Apakah Rapid Diagnostic Test Antigen Benar-Benar Standar Baku dan Layak Digunakan Pada Pasien Gejala Covid-19?
Fenomena Coronavirus atau yang biasa disingkat Covid-19 pertama kali muncul di Kota Wuhan, Provinsi Hubei Desember 2019 lalu. Hal tersebut kemudian dikaitkan dengan pasar ikan yang berada di Wuhan, China kemudian dikaitkan lagi dengan hewan kelelawar dan hewan-hewan yang lain yang pada saat itu dimakan oleh manusia sehingga mengakibatkan penularan coronavirus (Covid 19).
Dari dugaan kasus tersebut, tanggal 18 desember 2019, istilah Acute respiratory distress syndrome muncul sebagai gejala baru dibuktikan dengan adanya lima pasien yang dirawat dengan gejala tersebut. Sejak saat itu, kasus tersebut mulai meningkat sampai dengan januari 2020, dimana hal tersebut diketahui dari dilaporkannya pasien sebanyak 44 kasus hingga fenomena ini dengan cepat tersebar di berbagai negara termasuk di Indonesia.
Tak mau kalah cepat, badan kesehatan dunia atau yang dikenal dengan nama World Health Organization (WHO) kemudian dengan cepat memberikan sinyal peringatan terkait coronavirus baru yang terjadi di Provinsi Hubei, China sebagai kasus Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD) atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Sampai dengan saat ini, akibat gejala pasien yang mengidap Virus SARS-CoV-2 diketahui menjadi penyebab utama penyakit pernapasan serta telah menyebabkan jutaan kematian di seluruh dunia. Singkat kata, Covid-19 telah menjadi malapetaka hampir di seluruh dunia. Berdasarkan data pada tanggal 29 Agustus 2021, terdapat 4,07 juta kasus terkonfirmasi positif serta 131.000 kematian Covid-19 di Indonesia sejak bulan Maret 2020, (WHO).
Pada tataran yang berbeda, gejala klinis Covid-19 yang mengakibatkan gejala ringan hingga sedang serta parah, dengan masa inkubasi rata-rata berkisar antara 2 hingga 7 hari. Dari beberapa sumber jurnal yang saya baca, diketahui pasien yang dinyatakan positif Covid-19 lebih rentan pada usia antara 35 hingga 58 tahun. Adapun gejala-gejala seperti; demam, kelelahan, dan batuk kering merupakan indikasi umum dari penularan virus di masa awal gejala. Sedangkan gejala lainnya yakni hilangnya penciuman, tenggorokan terasa sakit, sulit bernafas, merasa mual, dan yang lain-lain. Namun dari semua tanda-tanda itu, gejala seperti demam, batuk, dan sesak napas merupakan yang paling sering ditemui. Kemudian istilah Sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), yang ditandai dengan sitokin inflamasi yang berlebihan juga dapat terjadi pada pasien Covid-19, sehingga dapat diartikan gangguan ARDS adalah penyebab utama kematian.
Dari keterangan gejala yang telah diketahui sebelumnya, bahan dan alat seperti Polymerase Chain Reaction (PCR), tes diagnostik cepat antibodi, prosedur pemeriksaan cepat antigen, dan bahkan alat seperti yang dikembangkan oleh anak bangsa, bernama GeNose, semuanya telah digunakan sebagai alat diagnostik Covid-19 sejak wabah dimulai. Sehingga istilah Tes PCR dan tes diagnostik cepat antigen adalah alat diagnostik yang umum digunakan saat ini.
Dari beberapa jurnal yang saya pelajari, pemeriksaan menggunakan PCR adalah NAAT (tes amplifikasi asam nukleat) berbasis molekuler yang telah digunakan secara global mampu mendeteksi RNA SARS-CoV-2 dengan memperkuat materi genetik virus yang terdapat di dalam tubuh pasien. Tes PCR sangat sensitif dan spesifik, serta cepat, dan telah banyak digunakan untuk mendeteksi patogen.
Alhasil, alat ini kemudian banyak digunakan pada bidang non medis dan bahkan di bidang pertanian. Dalam artian yang lain, alat ini bahkan dikategorikan sebagai alat deteksi patogen terbaik saat ini yang diakui secara global. Hal ini pula yang menjadikan uji PCR sebagai Gold Standart untuk pendeteksian diagnosis Covid-19. Akan tetapi alat ini juga memiliki kekurangan berupa terkadang hasilnya yang lama dan untuk mengoperasikan PCR harus memerlukan tenaga (Dokter) dengan keterampilan khusus.
Perlu diketahui, tes diagnostik cepat antigen merupakan alat yang berbentuk dipstik imunokromatografi yang didesain guna mendeteksi antigen SARS CoV-2 dalam waktu hanya 15 menit. Tes cepat ini telah disetujui oleh Belgian Federal Agency of Drugs and Health Products (AFMPS). Dengan waktu pendeteksian yang tidak memerlukan waktu lama dan harga yang cukup murah dibandingkan dengan uji PCR menyebabkan alat ini banyak digunakan sebagai tes diagnostik untuk mendeteksi gejala Covid-19 di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia.
Seperti yang sama-sama telah kita ketahui, pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor medis, tetapi juga berpengaruh pesat terhadap ekonomi global dan nasional termasuk di Indonesia. Perekonomian Indonesia terpuruk akibat kebijakan pemerintah terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) serta pemberlakuan lockdown yang mengharuskan hasil PCR negatif untuk dapat masuk ke suatu wilayah.
Sejalan dengan hal tersebut, masyarakat menengah ke bawah bahkan atas tidak setuju serta merasa keberatan dalam rangka melakukan uji PCR di laboratorium. Selain itu juga, karena biayanya yang relatif mahal membuat tes uji PCR lebih sedikit digunakan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Di lain hal, salah satu kelemahan lain seperti perlunya keahlian khusus untuk dapat mengoperasikan alat dan lamanya waktu PCR proses pengolahan menjadikan persyaratan ini sedikit digunakan oleh masyarakat ketimbang tes cepat antigen. Masalah lain adalah dengan turut menyumbangkan tingginya angka kerugian dan kematian akibat penyakit ini.
Oleh sebab itu diperlukan tes lain yang lebih murah, seperti rapid antigen diagnostic test, untuk mengidentifikasi Covid-19 sejak dini guna menghindari penyebaran dan menekan angka kematian akibat pandemi Covid-19. Meski begitu, alat yang murah tidak selalu memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama dengan alat yang lebih mahal, seperti tes PCR. Sederhananya ini dapat diartikan membuang-buang uang. Berdasarkan konteks tersebut, penting kemudian menilik keabsahan teori maupun praktek mengapa alat ini digunakan dan untuk menilai keakuratan tes diagnostik cepat antigen yang banyak digunakan di Indonesia saat ini.
Rapid Diagnostic Tes Antigen
Sesuai hasil penelitian yang dilakukan oleh Sepriani Indriati Azisa dkk, dengan judul Sensitivity Value, Spesificity, Positive Presumptive Value (NDP) dan Negative Presumptive Value (NDN) Antigen Rapid Diagnostic Test in Corona Virus Disease-19 (Covid-19) Skrining Pasien di Poliklinik Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman, Samarinda telah melakukan uji diagnostik dengan metode pendekatan cross sectional dan menyatakan hasil yang positif terhadap penggunaan alat tes cepat antigen. Namun perlu diperhatikan juga bahwa karena tes ini dapat menghasilkan hasil tes yang negative juga, pengguna layanan atau pasien Covid-19 simtomatik dengan hasil tes lab cepat antigen negatif disarankan agar analisis diulangi dengan tes yang lebih sensitif.
Coronavirus adalah gejala baru yang belum pernah diketahui oleh manusia sebelumnya. Dalam ilmu kedoteran, SARS-CoV-2 5 adalah istilah virus penyebab Covid-19. Sehingga WHO saat ini menyarankan untuk diberlakukan pengujian molekuler untuk semua pasien yang dicurigai mengalami gejala. Individu yang tidak memenuhi kriteria atau penyakit tanpa gejala juga dapat diperiksa, dengan mempertimbangkan faktor epidemiologis, protokol skrining lokal, dan ketersediaan peralatan. Oleh karena itu dalam kasus amplifikasi asam nukleat dengan reaksi berantai polimerase dengan real-time adalah metode (rRT-PCR) yang direkomendasikan untuk mendeteksi virus.
Sampel dianggap mendapat diagnosa Covid-19 (Terkonfirmasi SARS-CoV-2) apabila rRT-PCR mampu mengidentifikasi setidaknya dua target genomik (N, E, S, atau RdRP) khusus untuk SARS-CoV-2 1. Seperti yang diketahui bahwa Covid-19 sendiri memiliki indikator dan gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk, dan sesak napas sering terjadi dengan masa inkubasi rata-rata 5-6 hari, paling lama 14 hari 6. Dengan begitu dapat diartikan juga bahwa Covid-19 dapat menyebabkan pneumonia, sindrom pernafasan akut, penyakit ginjal, bahkan kematian pada kasus yang parah. Sebagian besar kasus melaporkan demam, dengan beberapa kasus melaporkan kesulitan bernapas, dan hasilrontgen menunjukkan infiltrasi pneumonia yang luas di kedua paru-paru. Akibatnya, tes cepat, sederhana, dan akurat diperlukan untuk mengenali infeksi virus corona 2 (SARS-CoV-2) sindrom pernafasan akut yang parah.
Ciri-ciri tes imunodiagnostik SARS-CoV-2 yang harus bisa dengan cepat untuk dianalisis dan dibandingkan dengan tes reaksi berantai atau transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) sebagai standar baku (Gold standard) untuk kasus yang didiagnosa Covid-19. Menurut Hartantoro dkk, (Diagnostic tes untuk tes antigen sars-cov-2 dalam tes laboratorium covid) dalam kondisi tertentu, Antigen Rapid Diagnostic Test dapat digunakan untuk pemeriksaan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) untuk pelacakan kontak, diagnosis, dan skrining (Covid-19).
Sebagai contoh di RSUD Beriman Kota Balikpapan merupakan salah satu Rumah Sakit Rujukan Covid-19. Dengan kasus yang peningkatan gejala yang cukup tinggi yang mana berdampak semakin banyaknya pasien suspek Covid-19 mengakibatkan diperlukannya penggunaan rapid tes antigen. Namun, dengan menggunakan hasil tes RT-PCR membutuhkan waktu tunggu yang lama bisa sampai 24-48 jam. Hasil RT-PCR yang lama diketahui disebabkan karena pihak RSUD belum bisa melakukan Pemeriksaan RTPCR secara mandiri. Pemeriksaan RT-PCR di RSUD Beriman Kota Balikpapan dilakukan oleh PT. Pama Persada sehingga hasilnya mengikuti alur dari PT. Pama Persada. Sedangkan Dokter penanggung jawab pasien menginginkan hasil yang cepat. Dalam hal ini untuk mempercepat proses identifikasi, mengisolasi dan merawat pasien sesegera mungkin, maka dilakukan pemeriksaan antigen SARS-CoV-2. Pemeriksaan antigen SARS-CoV-2 perlu dievaluasi untuk menjamin validitasnya. Oleh karena itu perlu dilakukan uji validitas/Uji Diagnostik Tes Antigen SARS-CoV-2, (Hartono, dkk).
Dari proses uji diagnostik inilah kemudian bisa dibuktikan apakah bahan dan alat tersebut layak keabsahannya untuk digunakan secara masal di Indonesia. Diketahui, dari hasil penelitian yang lain dalam jurnal Wulawarman, Vol. 9 (1) Juni tahun 2022 dijelaskan bahwa Sensitifitas Pemeriksaan Rapid Tes Antigen Sar-CoV-2 dibandingkan dengan RT-PCR sebesar 83,21 %. Spesifitas Pemeriksaan Tes Antigen SARS-CoV-2 dibandingkan dengan RTPCR sebesar 98,99%. Akurasi Tes Antigen SARS-CoV-2 sebesar 92, 56%.
Artinya, dari hasil tersebut juga mengindikasikan bahwa nilai akurasi antigen SARS-CoV-2 adalah 92,56% atau Rapid antigen test yang digunakan dalam penelitian ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang direkomendasikan oleh WHO, sehingga cocok digunakan untuk uji laboratorium Covid-19. Hasil pada penelitian Seynaeve et al juga mengatakan hal yang sama dimana hasil Nilai Dugaan Negatif (NDN pada penelitian tersebut adalah 91,5%, sedangkan pada yang dilakukan Sepriani Indriati Azis adalah 81,70%. Sehingga angka ini mendukung bahwa tes cepat diagnostic antigen dapat menjadi alat diagnostik yang baik karena angka prediksi deteksinya yang cukup baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tes cepat diagnostik antigen memang teruji dan dapat digunakan sebagai diagnosis pilihan untuk mendeteksi paparan SARS-CoV-2 yang mana memungkinkan laboratorium menggunakannya tanpa fasilitas PCR untuk menggunakan RDT-Antigen sebagai alat diagnostik, terutama untuk pasien bergejala.