Si Penggiring Opini di Masa Pandemi
Penghujung tahun 2019 dunia digegerkan dengan kemunculan Corona Virus Disease di Wuhan, China. Kekhawatiran akan menyebarnya penyakit itu menjadi nyata adanya. Merambat dan meluas hingga melingkupi seluruh bumi. Manusia menjadi was-was tertular. Begitupun masyarakat Indonesia.
Pemerintah langsung menetapkan banyak peraturan demi meminimalisir terjadinya penularan. Anak-anak dan mahasiswa yang masih mengais pendidikan dibelokkan dengan penggunaan zoom meeting untuk media pembelajaran. Para orangtua pun beralih mencari nafkah berbasis online atau sistem work from home. Keadaan yang menjadikan masyarakat menghabiskan banyak waktu di rumah (stay at home) membuat mereka bergantung pada media massa untuk mengetahui informasi di luar. Tentunya kita juga tak ingin ketinggalan berita dan ingin mendapatkan informasi yang up to date. Disinilah peran media massa menjadi penting adanya.
Sebagaimana kita tahu, dalam masa pandemi, tentunya kita ingin mengetahui informasi yang berkaitan tentang perkembangan covid-19. Semakin membaik atau semakin memburuk? Selain itu media massa juga menjadi sumber informasi mengenai vitamin, vaksin, dan info kesehatan lainnya. Kegiatan berkomunikasi dengan teman atau sanak saudara pun hanya bisa dilakukan lewat telepon.
Hal-hal di atas adalah dampak positif penggunaan media massa dalam masa pandemi. Namun jangan salah, dampak negatifnya pun juga ada. Salah satunya adalah penyebaran berita hoax.
Seperti yang kita tahu, media massa adalah sarana komunikasi massa dimana proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak. Yakni portal masyarakat untuk mengekspresikan diri. Semua orang bisa mengaksesnya tanpa terkecuali. Tak ayal jemari-jemari nakal itu mengetik berita hoax. Pada saat ia menekan 'enter', data binari itu terlempar menuju satelit, kemudian dilontarkan kembali ke bumi mengisi beranda berita setiap insan. Substansi judul yang memuat embel-embel sangat menarik hati masyarakat untuk membacanya. Isi berita yang nyeleneh. Meluas. Menyebar. Menghadirkan provokasi di kalangan masyarakat. Hal itu menimbulkan rasa takut, cemas, bahkan bisa mengganggu psikis seseorang.
Kita bisa menerima informasi dari berbagai media seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya.
Sayangnya masih banyak masyarakat awam yang tidak kritis menanggapi suatu informasi dan asal me-repost, me-forward, hingga berita hoax itu semakin menyebar.
Dikutip dari Kominfo, diperkirakan ada 850 kabar bohong terkait COVID-19 hingga Juni 2020. Telah tertangkap 104 pelaku penyebaran hoax yang ditindaklanjuti pihak kepolisian.
Rasa heran pun berkecamuk. Mengapa terdapat oknum yang ingin memperparah keadaan di masa pandemi ini? Apakah motivasi penyebaran berita hoax hanya untuk eksistensi semata?
Melansir dari Kompasiana, Looking Threat Research (sebuah tim peneliti yang memperhatikan masa depan internet dan evolusinya) meneliti beberapa faktor motivasi munculnya berita hoax.
Pertama, adanya kepentingan politik atau persamaan ideologi sehingga membentuk propaganda politik.
Kedua, dikarenakan faktor ekonomi atau mencari keuntungan dari apa yang dia akses. Terlebih dewasa ini banyak sekali organisasi bisnis yang membayar oknum untuk menyebarkan berita hoax kepada publik.
Dikutip dari Detik.com, padahal jelas-jelas telah ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 1946 pasal 14 (ayat satu) tentang sanksi penyebaran berita bohong bisa dihukum maksimal 10 tahun penjara, dengan bunyi:
“Barangsiapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.”
Kini tugas kita sebagai masyarakat adalah menyaring berita yang kita dapat. Kritis dan teliti dalam menyikapi berita baru. Apalagi ketika masa pandemi, hendaknya kita berpedoman pada portal yang terpercaya kredibilitasnya (mengenai covid-19) supaya memperoleh informasi yang cepat, tepat, dan akurat.
Sumber :