Covid19 dan Perubahan Kehidupan
Covid19 menjadi momok yang menakutkan bagi semua orang pada masa itu. Ketika masker menjadi barang yang mahal dan langka untuk diperjualbelikan di apotek dan toko. Saat itu pula kesempatan bagi beberapa gelintir orang untuk mengeruk keuntungan finansial. Pandemi menjadikan banyak orang bersedih, tetapi membuat yang lain bersorak girang.
Di perkotaan besar, setiap orang dilarang untuk berkumpul atau berkerumun. Pemerintah telah menetapkan kebijakan-kebijakan khusus selama pandemi covid-19. Kerumunan pada pernikahan menjadi sangat rentan akan penyebaran virus sehingga banyak yang menunda pernikahan hanya karena covid19.
Para pekerja kantor akhirnya harus bekerja dari rumah untuk sementara waktu atau dirumahkan agar operasional perusahaan tidak bengkak, yang akhirnya menyebabkan kebangkrutan. Toko atau tempat yang menjadi pusat kerumunan ditutup dalam jangka waktu yang tak bisa ditentukan. Perekonomian warga menjadi morat-marit. Meskipun pasar masih saja banyak yang mengunjungi.
Perubahan Selama Covid19
Saya ingat ketika pemerintah menetapkan lockdown pada tahun 2019, suasana kampung saya menjadi mencekam. Tidak ada lagi salat berjamaah sehingga masjid terlihat seperti kuburan. Ramadan menjadi suram. Lantunan ayat suci Al Qur'an nyaris tidak ada. Semua itu mengikuti kebijakan pemerintah untuk tidak ke mana-mana dan membuat kerumunan.
Anak saya yang saat itu seharusnya masuk TK, akhirnya hanya masuk 1 kali. Itu pun dilakukan karena akan berfoto wisuda. Dia memang diberi tugas, yaitu belajar mewarnai dan berkreasi dari rumah. Sampai wisuda pun saya tidak yakin nilai raportnya itu.
Lebaran yang biasanya saling kunjung antartetangga tidak terlihat saat itu. Warga kampung hanya mengikuti kebijakan pemerintah, yaitu menghindari kerumunan. Pintu-pintu yang biasanya terbuka lebar, saat itu tertutup dengan rapatnya. Suasana lebaran yang paling menyedihkan bagi saya, mungkin juga bagi seluruh masyarakat dunia.
Covid19 dan Keraguan Tentangnya
Bila saya amati, banyak sekali hal yang mendadak terjadi dan berubah saat covid-19 berlangsung. Pertama, penanganan pasien yang telah meninggal jauh dari kebiasaan masyarakat. Penanganan pasien yang dilakukan pihak rumah sakit tanpa prosesi dari pihak keluarga. Kebijakan ini menimbulkan perubahan perilaku masyarakat sehingga ada banyak orang yang sakit menyembunyikan diri agar tidak ke rumah sakit. Mereka takut ke rumah sakit karena takut disangka covid.
Kedua, pemberian bantuan sosial bagi sebagian warga yang terdampak covid. Padahal semua orang terdampak covid loh, seharusnya dana ini diberikan merata. Kenyataan, tetangga saya yang bernama mbak Saleh hanya mendapatkan sekali padahal dari segi penghasilan beliau orang yang harusnya dibantu.
Ketiga, soal vaksinasi. Vaksinasi ini menjadi harga mati bagi masyarakat. Namun, masih saja ada masyarakat yang lolos tanpa vaksinasi. Vaksinasi bersifat pemaksaan sehingga menimbulkan tanda tanya, ada apa sebenarnya dengan covid ini? Apakah memang ada suatu kepentingan dalam pemberian vaksin ini?
Keempat, target vaksin menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas. Ketika anak saya sakit pada bulan April 2022 dan berobat. Tak sengaja saya mendengar percakapan petugas kesehatan untuk menggunakan vaksin miliknya kepada pasien. Percakapan itu membuat pertanyaan besar di kepala saya. Apakah mungkin ada target harus menghabiskan sejumlah vaksin oleh setiap petugas kesehatan? Lalu, apa keuntungan bagi mereka? Entahlah, saya tidak bisa menjawabnya.
Pengakuan Leni, tetangga saya yang memiliki anak yang bekerja sebagai perawat di Jakarta. Beliau mengatakan bahwa selama pandemi, anaknya mendapatkan insentif yang cukup besar dalam menangani pasien covid, termasuk pemberian vaksin. Ketika wabah covid mulai berubah status menjadi endemik, kekhawatiran beliau terhadap insentif si anak terjadi.
Covid-19 yang sejatinya adalah virus, yang bekerja dan menyerang imunitas tubuh membawa berkah bagi banyak orang, terutama orang-orang yang berkepentingan. Bisnis dari penjualan vaksin dengan target yang ditetapnya mempertebal kantong oknum. Bisnis masker dan hand sanitizer atau desifektan pun ikut menyemarakkan kegalauan di masyarakat.
Saya berdoa semoga wabah seperti ini tidak kembali terjadi di Indonesia tercinta. Semoga banyak orang yang peduli sesama bukan peduli dengan bisnis semata. Sebab tanpa covid-19 pun orang masih tetap bisa berbisnis.