Media: Pisau Bermata Dua yang Dapat Disalahguna
Sumber Gambar
Media dan Kekuatannya
Sejak dahulu, media adalah sumber kekuatan informasi yang sangat kuat. Menguasai media sama saja dengan menguasai masyarakat, bahkan mungkin saja negara. Kita dapat berkaca pada catatan-catatan sejarah bagaimana usaha penjajah yang menutup kantor-kantor media Indonesia pada masa-masa sebelum kemerdekaan dan bagaimana perjuangan yang dilakukan para pejuang kemerdekaan untuk tetap menyebarkan informasi melalui media-media secara diam-diam. Setelah kemerdekaan, ada pula contoh yang lain, misalnya saja propaganda Soeharto dalam film serangan umum 1 Maret yang ingin melegitimasi bahwa Soeharto adalah tokoh utama dalam serangan tersebut, lalu ada pula film G30S/PKI yang juga bagian dari propaganda orde baru dan masih banyak lagi contoh lainnya di mana media digunakan sebagai alat propaganda.
Pengaruh Media Selama Pandemi COVID-19
Perkembangan zaman saat ini, mendorong pertumbuhan media. Selain media cetak, terdapat pula media online yang kian hari makin banyak jumlahnya dan menjadi primadona masyarakat dalam memperoleh informasi. Sayangnya, ketika membaca berita (khususnya berita yang dimuat di media online) sering kali masyarakat terprovokasi oleh judulnya. Judul dari sebuah berita memang harus menarik, tetapi nampaknya sekarang konsep penulisannya tidak hanya sekadar menarik saja, namun juga cenderung bersifat provokatif bahkan tak jarang pula digunakan sebagai propaganda oleh pihak-pihak tertentu.
Judul berita bisa jadi menipu, sebab ada kemungkinan judul tersebut berbeda jauh dengan isi beritanya sendiri, agar orang-orang mau membaca beritanya. Judul yang demikian dikenal dengan istilah “clickbait”. Hal ini terjadi dikarenakan pendapatan media online berasal dari iklan yang memang baru dibayarkan bila beritanya diklik dan dibaca.
Media pada zaman sekarang ini dapat diibaratkan sebagai pisau bermata dua yang bisa disalahgunakan demi keuntungan pihak-pihak tertentu. Awalnya, perilaku masyarakat yang membentuk media, tetapi akhirnya media yang membentuk perilaku masyarakat. Pemberitaan sebuah media mampu memengaruhi konstruksi pikiran masyarakat terhadap suatu informasi, termasuk yang terjadi dalam kasus pemberitaan-pemberitaan seputar COVID-19.
Keberadaan COVID-19 memang tidak perlu lagi diragukan, sebab memang demikian faktanya. Ada banyak orang yang sudah terdampak bahkan banyak pula yang meninggal dunia karena terserang virus ini. Namun, sejalan dengan perkembangan kasus COVID-19, media mulai menyusupi berita-beritanya dengan konspirasi-konspirasi tertentu. Tak lain dan tak bukan, itu dibuat demi cuan.
Hal tersebut membentuk pola pikir masyarakat yang sangat negatif terhadap COVID-19 dan membuat imunitas tubuh menjadi lemah, padahal pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan imunitas tubuh yang kuat agar dapat terhindar dari COVID-19. Kemudian, ketika seseorang terkena COVID-19, tekanan dari masyarakat sekitarnya justru lebih menyakitkan daripada virus itu sendiri dan ini juga disebabkan oleh media yang memengaruhi pola pikir masyarakat.
Pada awal kasus pertama COVID-19 ditemukan di Indonesia, media telah melakukan “dosa” dengan pemberitaan yang menggunakan bahasa yang berlebihan sehingga mengakibatkan kepanikan masyarakat. Dalam pemberitaan-pemberitaan berikutnya, media cenderung berbicara tentang angka dan laporan kasus yang positif dan meninggal daripada yang negatif. Lalu, jarang sekali media memuat berita-berita edukasi untuk terhindar dari virus tersebut. Judul yang heboh, isi berita yang kurang edukatif, belum lagi minimnya budaya literasi masyarakat Indonesia telah menjadikan COVID-19 menjadi momok yang menakutkan selama 2 tahun lebih sejak kasus pertamanya ditemukan.
Pada awalnya, mungkin para wartawan dari media-media murni membuat berita sekadar untuk memberi informasi kepada masyarakat. Namun, lama-kelaman mereka mulai membuat berita sekadar demi clicks dan views dengan tujuan rating demi cuan dan tidak menutup kemungkinan pula ada pihak-pihak yang telah memanfaatkan media demi kepentingan pribadi. Kita dapat melihat indikasinya dari kasus-kasus penimbunan barang-barang yang digunakan untuk pencegahan penyebaran virus COVID-19 dan panic buying oleh masyarakat yang terjadi berkali-kali selama pandemi COVID-19, pembagian bantuan-bantuan yang mengatasnamakan tokoh atau partai politik tertentu, adanya kasus korupsi bantuan-bantuan sosial, dsb. Apakah itu dengan tujuan bisnis atau mungkin demi menaikkan elektabilitas seseorang atau tujuan-tujuan lainnya, yang jelas banyak sekali berita yang “digoreng” selama masa pandemi virus ini.
Selain itu, ada pula diskriminasi yang terjadi akibat pemberitaan media, misalnya saja sebutan virus Wuhan atau virus Cina. Pelabelan ini telah mengakibatkan stigma yang buruk terhadap ras Cina. Contoh-contohnya dapat dengan mudah ditemukan di kolom-kolom komentar media sosial.
Kolaborasi Media, Pemerintah, dan Masyarakat
Meski permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan media ini terlihat jelas, tak sedikit jumlah masyarakat yang terkecoh olehnya; tak sedikit jumlah masyarakat yang tergiring opininya.
Oleh karena itu, media massa seharusnya menjadi sumber informasi yang valid dan dapat dipercaya masyarakat. Kebebasan pers di negara kita ini mestinya dimanfaatkan sebaik mungkin untuk memuat berita-berita yang objektif dan apa adanya. Setiap redaksi sebaiknya memuat berita-berita yang mampu memberikan fakta dan mematahkan hoaks dan menjadi sarana edukasi bagi masyarakat bukannya malah menimbulkan persepsi negatif apalagi memanfaatkan berita sebagai alat propaganda. Statistik korban COVID-19 mungkin memang penting, tetapi penekanan bagaimana caranya agar masyarakat bisa terhindar dari virus ini adalah urgensi.
Dalam hal ini, pemerintah juga harus lebih masif lagi dalam berkolaborasi dengan media untuk meningkatkan pemberitaan-pemberitaan yang positif berkenaan dengan COVID-19 dan meningkatkan budaya literasi masyarakat. Lalu, diperlukan pula kesadaran dari masyarakat itu sendiri agar tidak menelan bulat-bulat setiap informasi yang diterima, tetapi bersikap kritis terhadapnya; kita yang telah mengetahui caranya harus menolong orang lain yang mungkin masih gampang terprovokasi. Sebisa mungkin, setiap pihak mempergunakan media sebagai tempat berbagi dan menerima informasi untuk mendukung berakhirnya pandemi.
Referensi :