Kemaslahatan Pokok kala Pandemi: Masyarakat Desa Tetap akan Menjadi Kolaborator yang Progresif
Problem COVID-19 berawal dari Cina sebagai negara pertama yang memberi laporan kepada World Health Organization (WHO) pada 31 Desember 2019 tentang infeksi paru atau pneumonia yang terjadi di Wuhan, Provinsi Hubei. Otoritas Cina mengidentifikasi etiologinya dengan cepat dan memutuskan bahwa penyebabnya adalah novel coronavirus (jenis baru coronavirus). Pada 13 Januari 2020, WHO menerima laporan kasus dari Thailand. WHO kemudian menerima laporan dari Jepang pada 16 Januari 2020 dan Korea Selatan pada 20 Januari 2020.
WHO secara resmi menyebut novel coronavirus 2019-nCov dengan severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-Cov-2019) karena bertalian dengan infeksi SARS tahun 2003. Penyakit menular ini kemudian disebut dengan COVID-19, akronim dari coronavirus disease 2019. Pada tanggal 30 Januari 2020, WHO menetapkannya sebagai Problem Health Emergency of International Concern (PHEIC)/Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD).
Berdasarkan data dari Kemenkes dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) tentang situasi terkini perkembangan COVID-19 yang dilaporkan sampai 30 Desember 2020, Indonesia sempat menjadi negara terjangkit ASEAN kasus konfirmasi tertinggi. Perihal demografi Indonesia yang terkait, Katadata Media Network mencatat bahwa Badan Pusat Statistik memperkirakan sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di wilayah perkotaan pada 2020 dan diprediksi terus meningkat menjadi 66,6% pada 2035.
Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Dewi Nur Aisyah, mengungkap bahwa berdasarkan hasil analisis data mingguan periode 23 Agustus 2020, kasus positif COVID-19 di perkotaan menyumbang angka yang lebih tinggi di angka nasional dibandingkan dengan angka kasus positif di kabupaten. Lebih lanjut, beliau menjelaskan bahwa kondisi kasus di kabupaten menunjukkan perkembangan yang lebih positif dengan persentase kasus aktif dan kematian yang lebih rendah. Dari 40 besar daerah di Indonesia dengan kasus kumulatif tertinggi, sebanyak 70 persennya (28 daerah) merupakan perkotaan.
Ada kerentanan tertentu yang menyebabkan perbedaan di kota dan kabupaten. Pertama, jumlah penduduk perkotaan yang lebih besar. Kedua, kepadatan penduduknya lebih tinggi jika dihitung dengan luas per kilometer persegi dengan area yang tidak terlalu besar. Ketiga, perkotaan memiliki lebih banyak titik yang memungkinkan masyarakat untuk berkumpul dalam jumlah yang banyak. Keempat, jumlah fasilitas kesehatan di kota lebih banyak tetapi karena jumlah kasus yang terlampau tinggi membuat mereka kewalahan sehingga angka kematian tetap lebih tinggi di kota. Demikian yang dijelaskan oleh Dewi.
Keterangan dari Dewi selaras dengan substansi definisi kota menurut Kamus Tata Ruang. Adapun kabupaten–berdasarkan Kamus Tata Ruang–adalah wilayah yang mencakup kecamatan dan desa. Desa-desa yang ada menjadi penyokong sosial-demografis wilayah kecamatan. Kondisi kecamatan pun berdampak pada karakter kabupaten secara fungsional.
Perbedaan tingkat disiplin protokol kesehatan antara perkotaaan dan pedesaan juga disebabkan oleh kebiasaan masyarakat. Karena masyarakat pedesaan cenderung lebih akrab dengan kesosialan dan kemasyarakatan, mereka masih melestarikan kebiasaan-kebiasaan tertentu sebagai tata laku. Salah satunya adalah ewuh pekewuh. Ia berarti sungkan yang menyebabkan rasa khawatir jika sikap dan ucapannya tidak berkenan di hati orang lain. Ewuh pekewuh muncul akibat individu sudah mengenal dan banyak menerima kebaikan dari seseorang sehingga ia sulit untuk menolak permintaannya (Frinaldi & Embi, 2014).
Ewuh pekewuh–ditinjau dari faktor perbedaan usia–cenderung dihadapi oleh orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua. Kebiasaan ini adalah bentuk manifestasi dari kaidah fundamental masyarakat Jawa (Frinaldi & Embi, 2014). Isu-isu yang akan menjadi kajian dalam tulisan ini berkaitan dengan budaya Jawa. Isu/kasus terkait terjadi antara tahun 2020-2021 di desa tempat tinggal di kabupaten Bantul, DIY. Walaupun sifatnya lokal, tetapi hikmahnya bisa menjadi pertimbangan untuk masyarakat yang lebih luas ke depannya.
Kasus ketimpangan pertama terjadi di masjid sebagai pusat peribadatan masyarakat dari enam RT. Masyarakat sudah melaksanakan protokol kesehatan, seperti memakai masker, menjaga jarak, dan membawa sajadah pribadi tetapi mereka tetap bersalaman sesudah salat walaupun jaraknya satu meter. Mereka rela memiringkan badan demi bisa menjangkau tangan orang lain. Kebanyakan pelakunya adalah jemaah asli dusun walaupun ada jemaah pendatang juga. Terlepas dari hukumnya dalam fikih Islam, sikap mereka bertentangan dengan kaidah jaga jarak dan menafikan keutuhan dalam pelaksanaan prokes.
Kebiasaan ewuh pekewuh ini bisa berlaku tepat apabila aplikasinya berwujud pekerti yang baik dalam merespons sebab-sebab sosial yang lazim terjadi di kehidupan bermasyarakat. Menurut Antaranews, fungsinya untuk menghormati orang lain, menoleransi perbedaan pandangan dan sikap karena perasaan tidak enak berkonfrontasi atau mempermalukan orang di hadapan orang lain. Namun bila dilakukan pada situasi yang tidak tepat sehingga menghambat proses kemaslahatan bersama, sewajarnya kemaslahatan menjadi arah orientasi walaupun sulit melakukannya.
Ketimpangan kedua terjadi saat Idulfitri. Pada awalnya salat id tidak secara kolektif dilaksanakan di masjid tetapi sebagian masyarakat salat di musala dan sekitarnya yang ada di salah satu RT. Halalbihalal cukup melalui ikrar yang diwakili oleh satu orang dari golongan muda dan golongan tua kemudian mereka tidak saling berkunjung. Namun, pada Idulfitri berikutnya, seruan yang tidak otoritatif disampaikan oleh seorang pemimpin masyarakat yang memuat persepsi melawan COVID-19 karena tidak kunjung selesai. Seruan singkat yang diawali basmalah disampaikan dengan maksud mengadakan kembali silaturahmi ke rumah-rumah padahal ada larangan dalam regulasi pemerintah.
Ketimpangan ketiga terlihat dalam klaim teologis seorang tokoh agama. Klaim yang muncul dilandasi persepsi bahwa COVID-19 adalah upaya menghancurkan Islam. Oleh karenanya, ada anggapan bahwa bersalaman seharusnya tetap dilakukan demi mengimplementasikan hadis Nabi Muhammad saw. karena hikmah bersalaman adalah menghapus dosa dan dampak sosialnya adalah mempererat persaudaraan. Figur demikian membawa pengaruh bagi masyarakat awam yang menjadikan tokoh agama sebagai satu-satunya sarana untuk memperoleh interpretasi ajaran Islam.
Tiga ketimpangan yang sudah diulas sebelumnya mengundang telaah-telaah konfrontatif. Pertama, regulasi pemerintah dan pakar kesehatan yang otoritatif tentang langkah-langkah menghadapi pandemi COVID-19 sudah tersiar sebagai panduan bagi seluruh lapisan masyarakat. Ajakan persatuan melawan pandemi secara tegas telah diserukan. Namun, masyarakat kota secara umum memperoleh lebih banyak informasi dibandingkan dengan masyarakat desa. Golongan-golongan yang mampu mengakses informasi akan mengetahui bahwa negara sedang mengupayakan keberlangsungan hidup penduduk.
Penelitian mengungkap bahwa pengetahuan seseorang berperan dalam memengaruhi perilakunya. Penelitian Zul Fikar Ahmad et al (2021) tentang penggunaan e-learning dalam pencegahan diare selama pandemi mengungkap jika ada perbedaan sikap responden sebelum dan sesudah mempelajarinya. Teguh et al (2021) dalam penelitiannya di SMA N 2 Pujut Lombok Tengah menyimpulkan bahwa dengan pemahaman yang baik, murid-murid melaksanakan prokes dengan baik.
Selain itu Siukan Law et al (2020) dalam jurnalnya tentang SARS dan COVID-19 bertujuan untuk mendiskusikan pemahaman aktual dan mempelajari langkah-langkah aplikatif dalam rangka mencegah infeksi lebih jauh di Hong Kong. Demikian pula Riyadi & Putri (2020) dalam Prosiding Seminar Nasional Official Statistics 2020 mengungkap bahwa salah satu karakteristik yang berpengaruh pada tingkat kepatuhan pada prokes adalah tingkat pendidikan, maksudnya pengetahuan tinggi akan membuat seseorang lebih waspada dalam beraktivitas sehari-hari demi menghindari risiko penularan COVID-19.
Bagaimanapun, golongan yang berpendidikan rendah belum tentu memiliki pengetahuan yang rendah disebabkan banyaknya media promosi kesehatan yang memberikan pengetahuan kepada masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan memiliki strategi yang tepat agar dapat menyebarkan informasi terkait dan menggiatkan literasi kesehatan. Di sinilah pentingnya memiliki pengetahuan tentang suatu persoalan.
Kedua, urgensi nasional yang terkandung dalam regulasi pemerintah selayaknya menjadi keyakinan bersama sebagai faktor keselamatan dari bencana nasional ini. Pemimpin hendaknya bisa mempersatukan dan memotivasi demi perubahan yang lebih baik. Selain itu, ketegasan penegakan aturan oleh pemimpin adat tampak minim. Karena aktivitasnya lebih intensif pada berbagai urusan administratif dan perbaikan masyarakat, pemimpin yang hadir di tengah masyarakat patut mengerti sebab-sebab di balik kebijakan pemerintah kemudian menjadi informan di desanya. Namun, implementasi kebijakan pemerintah sangat kurang pada tokoh-tokoh yang terpandang maupun tidak. Akibatnya, masyarakat sulit menjumpai role model (teladan) yang baik.
Ketiga, masyarakat tidak menyadari Majelis Ulama Indonesia sebagai kelembagaan ulama yang otoritatif dan muktabar serta perumus fatwa-fatwa yang responsif terhadap permasalahan umat. Komisi Fatwa MUI menetapkan bahwa setiap orang wajib melakukan ikhtiar menjaga kesehatan dan menjauhi hal yang dapat menyebabkan terpapar penyakit karena hal itu merupakan bagian dari menjaga tujuan pokok beragama. Fatwa tersebut diterbitkan dengan mengkaji nas-nas agama dan pada akhirnya MUI mengimbau penyebarluasan informasi supaya masyarakat mengerti.
Komisi Fatwa MUI mengangkat surah Al-Baqarah: 195 sebagai dalil supaya masyarakat tidak menjatuhkan diri dalam kebinasaan. Oleh karena itu, untuk mengusahakan keselamatan diri, masyarakat diwajibkan menaati prokes. Demikian pula kaidah-kaidah fikih, di antaranya: 1) tidak boleh membahayakan diri dan orang lain, 2) menolak mafsadah didahulukan daripada mencari kemaslahatan, 3) bahaya harus ditolak, dan 4) kebijakan pemimpin (pemegang otoritas) terhadap rakyat harus mengikuti kemaslahatan. Dengan ini, anggapan agamis yang sempit dan tidak kontekstual kontradiktif dengan keutuhan fatwa MUI dan tidak bisa dibenarkan.
Keempat, pelanggaran prokes merupakan bentuk pengingkaran kewajiban warga negara. Menurut E-Modul PPKn Kelas XII tentang HAM oleh Direktorat Pembinaan SMA, di antara faktor terkait pengingkaran kewajiban adalah rendahnya kesadaran berbangsa dan bernegara serta ketidaktegasan aparat penegak hukum. Adapun di antara upaya pencegahan adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pengawasan masyarakat oleh pemerintah supaya interaksi masyarakat dapat terkontrol. Selain itu meningkatkan penyebarluasan prinsip-prinsip HAM melalui lembaga formal dan nonformal supaya masyarakat memiliki pemahaman dan inspirasi untuk bertindak. Upaya lain adalah meningkatkan kerja sama antargolongan untuk mewujudkan sinergisitas dan partisipasi aktif dalam merefleksikan hukum berwujud perilaku yang nyata.
Pandemi COVID-19 patut disadari sebagai persoalan bersama. Medscape mengatakan bahwa pemilihan nama COVID-19 demikian untuk menghindari stigmatisasi asal virus, populasi, geografi, dan asosiasi hewan. Ini memberikan konsekuensi bahwa hal yang terpenting adalah kesungguhan menghadapi pandemi oleh siapa saja tanpa memandang buruk kelompok tertentu. Presiden Joko Widodo dalam Keppres RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) secara resmi menetapkannya sebagai bencana nasional sehingga seluruh masyarakat wajib berupaya menekan infeksi virus ini.
Partisipasi aktif dan kontribusi dapat terwujud dalam sikap menaati regulasi dengan dijiwai kepercayaan kepada pemerintah dan menjunjung kepentingan bersama. Demikian juga mengeksplorasi berbagai informasi yang mendukung baik melalui tokoh-tokoh terpelajar maupun media-media lainnya. Harapannya agar tidak ada deklarasi-deklarasi kurang etik yang bermunculan.
Setiap individu bekerja sama dengan pemerintah dengan bersinergi untuk saling menjaga. Problematika yang telah dijelaskan tidak hanya menjadi tantangan bagi masyarakat pedesaan, tetapi juga masyarakat Indonesia secara kolektif. Semua ini mesti disadari dengan jiwa yang menghendaki kemajuan. Pandemi ini eloklah bila dijadikan ajang kebersamaan untuk menghadapi sebuah tantangan. Apabila dilakukan dengan penuh pertimbangan, pengalaman yang diperoleh setelahnya dapat menjadi refleksi dan kekuatan untuk tantangan-tantangan yang akan datang.
Referensi
WHO. (2020). COVID-19 as a Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) under the International Health Regulations 2005 (IHR). London: The Verification Research, Training, and Information Centre.
Frinaldi, A. & Embi, M. A. (2014). Budaya Kerja Ewuh Pekewuh di Kalangan Pegawai Negeri Sipil Etnik Jawa (Studi pada Kabupaten Pasaman Barat, Provinsi Sumatera Barat). Jurnal Humanus, 8, 68-75.
Ahmad, Zul Fikar et al. (2021). The E-Learning Utilization on Attitudes and Behavior of Diarrhea Prevention during Pandemic. Turkish Journal of Computer and Mathematics Education, 12, 231-236.
Achmalona, Teguh et al. (2021). Factors that Affect Student Compliance in Emplementing the COVID-19 Protocol during the Learning Offline at SMAN 2 Pujut Central Lombok. STRADA Jurnal Ilmiah Kesehatan, 10, 158-165.
Riyadi & Larasaty, Putri. (2020). Faktor yang Berpengaruh terhadap Kepatuhan Masyarakat pada Protokol Kesehatan dalam Mencegah Penularan COVID-19. Proisiding Seminar Nasional Official Statistics 2020, 45-54.
Law, Siukan et al. (2020). SARS and COVID-19: From causes to preventions in Hong Kong. International Journal of Infectious Disease, 94, 156-163.
Soefaat [et al]. (1997). Kamus Tata Ruang (Edisi 1). Jakarta: Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 tentang Hukum Vaksinasi COVID-19 saat Berpuasa.
Marliyati, Lilyk. E-Modul PPKn Kelas XII.