel protein yang melindungi materi genetiknya, baik DNA maupun RNA. Bukan pada sel atau nukleus seperti mahkluk hidup pada umumnya. Lalu ada juga hal lain yang membedakan antara keduanya yaitu, cara mereka berkembang biak dan menjalani kehidupan.
Tahukah kalian, saat menjalani kehidupan, bakteri mampu dapat hidup secara mandiri walaupun dipermukaan benda mati sekalipun. Sedangkan virus memerlukan sel inang dari mahkluk hidup. Tanpa sel hidup virus tidak akan berkembang, tidak bergerak dan seperti benda mati. Namun ia tahan sebagai benda mati. Sebab nantinya ketika ia bertemu sel hidup ia akan hidup kembali dan hal ini yang membuat virus sulit dikendalikan.
Pada saat berkembang biak, bakteri mempunyai kemampuan untuk memperbanyak diri, dan salah satu caranya adalah dengan membelah diri. Sementara virus, ia berkembang biak dengan cara membajak sel hidup, lalu saat virus masuk kedalam sel tersebut, ia akan menyalurkan materi genetiknya dan nantinya sel itu akan terbajak sehingga menjadi memproduksi lebih banyak virus yang membajaknya. Singkatnya, mahluk hidup seperti virus adalah mahluk pembajak. Dan itulah satu-satunya tujuan mereka.
SARS-COV-2, yaitu nama resmi dari virus Covid-19 merupakan satu keluarga dari coronavirus (SARS-COV) 2002 yang dikenal dengan sebutan sindrom pernapasan akut. SARS COV-2 atau covid-19 ini kependekan dari Corona virus disease 2019 yang merupakan keluarga besar virus dari morfologi bentuk bulat dengan tonjolan-tonjolan diseklilingnya. Ilmuwan menjuluki virus ini dengan sebutan mahkota hidup, karena virus tersebut dinamai berdasarkan durinya yang tampak seperti mahkota. Terminologi corona sendiri berasal dari bahasa latin yang berarti crown atau mahkota.
Virus ini menyebar melalui tetesan liur saat kita bersin, batuk, atau berbicara dan bisa masuk langsung melalui mata hidung atau mulut. Covid-19 juga dapat hidup dibanyak permukaan selama berjam-jam, sehingga bisa menempel ditangan orang dan menginfeksi diri saat mereka menyentuh wajah. Sebuah aktivitas yang biasa kita lakukan sebanyak dua puluh kali dalam sehari.
Dikutip dari film dokumenter Netflix ; The Corona Explained. “Saat virus masuk ke tubuh, duri yang super kecil itu bertindak sebagai kunci, mengunci banyak protein yang ditemukan diluar banyak sel manusia. Lalu setelah mereka mendobrak masuk, virus itu diperintahkan dirinya untuk menginvasi lebih banyak sel yang bisa menyebabkan demam, batuk, dan kelelahan.” Peristiwa Covid-19 dan manusia bagaikan peristiwa sebuah patogen yang sengaja mengibarkan bendera perang, untuk menginvasi tubuh manusia agar dapat bertahan hidup, sehingga keberlangsungan kolonisasinya membuat kita sebagai manusia menjadi resah dan terancam.
Namun, bagaimana jika kita selama ini menganggap bahwa pandemi Covid-19 adalah sebuah serangan dan perang atas musuh biomedis yang dihasilkan oleh patogen tersebut. Lalu kita melihat dari sisi sebaliknya yaitu dari pandangan mengenai bagaimana asbabunuzulnya atau asal muasalnya sesuatu yang kita anggap sebagai musuh kita ini. Mungkin bisa kita awali dengan melihat sedikit cerita tentang darimana mereka muncul, sejarah tentang keluarga mereka, dan bagaimana cara mereka hidup, hingga kenapa mereka memilih kita sebagai objek invasi mereka.
Perlu kita ketahui bahwa selama terjadinya pandemi ini, serangan yang kita hasilkan bukan hanya sekilas tentang krisis kesehatan saja. Tetapi juga, ia memiliki efek yang ganda yaitu, dari merambat ke krisis ekonomi, hingga pendidikan. Hal inilah yang menurut saya yang membuat faktor kesehatan kita diguncang bukan hanya melalui pisik saja, melainkan ia merancu pada faktor kesehatan pisikis. Sebab manusia bukan hanya terancam atas kondisi fisiknya mereka, tetapi juga mereka terancam atas kelangsungan hidupnya akan seperti apa dan menjadi apa jika pandemi ini terus terjadi. Mungkin tidak, diantara masing-masing kita punya prasaan dan bertanya seperti; apa aku akan kembali bekerja setelah ini? Apa kita akan kembali normal? Saat selama awal pandemi, terus terang saya sangat memiliki kekhawatiran yang sama. Didalam diri saya saya sering bertanya, apakah saya akan terpapar? Apa saya akan sakit? Bukan hanya itu, pertanyaan lain juga diluar daripada itu adalah, bagaimana kita berusaha menjaga kesehatan saat kita harus menjaga gaya hidup, sementara kita harus membayar sewa untuk menyambung kehidupan. Lalu bagaimana kita bisa fokus? Saya rasa diantara kita masing-masing punya kekhawatiran yang sama. Dan terlepas dari itu dari segala kekhawatiran dan kegelisahan, yang dipukul paling telak adalah mereka orang-orang kecil, yang kehidupannya hanya bergantung pada aktivitas diluar, serta memiliki pendapatan tidak tetap. Dan mungkin selama ini, serangan yang paling kita rasakan akibat covid adalah kekhawatiran dan kecemasan. Di paragraf-paragraf atas tadi sudah dijelaskan bahwa awal mula saat pertama kita mengalami serangan pandemi ini secara garis klimaksnya adalah kepanikan dan diikuti oleh kekhawatiran atau kecemasan.
Sebagai seseorang yang sangat percaya pada ilmu pengetahuan, secara personal saya adalah orang yang meyakini adanya sebab akibat, bahwa segala sesuatu yang terjadi didunia ini ada alasannya dan ada penjelasannya. Bukan terjadi tanpa sebab, semuanya dapat dijelaskan. Dan sarana prasarana yang dapat mengatasi itu adalah ilmu. Mungkin tulisan ini adalah bagian dari renungan saya saat kita menghadapi pandemi dan juga dibaliknya ada sesuatu yang lebih penting serta lebih mencemaskan dari sekedar pandemi belaka.
Tidak sedikit media yang menggunakan jargon “memerangi pandemi” sebagai salah satu langkah menerangkan dalam memberikan semangat serta upaya pencegahan kepada masyarakat. Namun hal inilah yang juga memicu saya untuk melakukan renungan terhadap pandemi itu sendiri.
Saat kita tahu bahwa kita sedang memerangi pandemi, pernahkah sekali kita sadar tentang bagaimana perang ini berawal? DAN SIAPA SEBENARNYA YANG MEMULAI PERANG?
Bila kita membaca ulang sejarah mengenai awal kelahiran dan pertumbuhan nenek moyang mahkluk seperti kita, kurang lebih sekitar satu setengah juta tahun lalu, genus Homo yang diberi nama Sapiens, yaitu spesies mahkluk seperti kita lahir (manusia). Tetapi Disamping kelahirannya tersebut diikuti oleh peristiwa-peristiwa alam yang mengguncangkan seluruh mahkluk hidup yang ada dibumi. Peristiwa tersebut seperti; Oxygen Holocaust, Letusan super vulkanik, meteor jatuh, kepunahan massal pertama, hingga kepunahan massal kedua, ketiga, zaman es, pemanasan global, zaman es mencair, kepunahan massal keempat, kelima, dan lahirlah Sapiens, yaitu kita.
Dikutip dari Anantaman, pradaban Sapiens yang baru saja usianya menginjak sekitar dua belas ribu tahun, sudah bertanggung jawab kiamatnya banyak sekali spesies mulai dari Sabertooth, Mammoth, dan Jaguar raksasa. Namun tahukah kalian, alasan kenapa Sapiens yang menjadi pemicu atas kepunahan-kepunahan banyaknya spesies tersebut?
Yaitu, karena pola migrasi Sapiens inilah yang membawa kepunahan kepada makhluk-makhluk hidup ditempat yang mereka baru jajaki, berawal dari berebut lahan berburu dan bertani dengan kerabat-kerabatnya seperti Neanderthal yang akhirnya spesies tersebut punah karena terus menerus tergusur oleh keberadaan Sapiens, lalu ada spesies-spesies lainnya yang juga mengalami kepunahan akibat Revolusi Kognitif dan Revolusi Pertanian yang dialami oleh Sapiens. Akibat revolusi pertanian inilah banyak spesies-spesies yang terputus rantai makanannya serta tergusur tempat tinggalnya.
Jika kita menganggap bahwa hewan-hewan purba pada zaman dahulu punah karena Perubahan Iklim sepenuhnya itu sangatlah salah, karena Sapiens berperan juga dalam kepunahan yang dialami hewan-hewan tersebut. Kepunahan-kepunahan ini terjadi saat para Sapiens (Pemburu) bermukim di pulau-pulau yang tersebar di bumi bahkan hingga yang terkecil. Alasan ini tentu kita dapat asumsikan tentang pradaban nenek moyang kita dulu sebagai bentuk Kolonisasi, demi untuk pemenuhan kebutuhan dan bertahan hidup.
Lalu setelah kita melihat sekilas tentang alur peristiwa revolusi kognitif pertanian nenek moyang, kita akan melompat ke pradaban Sapiens modern. Saya sadar, bahwa bentuk Kolonisasi rupanya sudah menjadi sifat general mahkluk hidup seperti Sapiens. Hal ini sudah dibuktikan oleh, bagaimana cara mereka berevolusi dan menjadi salah satu spesies yang terkuat di bumi. Sebab, kita mampu hidup berkelompok untuk menyatukan kekuatan dalam menjalani keberlangsungan hidup. Tetapi kolonisasi juga inilah yang telah memberikan kehancuran bagi spesies lain, juga terus menerus berjuang dari kiamat yang sering kali dibawa oleh mahluk lain. Oleh mahluk mikroorganisme lain. Seperti virus, bakteri, dan jamur.
Salah satu contoh yang paling jelas dicatat oleh sejarah adalah bangsa Maya dan bangsa Aztec. Menurut sejarah, bangsa Aztec selain takluk oleh proses kolonisasi bangsa Spanyol, mereka juga diserang wabah penyakit cacar, yang dibawa oleh bangsa Spanyol. Saat keterbatasan teknologi medis dan kurangnya ilmu kesehatan, mereka akhirnya banyak yang tewas. Dan sejak saat itu wabah cacar ini menghanguskan bangsa Aztec hingga menyebar luas ke berbagai tempat diwilayah benua Amerika.
Lalu selanjutnya Bangsa Maya. Menurut para ahli, banyak yang sepakat bahwa kepunahan mereka disebabkan oleh beberapa faktor, dari mulai faktor iklim dan juga lingkungan. Tetapi kasus kepunahan yang mereka miliki hampir serupa dengan bangsa Aztec, yaitu disebabkan oleh penyakit massal. Mereka mengalami toksitas masal yang berasal dari mineral cinnabar berwarna merah yang merupakan bentuk merkuri sulfida. Kemudian ditambah oleh bakteri Gangga hijau yang terdapat dipusat perairan sejenis waduk,. Yang juga menjadi pusat kebutuhan air bangsa Maya. Akibat proses toksitas itulah bangsa Maya menjadi memiliki banyak masalah kesehatan, hingga yang membawa mereka pada kematian-kematian.
Dari cerita diatas, rupanya Sapiens atau manusia, telah melewati banyak sekali ancaman khususnya ancaman biomedis, yang disebabkan oleh mahluk mikroorganisme yaitu seperti virus dan bakteri. Dan hal ini juga yang memberikan gambaran bahwa setiap manusia zaman dulu yang sudah berani mempreteli alam, atau melakukan kolonisasi terhadap wilayah yang baru, selalu memiliki konsekuensi. Era wabah ini juga bukan hanya terjadi pada bangsa Maya dan Aztec, melainkan terjadi pada kekaisaran Mesir, akibat penyakit wabah cacar sebagai duta kematian yang membunuh raja Mesir Ramses V. Lalu diikuti oleh zaman Yesus, yang membuat semua orang ketakutan oleh penyakit lepra atau kusta. Kemudian ada wabah Yustianus yaitu penyakit yang mempengaruhi Eropa di abad-abad mendatang yang disebabkan oleh bakteri yersinia pestis ditularkan oleh kutu dari hewan pengerat seperti tikus. Lalu satu lagi ada yang paling menakutkan yaitu, Black Death atau maut Hitam sekitar tahun 1347-1353. Bagaimana tidak, wabah ini menjadi duta kematian dari sekitar dua ratus juta manusia, yang merupakan hampir setengah populasi kita didunia waktu itu. Menurut sejarah peristiwa black death, adalah wabah terparah yang pernah terjadi di bumi. Tetapi semua itu bukanlah, penanda akhir dari segala ancaman wabah dan penyakit, melainkan ancaman-ancaman tersebut terus berlanjut hingga sejak saat era dunia modern dimulai sampai sekarang.
Sejak era dunia modern yang ditandai dengan sebutan revolusi industri, dunia sudah semakin maju yang diikuti oleh penemuan mesin uap. Namun berbagai ancaman dari virus juga bukan berarti tidak terhindarkan. Salah satu yang terkenal wabah pandemi sejak era revolusi industri dan perang dunia pertama ini adalah virus Influenza Spanyol atau dikenal juga dengan Flu Spanyol diawal-awal abad dua puluh. Virus tersebut merupakan wabah yang super masif yang pernah terjadi sejak era mesin uap tersebut hingga menelan korban sekitar 50 juta jiwa tahun 1918-1920.
Menurut buku yang berjudul The Great Influenza by John M Barry 2004 mengatakan bahwa, sudah menjadi karakter utama manusia saat ketika meremeh dan bersikap acuh tak acuh seolah-olah tak mengelakkan ketika mereka dihadapkan oleh Flu Spanyol seperti halnya kita saat ini, bahwa reaksi penduduk waktu itu menganggap flu ini hanya flu biasa dan sikap acuh tak acuh mereka yang membuat virus menyebar begitu cepat. Apalagi mengingat pandemi tersebut terjadi pada saat era perang dunia pertama yang dimana informasi mengenai wabah,, banyak terdistrupsi oleh berita-berita yang menyuarakan semangat perang. Berdasarkan penelitian Barry , bahwa sebetulnya asal muasal Flu Spanyol ini bukan seperti namanya, tetapi pandemi ini bermula disebuah kota kecil di Amerika yakni, Haskell, Kansas. Lorong Miner, seorang dokter di Haskell, mengabarkan adanya penyakit aneh yang tampak lebih parah dari sekedar influenza biasa ke media. Tapi hanya sedikit berita yang muncul, yang mana pada waktu itu hal tersebut disebabkan oleh keterlibatan Amerika dalam perang membuat media berfokus disitu. Karena disatu sisi mengingat adanya desakan dari pemerintah. Pelajaran yang dapat kita lihat disini adalah bahwa peran media mengingatkan kita kembali tentang betapa pentingnya ia dalam proses pengendalian wabah yang konteks paling krusial nya adalah ia dapat memberikan informasi termasuk bentuk-bentuk bahaya apa yang dapat kita hindari.
Tahukah kalian bahwa, virus ganas yang muncul diera modern seperti Influenza subtipe A yang adalah spesies virus yang berasal dari burung dan beberapa mamalia. Virus ini selalu dihubungkan dengan kelalawar, seperti virus SARS-COV-2 yang kini tengah jadi pandemi. Mamalia ini acap dianggap sebagai pembawa virus yang menularkan manusia.
Berdasarkan studi terbaru dari Cambridge university yang diterbitkan pada 7 April 2020 di jurnal Phylogenetic Networks atau PNAS yang berjudul SARS-COV-2 genomes mengatakan bahwa virus yang berada di China adalah Corona tipe A yang genomnya sama dengan kelalawar. Di Amerika dan Eropa, genom turunannya diduga tipe C sementara di Asia tipe B. Temuan ini menunjukkan bahwa adanya dugaan adaptasi yang kuat terkait virus serta mampu melakukan regenerasi dengan cepat.
Lalu temuan berikutnya dalam jurnal Biomedical Science and Engineering 2019 seorang ilmuwan sekaligus doktor insinyur yang bernama Tai-Jin Kim dari universitas Suwon Korea Selatan menjelaskan tentang hubungan antara penularan virus dengan jumlah emisi karbon diudara terkait tiga virus mematikan: flu Spanyol 1918, SARS 2002, dan Mers 2012. Ia menilisik terkait dugaannya hubungan antara virus dan jumlah emisi karbon. Menurutnya inang pembawa virus, bisa berbagai macam hewan, tetapi siklusnya dapat diprediksi dengan melacak keadaan alam. Ia menyimpulkan bahwa virus-virus itu menginfeksi manusia sesaat setelah jumlah bintik matahari bertambah, yang menunjukkan panas bumi meningkat. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa naiknya jumlah emisi karbon adalah disebabkan oleh aktivitas manusia sebagai penghasil polusi, seperti aktivitas uap pabrik, kendaraan, manufaktur, dan barang jasa yang dikonsumsi sehari-hari oleh manusia. Jumlah bintik matahari tadi disebabkan oleh naiknya ultraviolet yang dipicu oleh naiknya emisi akibat pembakaran dibumi. Proses ini kita menyebutnya pemanasan global yang berakibat pada kematian Ganggang laut di Polandia. Dan kematian ini menyebabkan koloni tiram merana kehilangan pakan. Mereka lalu dimakan burung laut yang berimigrasi ke lautan yang lebih teduh untuk berkembang biak dan mencari makanan. Dan dari sini virus menular. Saat Kate Jones menulis di jurnal Nature edisi 21 Februari 2008 menemukan bahwa selama 1940-2004 terdapat 335 jenis penyakit baru 72% berasal dari atau ditularkan dari satwa liar, yang kemudian berkenaan tepat pada periode tersebut, jumlah emisi memecahkan rekor dalam 800.000 tahun terakhir.
Kemudian ada John Vidal yang menulis di jurnal Scientific American edisi 18 Maret 2020 menceritakan kunjungannya ke Gabon, asal muasal virus Ebola. Ia lalu mendatangi Desa Maybout, yang merupakan kampung pertama penyebaran virus Ebola. Saat Vidal penasaran mengapa Maybout yang berada dikawasan hutan Tropis bisa menyimpan virus yang begitu ganas. Dan sesaat itu kemudian ia langsung mendapatkan jawabannya ketika berkano menyusuri sungai dalam hutan disana yang sudah rusak akibat bekas pembalakan dan penambangan emas. Dari penduduk Desa ia mendapatkan cerita bahwa orang pertama yang meninggal akibat Ebola adalah seorang anak yang pergi ke hutan memburu simpanse dan memakan dagingnya. Dan orang-orang yang turut memakannya juga meninggal akibat demam hebat. Daging simpanse itu lalu dikenal sebagai yang menyimpan virus Ebola yang menularkan manusia.
Dalam buku yang berjudul Spillover: Animal Infection and the Next pandemic dari David Quammen, menjelaskan siklus dan penyebab munculnya banyak penyakit: virus, bakteri, dan kuman. Kehilangan tempat tinggal akibat akibat hutan dan alam yang diinvansi oleh manusia demi memenuhi kebutuhan maupun keserakahan. “Kita memotong pohon, memburu binatang, merenggut mereka dari habitatnya untuk dimakan, hingga membuat virus kehilangan inangnya,” tulis Quammen.
Ketika kita melihat peristiwa pandemi Covid-19 sebagai proses invasi pantogen yang mengancam keberlangsungan hidup kita, sebetulnya jika dilihat dalam kacamata yang berbeda hal ini bukanlah sesuatu yang sepenuhnya benar, melainkan bisa saja sangat keliru. Saat kita melihat sejarah virus dan asal muasal habitat mereka, hingga mengacu pada invasi mereka ke tubuh kita, bukankah sebelumnya mereka memiliki tempat tinggal yang nyaman? Dan perlukah kita akui, bahwa sebetulnya kita yang merusak rumah mereka? Bahwa kita yang sudah terlebih dulu mengancam mereka? Dunia modern yang identik dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan dan kesejahteraan menjadi yang paling bertanggungjawab atas rusaknya rumah-rumah mereka. Deforestasi, pertambangan, pembangunan kesejahteraan hajat hidup manusia yang kadang hanya memenuhi kantong segelintir orang saja. Tetapi akibat semua itu tidak sedikit dari yang enggan peduli terhadap kesehatan ekologi.
Menurut saya, virus dan manusia adalah sama-sama mahkluk hidup mereka memiliki rumah dan rumahnya virus adalah inang daripada yang membuat mereka nyaman. Namun ketika inangnya virus kita makan atau kita hancurkan, tentu virus itu akan mencari inang yang baru, dan yang paling memungkinkan menjadi inang baru bagi virus-virus, tersebut adalah manusia.
Pandemi Covid-19 bukanlah apa-apa dibandingkan tentang ancaman kiamat yang berada didepan mata kita yakni, pemanasan global. Dan sejak saat kita memilih untuk terus menggenjot alam dan mengeksploitasinya tanpa mengindahkan krisis lingkungan, maka selama itu pula kita sedang mendekatkan diri pada kiamat atas perbuatan tangan kita sendiri.
Refleksi saya terhadap Covid-19 sudah membawa saya pada perenungan bahwa selama ini alam tidak pernah komplain di kuras sumber dayanya oleh kita, tetapi dengan adanya Pandemi Covid-19 beserta virus-virus lain yang sudah terjadi di masa lalu telah memberikan peringatan kepada kita bahwa kita harus segera berbenah diri, itupun jika masih betah tinggal di bumi. Sebab jika tidak kita akan seperti mahkluk-mahkluk terdahulu kita yang lain yang sudah punah. Lagipula Bumi tempat tinggal kita sudah eksis jauh sebelum adanya manusia jadi saya kira alam ini akan baik-baik saja tanpa kehadiran kita sebagai manusia. Selama ini kita mengira bahwa tugas manusia adalah menjaga bumi tetapi, saya rasa manusia sendiri lah yang harus lebih tahu diri.
Pemaknaan ini terpaksa memberangkatkan serta mengingatkan kembali tentang Teori Malthus atau Thomas Robert Malthus (1776-1834). Yaitu seorang pakar demografi kenamaan asal Inggris dan ekonom politik yang terkenal karena pandangannya yang lumayan pesimistik tetapi sangat berpengaruh tentang pertumbuhan penduduk. Ia menjelaskan tentang Preventive checks dan postive checks yaitu yang kuat yang akan bertahan hidup. Bertambahnya penduduk membuat lahan-lahan bumi terus diokupasi dan dikonversi. Dan hal ini berkorelasi tentang pemikiran seorang Malthus yang mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur (misal; dari 2 menjadi 4 dan dari 4 menjadi 8 kemudian dan seterusnya) sedangkan pertumbuhan makanan mengikuti deret hitung (misal; dari 1 jadi 2 dan dari 2 jadi 3, kemudian dan seterusnya). Dalam essay on population yang terbit tahun 1798 Robert Malthus menjelaskan bahwa pertumbuhan penduduk bumi jauh lebih cepat dari bahan makanan. Dan suatu saat akan terjadi perbedaan besar antara penduduk dan kebutuhan hidup.
Tahukah kalian, siapa coba disini yang tidak tahu tokoh antagonis dari Avengers Infinity War dan End Game? Ya, siapa lagi kalau bukan Thanos. Dalam aksinya ia memiliki misi yang sangat visioner namun juga penuh kontroversial. Hal ini karena para Avengers yang melakukan perang terhadap Thanos sangat bertentangan dengan tujuannya. Seorang Thanos ingin menghilangkan setengah dari seluruh populasi yang ada di alam semesta demi tujuan untuk keseimbangan. Namun para Avengers menolak, karena mereka merasa bertanggung jawab untuk menyelamatkan populasi yang di bumi serta planet lain. Hal inilah yang membuat saya memikirkan lebih lanjut terkait misi seorang Thanos ini. Yaitu ia membawa pemaknaan yang begitu filosofis dan dia juga menyempurnakan gagasan yang ada dipikiran Malthus, dia memicu peperangan menguasai semua kesaktian lalu melenyapkan separuh penduduk galaksi. Dia tahu bahwa sumber daya makanan amat terbatas, sehingga populasi harus dikontrol dan dikendalikan sebab kelak nanti anak-anak akan tumbuh dalam kekenyangan dan melihat langit biru. Dan secara kesimpulan saya rasa saya setuju atas tindakannya Thanos tersebut.
Berkenaan dengan Covid-19, selain pandemi ini telah mengguncangkan kita, tidak ada salahnya bukan kita melihat atau memandangnya dari segi logika biosentris ketimbang antroposentris, sebab mungkin adanya Covid merupakan cara alam memberikan warning kepada kita agar kita senantiasa untuk tidak selalu serakah dan merasa tidak puas. Sebab, saat semuanya itu terhempaskan, maka menurut saya, alam akan segera memberikan serangan kepada kita dengan telak yaitu berupa wabah, virus, penyakit dan lain-lain. Hal ini sudah terjadi. Dan sejarah sudah mencatatnya. Maka dari itu, jika kita tidak segera sadar terhadap kondisi ekologis kita. Bersiaplah, warning-warning ekologis lain sedang menanti kita. Di periode-periode, pradaban selanjutnya.