Vaksin Covid-19 dan Dangdut Koplo
Ada banyak keraguan tentang pentingnya vaksin Covid-19 dilakukan. Mengapa harus dilakukan ? Apakah vaksin Covid-19 aman dan tidak mempunyai efek samping ? Adakah cara lain agar tubuh kebal dari serangan Covid selain dari menyuntikkan vaksin didalam tubuh manusia ? pertanyaan – pertanyaan itu berseliweran di dunia nyata dan maya, dan ditambahi isu-isu yang belum dapat dipastikan kebenarannya.
Isu yang menyatakan bahwa vaksin Covid-19 bisa menyebabkan kemandulan membuat orang-orang yang sudah cukup umur untuk menikah, ketakutan. Apalah artinya sebuah pernikahan jika tidak ada keturunan yang meramaikan rumah kelak. Apalagi bagi keluarga terpandang yang berdarah biru. Garis keturunan penyandang nama besar keluarga bisa putus. Warisan yang ditinggalkan bisa diambil kerabat lain. Mungkin faktor keturunan inilah yang membuat raja-raja zaman dahulu mempunyai isteri dan gundik puluhan bahkan ada yang sampai ratusan banyaknya, selain dari faktor nafsu dan kekuasaan tentu saja.
Kemudian isu yang menyatakan bahwa vaksin Covid -19 bisa menyebabkan impotensi juga membuat resah. Kaum Adam yang mendengar isu ini langsung mengelus dada dan celana. Pasalnya hal ini bisa mereduksi kebanggaan pria. Tidaklah mereka dikatakan pria sejati jika menderita impotensi. Impotensi adalah aib yang harus di hindari serta mesti segera diobati dan dipulihkan. Makanya praktik-praktik dukun palsu ( Yang sebagian sudah diungkap oleh Pesulap Merah ) tentang impotensi dan kejantanan pria laku keras.
Isu-isu seperti ini dibeberapa kalangan masyarakat mengalahkan informasi – informasi positif mengenai manfaat vaksin Covid-19. Untuk itulah artikel ini saya buat. Selain dari ingin meramaikan kompetisi menulis, saya juga ingin sharing informasi kepada orang- orang tentang vaksin Covid-19, khususnya kepada para pembaca setia Ninevibe.com. Dan sebelum mengulas tentang apakah vaksin Covid-19 itu aman dilakukan dan menjadi cara yang paling ampuh dalam memerangi pandemi, izinkan saya untuk membahas tentang virus terlebih dahulu.
Pasca revolusi pertanian, virus mulai menjadi momok dalam kehidupan manusia. Virus lebih mudah menyebar dari satu manusia ke manusia yang lain karena pada masa revolusi ini manusia sudah mulai hidup menetap dan berkelompok dalam jumlah yang besar. Peningkatan populasi penduduk, mobilisasi individu dalam waktu yang singkat dan bercampurnya domisili manusia dengan hewan membuat virus lebih lama bertahan hidup jika dibandingkan dengan kehidupan manusia di era revolusi kognitif.
Seperti halnya manusia, virus juga ingin berumur panjang. Dan sesuai dengan kultur hidupnya virus selalu mencari inang baru untuk memperbanyak dirinya. Ketika ia ( virus ) di hadang, maka ia mencari jalan untuk berkelit dengan cara berevolusi dan mutasi. Itulah sebabnya beberapa virus tidak pernah betul-betul mati total. Pada waktu yang lain ia akan muncul dengan varian baru dengan mutasi yang berbeda -beda.
Di zaman pra dan revolusi kognitif, sejarah mencatat hampir tidak pernah terjadi pandemi. Ini dikarenakan pada masa itu jumlah populasi manusia masih sedikit dan mereka adalah pemburu pengumpul yang hidup nomaden. Salah satu syarat terjadinya pandemi yang tidak terjadi di masa itu adalah populasi yang padat dan luas.
Pada waktu itu kompas juga belum ditemukan sehingga perpindahan penduduk dari suatu pulau dan benua belum bisa dilakukan. Tidak adanya perpindahan tersebut menyebabkan virus tidak menyebar ke wilayah lain. Itulah sebabnya benua Amerika bahagian selatan baru dihinggapi virus cacar dari bangsa spanyol yang singgah dan kemudian menjajah wilayah tersebut di tahun 1509 Masehi. Padahal virus cacar sudah menjangkiti manusia semenjak 3.000 tahun yang lalu ( Ditemukan mumi raja Mesir penderita cacar yang wafat pada 1157 SM )
Alasan lain adalah pada era itu belum ada domestikasi hewan yang dilakukan oleh manusia, sehingga keturunan Adam dan Hawa itu hidup terpisah dari habitat hewan. Terpisahnya habitat manusia dan hewan ini juga membantu tidak terjadinya pandemi tersebut. Karena di tengarai asal virus yang bisa menyebabkan kematian lebih dari 300 juta jiwa di abad 20 itu ( jumlah kematian akibat Virus cacar saja menurut BBC World edisi 17 Juni 2020 ) adalah lompatan virus dari hewan ke manusia yang dikenal dengan nama Zoonostic Spilover dan kemudian menyebar dari manusia ke manusia.
Tentu timbul pertanyaan kemudian, karena syarat-syarat terjadinya pandemi sudah terjadi dan tidak mungkin bisa dihindari, apakah virus akan selalu hidup berdampingan dengan manusia sampai dengan dunia ini berakhir ? maka jawabannya adalah iya. Virus penyebab endemi yang kemudian bisa berubah menjadi pandemi sudah menjangkiti manusia semenjak dimulainya revolusi pertanian. Ketika manusia tidak lagi menjadi pemburu pengumpul dan mulai hidup menetap. Revolusi pertanian menyebabkan populasi manusia bertambah secara signifikan dan mencetuskan terjadinya revolusi industri dengan kemajuan teknologi yang mencengangkan. Teknologi kemudian “ ikut “ membantu endemi berubah menjadi pandemi. Pesawat terbang dan kereta api cepat adalah contoh hasil teknologi yang menyebarkan virus dari suatu wilayah ke wilayah lain dengan sangat cepat.
Lantas jika demikian adanya apa yang mesti dilakukan untuk mencegah pandemi terjadi dalam waktu yang Panjang ? jawabannya adalah mengembangkan vaksin pencegahnya dan meyakinkan semua orang untuk mau divaksinasi. Dahulu, sebelum di temukannya vaksin, orang - orang mencoba berbagai cara untuk menghentikan penyebaran virus pandemi. Mulai dari metode pengobatan dengan daun-daunan sampai dengan membuat salep dari perpaduan antara lemak landak mini dengan kucing panggang. Tetapi tidak ada satupun yang efektif menghentikan serbuan virus pandemi, hingga di temukannya vaksin oleh Dokter Edward Jenner pada tahun 1796.
Vaksin yang ditemukan oleh Jenner adalah vaksin cacar. Jenner mengambil lesi cacar sapi yang kemudian disuntikkan kepada seorang anak. Pada awalnya sang anak menderita sakit kepala pusing, demam dan tidak berselera makan setelah fase penyuntikan. Tetapi setelah itu si anak sembuh dan tidak terjangkit virus cacar lagi setelah dilakukan penyuntikan ulang lebih dari dua kali. Cara yang dilakukan Dokter dari Inggris ini kemudian menjadi acuan untuk pengembangan vaksin - vaksin berikutnya. Virus-virus yang sudah dilemahkan atau dimatikan disuntikan ke tubuh manusia untuk merangsang antibodi tubuh muncul melawan ancaman virus tersebut sehingga tercipta kekebalan tubuh.
Kekebalan tubuh masal dalam area yang luas akan menyebabkan virus berhenti menyebar karena tidak ada lagi sel yang bisa didiami untuk dijadikan inangnya. Yang berarti pandemi bisa ditahan penyebarannya untuk tidak meluas dan kemudian berhenti sama sekali dalam waktu yang cepat. Keberhasilan vaksin cacar bisa dijadikan contoh nyata efektivitas vaksin melawan virus. Sekarang cacar tidak lagi merupakan penyakit yang berbahaya dan mudah diatasi.
Dan khusus tentang keberadaan vaksin Covid-19 untuk mengatasi pandemi yang muncul di akhir tahun 2019 tersebut, ada pertanyaan yang muncul tentang hal – hal yang sudah saya tulis di paragraf pertama artikel ini. Pertanyaan – pertanyaan itu tidak lepas dari beberapa berita, pendapat dan pernyataan beberapa orang berpengaruh yang kemudian diikuti dan diamini oleh orang-orang yang mempercayai mereka. Walaupun pernyataan itu sudah dibantah, tapi bagi mereka vaksin apapun itu, termasuk vaksin Covid-19 dapat berakibat ancaman tertentu pada tubuh manusia. Dokter Andrew Wakefield menyatakan bahwa Autisme terkait dengan vaksin. Matteo Salvini ( Menteri Italia ) dan Donald Trumph ( Mantan Presiden USA ) mendukung pernyataan itu. Di Indonesia ada Dokter Lois Owien yang menentang vaksinasi, karena menganggap Covid-19 bukan penyakit menular.
Vaksin yang disuntikan kedalam tubuh manusia sebagian memang menimbulkan efek samping. Tetapi biasanya efek samping itu ringan dan tidak berbahaya, seperti nyeri dan pegal di area yang disuntik. Kadang-kadang ada keluhan pusing, mual dan demam pasca vaksinasi. Tetapi setelah itu orang-orang yang sudah divaksinasi vaksin Covid-19 pada umumnya kembali bugar. Efek samping yang lain sedang diteliti oleh badan- badan yang berwenang seiring dengan keluhan vaksin AstraZaneca yang memicu peningkatan penggumpalan darah yang bisa mengakibatkan pendarahan dan ada kaitan 73 kematian dengan vaksin ini. Penelitian lanjutan ini penting dikarenakan vaksin Covid-19 ini digesa produksinya untuk segera disuntikan dalam mengatasi gawat darurat pendemi. Harusnya vaksin baru bisa disahkan dan digunakan secara masal jika sudah sampai pada jangka waktu 10 sampai dengan 15 tahun. Jangka waktu itu dipakai untuk tahap ekplorasi, uji pra dan pengembangan klinis, penelitian regulasi dan pengesahan, produksi masal serta kontrol kualitas.
Sementara untuk vaksin Covid-19 hanya memakan waktu 12 sampai dengan 18 bulan untuk dipakai secara masal.
Kalau saya ditanya, apakah bersedia divaksinasi Covid-19 dengan segala efek samping yang bisa timbul dari vaksin tersebut ? jawaban saya adalah bersedia. Ada 2 alasan krusial yang membuat saya tetap mau divaksinasi, yaitu :
- Manfaat vaksin Covid-19 lebih besar dari efek sampingnya. Satu komunitas global dunia bisa pulih dengan cepat dari serangan virus Covid-19 berkat vaksin. Sehingga keadaan dunia kembali normal seperti sediakala. Vaksin Covid-19 adalah kebalikan dari narkotika, yang efek sampingnya lebih besar dari manfaatnya. Sehingga dilarang dikonsumsi kecuali untuk kepentingan medis misalnya.
- Vaksin untuk saat ini masih yang paling efektif dalam meredam agresivitas virus. Sehingga menjadi pilihan yang terbaik untuk kembali sehat, menghambat penularan, menghilangkan pandemi dengan menciptakan herd immunity.
Jika saya terdampar di sebuah pulau terpencil di tengah laut bergelombang tinggi yang berisi binatang buas pemangsa manusia dan tidak ada jalan keluar kecuali jika ada speedboat disitu. Kemudian ada tawaran sebuah speedboat untuk bisa dikendarai menuju ke tempat tinggal saya, dengan melewati ombak laut yang walaupun tidak bisa diprediksi, tetapi dengan jaminan persentase selamat sampai tujuan 65% sampai dengan 95 %, karena sudah pernah diuji coba sebelumnya. Maka pilihan apa yang harus saya ambil ? tanpa ragu saya akan menerima tawaran speedboat itu. Alasannya simpel saja, kenapa harus tetap tinggal di pulau itu dan harus melawan hewan pemangsa tersebut dengan peluang selamat hanya 50 : 50 ? Jika saya berhasil mengalahkan hewan-hewan itu pun saya akan tetap tinggal di pulau itu dan saya kehilangan kesempatan untuk nonton konser dangdut koplo bersama teman-teman.
Ini bisa menjadi analogi kenapa saya rela divaksinasi vaksin covid-19. Mungkin anda juga sependapat dengan saya. Dan jikalau tidak, maka itu terserah anda. Kita berhak menentukan pilihan yang sesuai dengan wawasan, hati Nurani dan keyakinan kita.
#Covid19