Apa Kata Slavoj Zizek Tentang Covid-19

profile picture hanif sofyan

Diantara sekian banyak analisa tentang pandemi Covid-19, analisa Zisek barangkali bisa disebut “nyeleneh”. Karena boleh dibilang Slavoj Zizek meramal dunia setelah pandemi corona melalui kacamata yang sangat jauh berbeda dari kebanyakan orang. 

Zisek menjadi antimainstream, ketika memulainya dari sudut pandang tak diduga-duga, komunisme baru atau barbarisme. Mengapa begitu kejauhan nalarnya bermain?, ia memang bukan sekedar mau beda. Tapi menurut sudut pandangnya, memang begitu adanya.

Sebagai pemikir yang melawan arus, Zizek filsuf Slovenia, dosen sosiologi dan filsafat di Universitas Ljubljana yang mengklaim sebagai “penafsir Marxisme yang kompeten”,  memang  seringkali dipandang sebagai figur eksentrik atau reaksioner, dengan gaya menulis yang genit. Amy Goodman di New York, dalam sebuah wawancara untuk acara televisi Democracy Now pada 2008, menyebut Zizek sebagai “Elvis dalam teori budaya”.

Zizek memang gemar bicara tentang perkara teoretis yang sublim dan pelik dengan memadukannya pada berbagai gejala budaya pop. Misalnya membahas dekonstruksi filosofis dengan mengaitkannya pada film Alien'; semacam bicara ihwal musik klasik dengan mengacu pada dangdut. 

Dan kali ini ia memperkarakan pandemi sebagai  akibat dari pertarungan antara paham komunisme dan kapitalisme. Memang tak ada larangan untuk berpikir beda, karena perbedaan itu hikmah agar orang semakin kritis berpikir.

Analisa Zisek yang Tergesa

Untuk sampai pada titik temu larangan berdekatan selama pandemi covid-19, Ia memulai penjelasa analisanya secara unik dari kisah pertemuan Maria Magdalena dan Isa, yang ketika  itu berusaha untuk mendekati Maria, namun ditolak dengan mengatakan , “noli me tangere” atau “Jangan sentuh aku” yang kemudian dimaknai sebagai physical distancing dan social distancing yang menjadi mantra kata baru larangan berdekatan secara fisik dan sosial selama berkecamuk pro kontra pandemi.

Ini membalik paradigma tentang perhatian dan cinta yang sebelum  pandemi, diwujudkan dalam  kedekatan secara fisik menjadi berjauhan sejarak 1,5 meter. Kini, mencintai ditujukan dengan menjauhi secara fisik. Virus nanomikro  telah menjungkirkan budaya kita 100 persen beda.

Hanya dengan melihat pembalikan fenomena tersebut, lantas Zisek menyimpulkan secara tergesa tentang apa yang dilihatnya sebagai fenomena dan seperti biasa kemudian diterjemahkan dengan pemikirannya yang eksentrik, bahwa masa depan tatanan dunia kita setelah pandemi adalah tatanan dunia yang menganut komunisme baru. Bagaimana bisa?.

Kata Zisek,  meski mesin kapitalisme bekerja sangat kuat, tapi dalam konteks penanganan pandemi, dunia harus “berkiblat” pada Tiongkok!. Dasarnya?, lagi-lagi menurut analisa  dan premis Zisek, negara tersebut relatif berhasil mengendalikan penularan ketika negara lain kelimpungan mencegah jumlah orang terinfeksi.

Pola sentralistik kuasa  yang menjadi ciri khas negara penganut paham komunisme, dianggap sebagai sebuah solusi yang tepat dalam penanganan pandemi menurut versi Zisek. Dengan tangan besi komunisme, Cina menekan penularan wabah dengan efektif, lewat pemantauan orang, teknologi aplikasi, kebijakan terpusat, sehingga lockdown karantina wilayah sukses menekan penularan wabah. 

Sebaliknya dalam sudut pandang Zisek dari kacamata berbeda, cara ini relatif tak berhasil diterapkan  oleh negara-negara yang menganut paham kapitalis demokratis, seperti halnya Italia atau Amerika, bahkan Indonesia. Negara-negara demokratis tak berhasil menerapkan kebijakan karantina wilayah ala Cina.

Diantara banyak pemikiran Zisek yang dasarnya memang eksentrik, agaknya kali ini seperti tersandung terlalu cepat. Kecuali sekedar dimaksudkan sebagai cara pikir yang beda dari kebanyakan. Karena bagaimanapun sah-sah saja, ketika seseorang menggunakan satu pisau analisa atas sebuah fenomena dan mendasarkan keyakinan pikirnya pada fakta yang dimaknainya.

Artinya, ketika Zisek menganggap keberhasilan Cina dalam menangani pandemi karena isme-nya, ia lantas mengabaikan atau menganggap cateris paribus negara lain yang juga berhasil menangani pandemi, padahal banyak negara lain yang berhasil dan Negara itu sama sekali bukan negara sosialis-komunis. Taiwan dan Italy—khususnya dalam penanganan pendemi di kota Lombardy, adalah negara demokratis yang sukses menekan penularan virus dengan cara-cara demokratis, terutama dalam hal keterbukaan data . 

Sementara Cina, di masa awal corona justru menangkap dokter yang memperingatkan virus berbahaya ini. Belakangan Cina bahkan merevisi jumlah kematian akibat virus corona. Padahal jika Zisek mau lebih jujur dan fair, ia tak akan sampai pada analisa dan kesimpulan yang sepihak itu.

Jadi, jika Zisek menganggap karena peran negara menjadi masif di masa wabah, bukan berarti kita akan mengadopsi komunisme begitu saja. Zizek terlalu retorik, terlalu optimistis sekaligus sok ideologis.  Karena orang tak akan semudah itu beralih ke lain hati.

Pukulan Telak Kapitalisme Keblablasan

Wabah memang telah memukul dengan telak sendi-sendi kapitalisme. Dan pukulan itu sebenarnya adalah “pukulan balasan” dari sistem “imun alam” atau bentuk lain dari regenerasi atau mutasi gen nanovirus untuk tetap survival. 

Mengutip Kate Jones, ahli virus yang menghitung sejak 1940-2004 ada 335 jenis virus baru yang berasal dari satwa liar. Virus muncul karena mereka kehilangan inang akibat satwa liar dimangsa manusia, habitatnya diokupasi untuk industri dan faktor lain yang berhubungan dengan konsumerisme manusia. 

Pada akhirnya kemudian justru berdampak, karena resistensi akibat aktifitas yang dijalankan mesin kapitalisme—pabrikasi tanpa kemanusiaan, pembangunan melawan kodrat alam, akhirnya melahirkan generasi baru virus yang lebih kokoh melawan perubahan.

Ilustrasinya kurang lebih, karena sistem ekonomi kapitalisme yang rakus membuat alam rusak, ozon menganga akibat dipicu produksi gila-gilaan yang menghasilkan emisi karbon, hingga berujung pada mutasi gen mahluk renik akibat hilangnya keragaman hayati. 

Tapi manusia merasa bebal mengakui sosialisme, kata Paul Collier ekonom Oxford University dalam The Future of Capitalism (2019). Collier, menegasi bahwa kemerosotan kapitalisme karena menanggalkan substansi ekonomi yang intinya meliputi adanya hubungan timbal balik--hubungan sosial antar manusia. 

Menurut Collier hal itu tak serta merta membenarkan keberadaan sosialisme, yang seolah menyediakan solusi. Justru kemungkinan yang paling logis adalah, kapitalisme akan memperbaiki diri dalam bentuk lain dengan merenovasi kesalahannya di masa lalu.

Barangkali kritik tentang kapitalisme yang keblablasan yang dikait-kaitkan dengan Covid-19 itulah yang paling menarik dari sudut pandang Zisek. Secara tidak langsung  melemparkan kritik bahwa kapitalisme adalah mesin perusak yang tidak memperdulikan apapun selain untung-rugi.   

2 Agree 1 opinion
0 Disagree 0 opinions
2
0
profile picture

Written By hanif sofyan

This statement referred from