Fenomena Childfree, Bukti Potret Suram Dunia Parenting

profile picture fwidyananta

Bagi sebagian besar pasangan suami-istri, kehadiran anak dalam rumah tangga adalah hal yang sangat diidam-idamkan. Tak jarang mereka mengupayakan bermacam cara demi lahirnya sang buah hati di tengah-tengah kehidupan rumah tangga. Namun, belakangan berkembang sebuah fenomena baru di mana beberapa orang memutuskan menikah, tetapi enggan memiliki anak.

Keputusan untuk tidak memiliki anak atau dalam istilah beken disebut childfree merupakan fenomena baru di Indonesia sehingga tak bisa dipungkiri menimbulkan banyak perdebatan dalam masyarakat. Dalam kehidupan sosial kita ketika laki-laki dan perempuan menikah seperti sudah menjadi “hukum tak tertulis” bahwa memiliki anak adalah tujuan berumah tangga. Apabila dalam sebuah rumah tangga tidak ada anak maka akan menjadi beban tersendiri bagi pasangan suami-istri lantaran akan selalu diberondong pertanyaan semacam “kapan punya anak?” atau “apa nggak kasihan sama bapak dan ibu yang sudah pengen punya cucu?”

Akan tetapi, apakah semudah itu memiliki dan membesarkan anak? Faktanya melahirkan dan membesarkan seorang anak bukanlah perkara gampang. Ada banyak hal yang perlu dipersiapkan hingga kelak anak bisa mandiri dan kemudian memulai kehidupannya sendiri. Hal ini bukan hanya soal materi atau kebutuhan jasmaninya, melainkan juga soal kebutuhan psikologisnya. Kondisi dan kebutuhan psikologis anak-anak yang hidup di era modern ini juga tentu berbeda jauh ketimbang kebutuhan psikologis anak-anak sepuluh hingga dua puluh tahun yang lalu. Oleh karena itu, pola pengasuhan yang orang tau harus terapkan kepada anak-anak mereka pun tidak bisa serta merta sama dengan pola asuh yang mereka dapatkan saat mereka masih kecil.

Dalam jurnal yang ditulis oleh Agrillo & Nelini (2008) disimpulkan beberapa alasan pasangan memilih untuk tidak memiliki anak, diantaranya: 

  1. Rasa enggan memiliki anak

Keenganan ini timbul karena beberapa percaya bahwa masa kecil adalah masa yang penuh traumatis, belum terlalu dewasa untuk menjadi orang tua, bahkan kurang dapat menoleransi perilaku anak-anak.

2.   Ingin meningkatkan karir

Beberapa orang merasa ketika mereka memiliki anak maka waktu dan fokus mereka akan terbagi kepada anak sehingga mustahil untuk memiliki jenjang karir yang baik.

3.   Fokus pada fisik dan kesehatan

Ada ketakutan bahwa kelak anak mungkin saja mewarisi penyakit yang dimiliki oleh kedua orangtuanya.

4.  Percaya bahwa tidak menghadirkan satu orang lagi ke dunia adalah tindakan baik

Alasan terakhir lebih mengarah kepada ideologi masing-masing individu. Ada yang beranggapan bahwa dengan keadaan bumi yang semakin rusak maka menambah satu orang lagi ke dunia hanya akan semakin merusak bumi. Ada juga yang berpendapat bahwa keadaan di dunia penuh penderitaan maka tak ada yang bisa menjamin kehidupan seseorang akan baik.

Beberapa orang memilih untuk tidak memiliki anak tentu bukan hanya sekedar karena tidak ingin, tetapi dilandasi oleh beberapa pertimbangan yang menjadi alasan mereka memilih untuk tidak memiliki anak. Pertimbangan-pertimbangan itu bisa muncul dari pengalaman pribadi, kondisi ekonomi, bahkan faktor lingkungan sosialnya. Seringkali kita menemukan bahwa orang tua menganggap bahwa mereka sudah memberikan segalanya pada sang anak sehingga tak ada alasan bagi anak untuk gagal. Hal yang sering kali ada di benak para orangtua adalah ketika punya anak maka dengan memberikan anak mainan-mainan bagus, baju-baju mahal, menyekolahkan di sekolah yang terbaik, membawa anak pergi liburan, serta memberikan makanan yang enak. Hal-hal semacam itu bagi sebagian orang tua sudah cukup untuk memberikan kebahagiaan dan menunjukkan rasa cinta kepada anaknya. Padahal sebenarnya ada kebutuhan yang lebih penting yaitu kebutuhan psikologis. Anak perlu diajak bicara, bermain, dan belajar bersama sehingga ia tau bahwa ia dicintai oleh kedua orangtuanya. Fakta lain beberapa orangtua malah menyerahkan anak untuk diasuh oleh baby sitter atau kakek-neneknya dengan alasan orangtua sibuk bekerja hingga pada akhirnya abai pada pertumbuhan dan perkembangan anak. 

Adapula orangtua yang menerapkan pola asuh yang keras pada anak, seperti selalu memukul anak ketika anak melakukan kesalahan dan tak pernah memberikan pujian ketika anak melakukan hal yang baik. Contoh lainnya ada orangtua yang selalu membanding-bandingkan anak yang satu dengan anak yang lain, hanya karna anak yang satu lebih unggul dari anak yang lain orang tua lantas lebih perhatian dan lebih menyanyangi anak tersebut ketimbang anak yang lainnya. Contoh-contoh diatas menimbulkan trauma tersendiri bagi anak, ada sisi hati yang terluka karena merasa dirinya tak dihargai bahkan oleh orang yang melahirkannya. Berada dalam situasi ini membuat seseorang tidak ingin punya anak karena takut apabila ia memiliki anak ia akan memperlakukan anaknya kelak sama seperti yang dilakukan oleh orangtuanya.

Selain sisi psikologis, ada faktor ekonomi yang turut ambil peran. Jika pasangan menikah dengan kondisi keuangan yang tidak stabil dan penghasilan rendah maka ketika memiliki anak mereka tidak akan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari sang anak bahkan mungkin kesusahan untuk menyekolahkan anak. Hal semacam ini kemudian mengakibatkan kualitas SDM anak tersebut menjadi buruk. 

Bicara sisi lingkungan sosial kita tahu bahwa kultur masyarakat Indonesia seringkali memaksa pasangan untuk memiliki anak. Hal ini tentu menyebabkan pasangan merasa terdesak dan tidak memiliki pertimbangan yang matang untuk memiliki anak. Ditambah saat anak sudah lahir dan tumbuh dewasa maka anak tersebut akan dibebankan oleh ekspetasi orangtua dan masyarakat. Anak dianggap aset yang kelak dapat dan harus menjadi kebanggan orangtua. Bahkan terkadang anak disetir untuk menjadi sesuatu yang diinginkan oleh orang-orang terhadap dirinya. Hal ini mengakibatkan anak menjadi tidak tau keinginan dirinya sendiri.

Perdebatan mengenai childfree ini memang masih hangat dan tidak ada habisnya di kalangan masyarakat saat ini. Namun satu hal yang pasti adalah kebahagiaan setiap orang berbeda-beda ada orang yang bahagia hidup menjadi orangtua dan ada pula yang bahagia dengan dirinya sendiri. Keputusan untuk memiliki atau tidak memiliki anak merupakan keputusan pribadi setiap orang yang harus dihormati dan dihargai.

Sumber:

Agrillo, C., & Nelini, C. (2008). Childfree by choice: a review. Journal of Cultural Geography, 25(3), 347–363. doi:10.1080/08873630802476292. https://sci-hub.se/https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08873630802476292 (Diakses tanggal 10 Februari 2022)

 

1 Agree 0 opinions
0 Disagree 0 opinions
1
0

This statement referred from